Salah satu penjagaan bangunan tua yang terakhir saya ikuti adalah pembongkaran 
rumah warisan Oey Djie San (warisan pula dari Oey Giok Koen) di Tangerang 
(sebelumnya antara lain makam Souw Beng Kong di Pangeran Jayakarta, kemudian 
Kelenteng Talang di Cirebon dan Kelenteng Tanjung Kait di Mauk). Saya pernah 
ikut rapat di rumah seorang yang dikenal berinisial BL yang kelihatannya 
ditugasi oleh JSC (seorang hartawan, bapak dari seorang anak yang kuliah di LN 
yang kabarnya tertarik dengan arsitektur gedung tersebut) untuk mendengarkan 
masukan mengenai rencana pembongkaran rumah tadi.

Dalam rapat tersebut, saya sudah melontarkan gagasan untuk mendirikan sebuah 
yayasan atau perkumpulan demi menyelamatkan gedung tadi dengan pertimbangan 
bahwa ada keterhubungan antara sisi historis dengan lokasinya, sekaligus untuk 
mengantisipasi hubungan di antara dana perawatan dengan tanggung jawab 
pengurusannya (karena kalau kepemilikan orang kaya tunggal saja, tidak ada 
jaminan bahwa kepentingan pribadi dirinya atau anak-anaknya akan dibatasi, sama 
seperti kejadian di rumah keluarga Souw yang sedikit sayapnya sudah diubah 
menjadi ruang praktek dokter). Sayangnya, meskipun BL ini mengaku sebagai bekas 
kontributor UNESCO di Asia Tenggara, kelihatannya misi untuk memenuhi keinginan 
JSC lebih kuat, apalagi dalihnya adalah bahwa gedung itu belum dijadikan benda 
CB. Jadinya pada saat itu hanya dijanjikan bahwa si pemilik akan memindahkan 
gedung tadi ke tempat yang cocok dan merawatnya. Pada saat itu saya sudah 
pesimis dengan janji tadi dan karenanya meminta BL untuk memberitahu si pemilik 
tadi mengenai desakan saya itu. Ternyata tidak ada kabar lebih lanjut. Setelah 
itu (tahun 2009 awal), akhirnya rumah tadi benar-benar dirobohkan dan kemudian 
dibangun McDonald. Yang membuat saya lebih pesimis adalah bahwa meskipun banyak 
pemerhati yang peduli, namun yang cuma pengen tahu atau mendompleng justru 
lebih banyak. Buktinya, ada beberapa organisasi pemuda Tionghoa yang ikut, tapi 
ternyata ada embel-embel politiknya (buat pemilu 2009). Kalau memanfaatkan 
momen pemilu untuk mengajak kepedulian tokoh politik (waktu itu sampai nama JK 
mau dibawa ke sana) menyelamatkan gedung sih oke-oke aja, tapi begitu yang 
mempergunakan peristiwa pembongkaran gedung itu adalah peserta gerakan untuk 
mendukung kepentingan pribadinya, yaaa, kacian. 

Yang lebih kacau lagi, ternyata ada sejumlah orang Tionghoa Tangerang yang 
sering disebut sebagai "tokoh budaya" justru terlibat atau setidaknya 
melegitimasi pembongkaran tadi. Entah janji-janji macam apa lagi yang sudah 
dilontarkan oleh pihak pembeli, arsiteknya dan juga pemborong pembongkaran 
tadi. Yang pasti, jejak janji itu tidak ada yang menagihnya hingga sekarang. 
Apalagi, berdasarkan kejadian yang lalu-lalu, orang Tionghoa di sini juga suka 
banyak janji, tapi menutupi niatan pribadinya. Inilah yang sangat menyedihkan. 

Berdasarkan hal-hal tersebut dan pengalaman saya yang juga banyak menghadapi 
ketidakberdayaan masyarakat dalam bersikap, salah satu kendala terbesarnya 
adalah adanya motifasi berbeda antara orang Tionghoa kaya dengan orang Tionghoa 
berbudaya. Ornag Tionghoa kaya pada saat ini cenderung tidak menjunjung 
apresiasi budaya, sementara orang Tionghoa berbudaya, jarang yang cukup berada 
untuk menunjang proses kegiatan budaya yang bukan artifisial. Kalau kedua kutub 
ini bisa dijembatani, satu masalah sudah bisa diatasi. 

Mengenai kenapa gedung tertentu yang dipilih, tentunya melihat dari sisi 
arsitekturnya, keunikannya, sejarahnya dan juga aspek-aspek budaya yang melekat 
pada gedung itu. Bahwa ada gedung "biasa" yang bisa menjadi cagar budaya, hal 
itu tentu ada, misalnya rumah sederhana milik seorang peranakan Tionghoa di 
daerah Kedaung. Namun tentu saja, tidak semua gedung biasa bisa menjadi obyek 
cagar budaya. Salah satu pertimbangannya adalah keotentikan arsitektur (dalam 
hal ini adalah rumah peranakan), usianya dan kesejarahan apa yang mau 
diperlihatkan di sana. Kalau rumah itu rumah biasa dalam pengertian tidak ada 
unsur sejarah, keunikan atau pelekatan budaya di dalamnya, ya, itu baru sekedar 
rumah biasa yang kita juga bisa bikiun kapan saja. Sayangnya dari pendataan 
yang saya lakukan di daerah kota, sebagian dari rumah "biasa" yang dijadikan 
cagar budaya oleh Pemda DKI justru sudah berubah fungsi atau setidaknya 
tetrjadi penambahan/perubahan bentuk bangunan sehingga mengurangi keotentikan 
yang menjadikannya benda cagar budaya. Kan lucu kalau atap rumahnya masih 
menggunakan pelana abad ke-19, bawahnya justru sudah beton dengan welding door 
dan tralis demi mengurangi resiko Mei 98.

Dalam hal ini, pemerintah memang harus menjalankan fungsinya sebagai pendata, 
penata dan perawat benda-benda cagar budaya sebagaimana diamanatkan padanya 
berdasarkan UU.

Terhadap pertanyaan apakah pemiliknya bisa dibenarkan melakukan perubahan itu, 
itu memang suulit. Di satu sisi saya menyadari bahwa biaya perawatan 
gedung-geduung kuno itu adalah mahal (khususnya apabila harus mengganti kayu 
ataupun bahan tembok kapur yang mudah rusak akibat perkembangan metropolitan 
Jakarta dengan berbagai polusi, banjir dan getaran), dan bahwa ahli warisnya 
tentu tidak berharap mendapatkan "beban", apalagi kalau sudah ketagihan untuk 
mencari uang dengan membuka ruko modern atau sarang walet. Pada sisi yang lain, 
mereka pun seharusnya tunduk kepada kewajiban budaya untuk merawat warisan 
nenek moyang mereka dan kewajiban "hukum" untuk menjaga arsitekturnya tidak 
berubah (misalnya kalau sudah nambah anak, ya, kamarnya disekat dengan triplek 
saja tanpa membangun kamar beton baru). Masalahnya, kesadaran dalam dua 
komponen ini sangatlah kurangg. Pemerintahnya tidak sadar budaya dan bahkan 
dalam sejumlah hal masih "anti" dengan warisan budaya Tionghoa, pada sisi lain, 
masyarakat Tionghoa sendiri juga sudah kurang peduli budaya dan berubah menjadi 
zoon economicon yang beranggapan bahwa apa yang kuno itu adalah merepotkan, 
usuang dan ketinggalan jaman.

Berkaca dari itu semua, sebenarnya masyarakat Tionghoa yang sadar budaya masih 
bisa berperan. Kalau punya posisi atau lembaga, gunakan untuk menekan 
pemerintah untuk peduli dan pada sisi lain menyadarkan masyarakat pemilik benda 
cagar budaya mengenai arti pentingnya. Kalaupun tidak punya tenaga, waktu atau 
uang, yaa, bisa ngeluh lewat milis, surat pembaca atau hal-hal semacam itu. 
Kalau kaya dan berkuasa, yaaa, apa salahnya menyisihkan sebagian dana untuk 
mendirikan lembaga yang bertugas menginventarisasi kekayaan budaya ini (dalam 
arti yang sesungguhnya dan bukan artifisial atau untuk kepentingan koleksi 
pribadinya belaka) untuk kemudian mendorong upaya perawatan dan konservasinya 
(misalnya kalau pemiliknya kesulitan biaya, yaa, menyediakan dana perawatan dan 
bahkan tenaga yang cakap untuk menjaganya).

Kalau kondisi ini sudah tercipta, pemerintah tentunya bisa tegas dalam 
bertindak. Kalau ada keluarga yang merubahnya, buru-buru didatangi dan 
diberikan sanksi, sambil mengadakan pengalihan tanggung jawab perawatannya ke 
negara. Kalau keluarga itu sudah tidak sanggup dan mau menjualnya, prioritas 
pembelinya adalah negara. Kalau ada kerusakan, maka pemerintah yang mengambil 
tanggung jawab memperbaikinya. Untuk membantu biaya perawatan, bangunan boleh 
difungsikan dengan pengawasan dan ijin negara, atau bahkan negara akan membantu 
biaya perawatan secukupnya. Dengan demikian tugas mendesak saat ini adalah 
mendesak pemerintah dan mensosialisasikan ke masyarakat. Kalau tidak ada 
langkah strategis semacam ini, yaa, bukan saja Candra Naya yang sudah tinggal 
sepotong kecil itu atau kejadian rumah Oey Djie San, tapi juga rumah-rumah dan 
kelenteng Tionghoa di Lasem, Parakan, Jamblang, dan sebagainya akan hilang, 
bahkan juga warisan budaya lainnya baik dari kalangan Tionghoa maupun 
unsur-uunsur yang membentuk Indonesia!

Kita punya kuasa untuk berbuat, karena kita juga adalah komponen yang 
membentuk, mewarnai dan menjaga bumi Indonesia ini!!!



Tiap benda mempunyai pangkal dan ujung, dan tiap perkara itu mempunyai awal dan 
akhir. Orang yang mengetahui mana hal yang dahulu dan mana hal yang kemudian, 
ia sudah dekat dengan jalan kebenaran.

Suma Mihardja





--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, Utama Bkr <utmp...@...> wrote:
>
> Saya sependapat dengan Bung Opheng dan Kalo disuruh pilih, pilih mana "  
> REPLIKA " atau " ORIGINAL"
> 
> 
> 
>  
> 
> 
> ________________________________
> Dari: "zho...@..." <zho...@...>
> Kepada: budaya_tionghua@yahoogroups.com
> Terkirim: Jum, 29 Januari, 2010 13:42:27
> Judul: Re: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN 
> BUDAYA TIONGHOA)
> 
>   
> Bung Opheng, rumah tua dijual juga tidak apa2, namanya milik pribadi masak 
> tak boleh diuangkan. 
> Si pembeli mau memanfaatkan utk berbagai keperluan juga ok2 saja, masak aset 
> kok dibiarkan nganggur.
> Yg jadi penekananr adalah, bangunan yg bernilai sejarah ini janganlah 
> dihancurkan! Mau renovasi atau pengembangan juga hrs terkendali, diawasi oleh 
> pemerintah. Lihat contoh pemanfaatan bangunan kantor pos tua menjadi hotel 
> mewah oleh pemerintah singapore. Atau deretan ruko tua menjadi sebuah 
> Shopping mall modern.
> 
> Semua ini hrs dipagari oleh peraturan pemerintah, pemerintah harus turun 
> tangan, penyelamatan bangunan tua jangan menunggu kesadaran masyarakat, bukan 
> berlandaskan atas kemauan keras LSM atau kebaikan hati konglomerat! Ini 
> tanggungjawab pemerintah!
> 
> 
> 
> Sent from my BlackBerry®
> powered by Sinyal Kuat INDOSAT
> ________________________________
> 
> From:  "Ophoeng" <opho...@yahoo. com> 
> Date: Fri, 29 Jan 2010 01:58:23 -0000
> To: <budaya_tionghua@ yahoogroups. com>
> Subject: [budaya_tionghua] Roh Bangunan Tua. (Was: AYO SUMBANG ANJUNGAN 
> BUDAYA TIONGHOA)
>   
> Bung Dipo, Bung Fy Zhou, Bung David K. dan TTM semuah,
> 
> Hai, apakabar? Sudah makan?
> 
> Ikut nimbrung barang sepatah dua kata saja ya....
> 
> Benar juga, kalau dikatakan bahwa bangunan tua (yang kemudian dirobohkan) 
> dibandingkan dengan replika-nya, walau mungkin bisa menggunakan batu-bata dan 
> kusen-kusen lama untuk direkonstruksi di tempat lain, tentu sudah kehilangan 
> roh-nya.
> 
> Roh bangunan tua [bukan 'roh' hantu yang katanya suka mendiami bangunan tua 
> tidak terurus] tidak bisa di'cipta'kan, dibuat di tempat baru, apalagi kalau 
> bangunan 'tua' itu baru dibangun sebagai replika-nya saja.
> 
> Memang dilema juga. Bangunan tua itu biasanya adalah warisan dari orang kaya 
> jaman dulu. Orang kaya jaman dulu, seperti kita semua tahu, mestilah punya 
> anak banyak (yang kemudian banyak ditiru oleh orang-orang yang merasa kaya). 
> Atau bahkan isteri beberapa orang dengan anak-anaknya masing-masing. Jadi, 
> ketika si kepala keluarga meninggal dunia, maka pembagian warisan terpaksa 
> mesti menjadikan banguna tua itu dibagi rata, kalau ndak ya bisa saja jadi 
> sengketa.
> 
> Kita sebagai 'pengamat' atau 'pemerhati' tentu tidak kuasa berbuat apa-apa, 
> kalau ahli warisnya lantas melego bangunan tua itu untuk mendapat manfaat 
> ekonomi. Mungkin saja mereka (anak-cucu-cicit) ahli waris tidak merasa punya 
> ikatan emosionil dengan bangunan tua itu, karena ada kebutuhan ekonomi yang 
> lebih mendesak? Perut memang ndak bisa disuruh menunggu sih, jeh!
> 
> Kalau saja ada satu badan atau yayasan yang banyak duitnya, mungkin bisa 
> punya dana cukup untuk membeli bangunan tua itu, lantas dijadikan entah apa 
> terserah badan atau yayasan tsb. yang sudah menjadi pemiliknya. 
> 
> Sambil menunggu berdirinya badan atau yayasan tsb., mungkin untuk sementara 
> kita 'terpaksa' menelan ludah mengurut dada menerima kenyataan bangunan 
> tua-tua itu dirobohkan satu demi satu ya?
> 
> Mong-omong, mengapa yang disebut 'bangunan tua' itu mestilah merujuk ke 
> bangunan peninggalan (bekas milik) tokoh orang Tionghua, entah mayor, kapiten 
> atau apa-lah. Bagaimana dengan bangunan tua yang bukan pernah dimiliki oleh 
> tokoh berpangkat begitu ya? 
> 
> Rasanya ada beberapa (atau mungkin masih banyak?) bangunan tua yang dimiliki 
> oleh 'orang biasa' yang juga kuno dan tentu saja ada 'roh'-nya, seperti ada 
> satu di Tangerang yang baru-baru ini saya lihat fotonya yang dibuat oleh Bung 
> Dipo di sini: 
> 
> http://dipodipo. multiply. com/photos/ album/22/
> 
> Kalau ada usulan mengumpulkan dana untuk mengisi ATM BT - Anjungan Taman Mini 
> - Budaya Tionghua (semula saya mengira ini ada kaitannya dengan milis kita), 
> apakah perlu digalang dana untuk membentuk BBT-BT - Badan Bangunan Tua - 
> Budaya Tionghua [hehehe.... kalau BBT - umum tahunya akronim untuk Baba Tong, 
> tukang mie ayam cukup 'kuno' di samping gereja Katolik di Mataraman itu lho] 
> supaya bisa kita mulai untuk 'menyelamatkan' bangunan tua dari kehancuran 
> lebih lanjut nih?
> 
> Begitu sajah sih ya.
> 
> Salam makan enak dan sehat,
> Ophoeng
> BSD City, Tangerang Selatan
> 
> --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "Dipo" <dipodipo@ .> wrote:
> 
> Mengapa gedung Candra Naya perlu dibuat replikanya di TMII, apakah karena 
> gedung itu memiliki nilai penting untuk kelompok Tionghoa di Indonesia ? Jika 
> penting, mengapa aslinya malah di trondoli gak keruan ?
> 
> Apa gunanya bikin replika gedung Kong Koan ? Gedung Kong Koan yang mana ya ? 
> Apakah karena Kong Koan pernah meiliki peranan besar dalah kehidupan 
> masyarakat Tionghoa ? Yang merawat arsipnya saja orang asing.
> 
> Dari pada buang uang bikin gedung tiruan, lebih baik yang ada saja di rawat 
> baik baik.
> 
> Ada yang bilang : Masa lalu itu seperti buku pelajaran, jadi kita tidak 
> mengulangi kesalahan yang sama, supaya bisa belajar dari pengalaman pendahulu 
> kita. Kalau belajarnya dari replika dan miniatur, mudah2an tidak jadi bangsa 
> replika dan miniatur juga.
> 
> Salam
> 
> --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Fy Zhou <zhoufy@> wrote:
> 
> Ah!  bangsa ini ternyata sukanya replika dan miniatur, sukanya arsitektur ala 
> theme park, tapi malah tak mau disuguhi bangunan kuno yang asli!
> 
> Se-hebat2nya repilika, tetap tak dapat menggantikan nilai sejarah bangunan 
> asli.
> 
> 
> 
> 
> ____________ _________ _________ __
> From: Kawaii_no_Shogetsu <fenghuang82@ >
> To: budaya_tionghua@ yahoogroups. com
> Sent: Thu, January 28, 2010 8:53:00 PM
> Subject: [budaya_tionghua] Re: AYO SUMBANG ANJUNGAN BUDAYA TIONGHOA
> 
> 
> Kalau begitu usul saja, bangun replika bangunan Kongkoan/Gongguan sebagai 
> bangunan induknya.
> 
> Bagaimana?
> 
> 
> --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, "dkhkwa" <dkhkwa@> wrote:
> 
> Pak Tjandra,
> 
> Menurut owe, hal itu belum miris. Sebenarnya, kalau mau dibilang miris, yang 
> miris seharusnya ya kita-kita ini, yang harus menyaksikan satu per satu 
> bangunan heritage Tionghoa, yang tua, indah, dan bersejarah, harus menerima 
> kenyataan sangat pahit, satu per satu dihancurkan oleh tangan-tangan 
> konglomerat (Tionghoa?) yang begitu rakus mengincar nilai ekonomis tanahnya, 
> untuk dijadikan hotel-apartemen, dlsb. Rasanya belum pudar dari ingatan kita 
> bagaimana â€Å"ramainya†dimuat di koran-koran (baca a.l. berita-berita 
> di Kompas dan Warta Kota) mengenai kasus pembongkaran bangunan samping dan 
> belakang (side and back buildings) bekas Gedung Kediaman Mayor Tionghoa 
> Batavia Khouw Kim An, yang kemudian dijadikan gedung perkumpulan (clubgebouw) 
> Sin Ming Hui (selanjutnya menjadi Candra Naya), disamping juga pernah 
> menampung korban Kerusuhan Tangerang 1946, di Jl. Gajah Mada 188. Apalagi 
> saat itu pak Tedy Yusuf selaku ketua salah satu PSMTI ternyata bukannya
>  melindungi, sebagaimana diharapkan, sebaliknya malah turut mendukung 
> pembongkaran. Dengan kapasitas beliau sebagai ketua umum PSMTI waktu, 
> tentunya beliau punya pengaruh di kalangan Tionghoa untuk menyelamatkan Sin 
> Ming Hui dari kehancuran. Meski ada suara-suara protes dari pihak pecinta 
> heritage, namun tetap hal itu tidak mampu membuat yang bersangkutan bergeming.
> 
> Belum lagi, yang terakhir, penghancuran sama sekali hingga rata dengan tanah 
> bekas Gedung Kapitan Tionghoa Oey Djie San di Karawaci, Tangerang. Lagi-lagi, 
> ketika berbagai pihak, termasuk non-Tionghoa pecinta heritage, 
> berteriak-teriak agar bangunan bersejarah tempat penampungan korban Kerusuhan 
> Tangerang 1946 itu diselamatkan, pihak Tionghoanya sendiri, termasuk pak Tedy 
> Yusuf, tetap tidak bereaksi. Padahal bangunan itu merupakan yang termegah di 
> kawasan Tangerang, dengan arsitektur Indisch sekaligus Tionghoanya.
> 
> Dengan hancurnya bangunan-bangunan tersebut, yang terjadi adalah penghancuran 
> aset-aset budaya Tionghoa. Masyarakat menjadi lupa akan sejarah dan budaya. 
> Masyarakat tidak tahu, misalnya, bahwa atap Ekor Walet itu bukan hanya 
> dipakai di kelenteng, tapi juga pada kediaman para pejabat Tionghoa yang 
> diangkat Belanda, yakni para mayor, kapitan, dan letnan Tionghoa tadi. 
> Sungguh miris, ketika di negara tetangga kita Singapura dan Malaysia 
> bangunan-bangunan bersejarah dibeli dan dikembalikan ke kejayaannya semula, 
> lalu dijadikan museum (bekas rumah Cheong Fatt Tze, bekas rumah Kapitan China 
> Chung Keng Kwee di Penang, bekas rumah Tun Tan Cheng Lock di Melaka, 
> misalnya), maka yang terjadi di kita adalah penghancuran demi penghancuran.
> 
> Ironisnya, setelah berbagai aset budaya dihancurkan, didirikanlah berbagai 
> bangunan baru oleh beragam komunitas Tionghoa, tentunya dengan dana yang 
> tidak sedikit. Apakah tidak terbalik, menyelamatkan apa yang bisa 
> diselamatkan terlebih dahulu, baru kemudian membangun yang baru? Bukankah itu 
> yang seharusnya dilakukan oleh beragam komunitas Tionghoa yang mampu 
> membangun di Taman Mininya babe ato yang menindas Tionghoa semasa berkuasa?
> 
> Jadi, kalau sekarang diharapkan sumbangan dari para member milis, owe rasa 
> lebih baik dana yang ada dimanfaatkan untuk menyelamatkan berbagai aset 
> budaya Tionghoa berupa beragam bangunan tua di berbagai kota di seluruh 
> Indonesia sebelum tinggal cerita. Seperti yang dilakukan terhadap bekas 
> Kediaman Mayor Tionghoa Tjong A Fie di Kesawan, Medan. Owe rasa di seluruh 
> Indonesia masih banyak bangunan-bangunan tua Tionghoa, yang bagus-bagus tapi 
> kondisinya memprihatinkan, yang menanti uluran tangan para penyelamat 
> Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti, owe dengar, bekas kediaman Kapitan Cina 
> Palembang yang memprihatinkan. Atau orang Tionghoa sama sekali sudah tidak 
> peduli akan aset budayanya sendiri? Yang ada hancurkan saja, yang belum ada 
> bikin baru, begitu!!! Paduli teuing!!!
> 
> Muhun maap seandeh owe punya kata-kata ada yang sala.
> 
> Kiongchiu,
> DK
> 
> --- In budaya_tionghua@ yahoogroups. com, Tjandra Ghozalli <ghozalli2002@ > 
> wrote:
> 
> Dear members,
> 
> Saya percaya banyak member yang belum tahu kalau di Taman Mini Indonesia 
> Indah ada anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Hebatnya anjungan ini luasnya 
> 4,5 ha padahal anjungan lain paling besar 2 ha.  Kita sebagai member millis 
> ini patut bangga akan anjungan Budaya Tionghoa Indonesia.  Sayangnya di atas 
> tanah tersebut belum dibangun "main building" yang dibangun baru "sub 
> building" yang kecil kecil (sumbangan beragam komunitas Tionghoa) 
> mengelilingi main building yg belum dibangun.  Seperti yang dikatakan oleh 
> ketua umum PSMTI, pak Rachmat, semua itu terbentur biaya. Agak miris juga 
> kalau di kalangan warga Tionghoa banyak yg jadi konglomerat, malah 
> anjungannya "melarat"  Oleh karena itu saya kepikiran untuk membantu 
> pembangunan anjungan Tionghoa tersebut melalui dompet pedulli "Anjungan 
> Budaya Tionghoa Indonesia" yang akan dimuat daftar penyumbangnya di majalah 
> POST Media.  Untuk dompet peduli, saya dan pak Tedy Yusuf sudah buka account 
> bersama di Bank
>  Mandiri.No. rekening 125-00-0997473- 4 an Tedy Yusuf & Tjandra Ghozalli.  
> Diharapkan para member millis ini bersedia membantu pembangunan anjungan kita 
> itu.  Perlu diketahui bahwa anjungan tersebut bukan milik PSMTI tetapi milik 
> warga Tionghoa yg diserahkan oleh pak Harto (alm) kepada pak Tedy Yusuf.  
> RGDS.Tjandra G
> 
> 
>  
> 
> 
>       Menambah banyak teman sangatlah mudah dan cepat. Undang teman dari 
> Hotmail, Gmail ke Yahoo! Messenger sekarang! 
> http://id.messenger.yahoo.com/invite/
>


Kirim email ke