Bund David Kwa dan Ttm semuah, Hai, apakabar? Sudah makan?
Hehehe...... maksud hati sih diam ajah dan senyum baca komentar anda, tapi apalah daya tangan ni gatal tak kuasa menahan gejolak hati untuk mengetuk-ketuk-kannya di atas keyboard. Nama Remy Sylado konon benar adanya diambil dari nada lagu, karena dia penggemar musik di samping menjadi novelis. Tapi, sorry, Re = 2 mi = 3, bener adanya. Cuma Sy = 4? Kayaknya anda salah terpeleset jari di atas keyboard. Sy atau si dalam nada lagu adalah 7, jadi yang bener - sorry, agak betrele-trele nih: 23 761. Lalu, kalau soal 'engkoh' untuk merujuk 'ko', kayaknya sih sah ajah, lha bukankah (anda sendiri yang ngepost?) pernah dibahas di milis kita, bahwa 'enso' itu dari 'sousou', engkong dari 'kungkung', encim, encek, engkim, jadi kayaknya emang bener sih 'engkoh' itu untuk koko. Kalau anda bilang gaya dia bertutur itu mengada-ada, lebai, rasanya sih ya boleh-boleh saja dan sah-sah saja, sebab dia sedang bertutur di novel tulisannya: "Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah". Dan, kalau ditanya, kenapa harus âpake ribetâ sebab dihubungkan dulu dengan âengkoh-engkohâ segala rupa (pake tambahan âengâ di depannya)? Kenapa bahasa Indonesia (apakah pasti bahasa Indonesia dan bukan bahasa lain, Melayu, Sunda, atau Jawa, misalnya?) harus mengejanya DARI kata âengkoh-engkohâ, seperti kata dia, bukan LANGSUNG dari kata âkokoâ saja? -- Jawabnya: karena dia namanya Remy Sylado, bukan David Kwa, sih, jeh! Hehehe..... kalem ajah-lah, sesama bus kota kabarnya dilarang saling menyalip, tiap individu katanya memang unik, gak ada yang sama persis, bahkan sepasang anak kembar sekalipun! Salam makan enak dan sehat, Ophoeng --- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "David" <dkh...@...> wrote: Owe rasa Remy Sylado (23 461) terlalu âmaksaâ di sini. Bila baju koko mau dihubungkan dengan âbaju kakak laki-lakiâ, itu sah-sah saja; toh tidak ada yang melarang, sebab âkoko �"��"�â kan artinya âkakak laki-lakiâ dalam bahasa Indonesia; âabangâ dalam bahasa Melayu; âlaeâ dalam bahasa Batak; âakang atau aâaâ dalam bahasa Sunda; âmasâ dalam bahasa Jawa; dan âbelihâ dalam bahasa Bali. Tapi âKokoâ ya MBOK cukup âkokoâ saja, karena kata ini cukup populer dan singkat pula, kenapa harus âpake ribetâ sebab dihubungkan dulu dengan âengkoh-engkohâ segala rupa (pake tambahan âengâ di depannya)? Kenapa bahasa Indonesia (apakah pasti bahasa Indonesia dan bukan bahasa lain, Melayu, Sunda, atau Jawa, misalnya?) harus mengejanya DARI kata âengkoh-engkohâ, seperti kata dia, bukan LANGSUNG dari kata âkokoâ saja? Koq rasanya dia terlalu mengada-ada alias Lebay ya⦠--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, hendri f isnaeni <hendrifisnaeni@> wrote: Bagaimana ceritanya tui-khim menjadi baju koko? Menurut Remy Sylado, karena yang memakai tui-khim itu engkoh-engkoh sebutan umum bagi lelaki Cina maka baju ini pun disebut baju engkoh-engkoh. Dieja bahasa Indonesia sekarang menjadi baju koko, kata Remy dalam novelnya Pangeran Diponegoro: Menuju Sosok Khalifah.