============
Artikel Lepas
============
(sambungan "Konflik Israel-Palestina")

Menengok Sejarah

     Sejak bangsa Israel terusir dari tanah ini pada tahun 70 dan 135 oleh
bangsa Romawi, tanah ini telah berganti-ganti penguasanya. Secara ringkas
pemerintahan di Palestina adalah :

Romawi    hingga abad ke 4
Bizantium (Kristen)  abad ke 4 - 638
Kalifah-kalifah (Islam) 638 - 1100
Tentara Perang Salib (Kristen) 1100 - 1187
Muslim Mesir (Islam)  1187 - 1516
Turki Usmaniah (Islam) 1516 - 1917
Inggris    1917 - 1948
Israel modern   1948 - sekarang
Tepi Barat dikuasai Israel 1967

    Butuh waktu kurang lebih 1900 tahun bagi orang Yahudi untuk kembali
kepada kedaulatan bangsanya.

Persoalan Legitimasi

     Apa legitimasi Yahudi? Bagi orang Yahudi tanah Israel adalah tanah
terjanji (mis. Kel. 13:5) dari Tuhan sejalan dengan pilihan mereka sebagai
umat Allah. Janji itu berakar pada janji Tuhan pada Bapa Abraham (Kej.
12:1). Sehingga sekalipun bangsa ini pernah dibuang semasa pendudukan
Babilonia tahun 586 SM, mereka tetap kembali lagi ke tanah itu tahun 538 SM
(setelah 52 tahun atau 70 tahun menurut tradisi). Dan setelah dibuang
sekali lagi tahun 70 dan 135, masih juga mereka kembali lagi menjadi bangsa
tahun 1948 (setelah 1900 tahun).
    Dalam agama Yahudi tanah Israel disebut ha'Aretz (Tanah itu), sedangkan
negeri di luar Israel disebut hutz la-Aretz (di luar Tanah itu). Ini jelas
menunjukkan keunikan tanah ini bagi identitas kebangsaan Israel dan
keagamaan karena janji Tuhan atas tanah itu. Pandangan ini tentu saja
menjadi perdebatan hingga sekarang terutama bagi orang-orang non-Yahudi
(dan sebagian orang Yahudi sendiri). Hukum-hukum Taurat tentang pertanian
juga seringkali mengacu pada tanah ini sebagai tanah terjanji dari Allah
(mis. Im. 19:23, 23:10, 25:2, Ul. 26:1). Pada tradisi Yudaisme yang lebih
kemudian dikatakan demikian, "Telah diajarkan bahwa : Rabi Simeon ben Yohai
(hidup satu abad sesudah Yesus) berkata, 'Sang Maha Kudus (maksudnya
Tuhan), terpujilah Ia, mengaruniakan kepada Israel tiga pemberian yang
sangat berharga dan kesemuanya itu diberikan melalui penderitaan, yaitu
Taurat, tanah Israel, dan dunia yang akan datang ..." (Berakhot 5a). Bahkan
ada sebagian Rabi Yahudi zaman dulu yang menganggap kebangkitan hanya bisa
terjadi di tanah itu (B'reshith Rabbah 96:5). Dalam naskah kemerdekaan
negara Israel modern yang dideklarasikan pada malam Sabat, 14 Mei 1948
(dalam tahun Ibrani, 5 Iyyar 5708), pembukaannya didahului dengan,
"Eretz-Israel (tanah Israel) adalah tempat lahir bangsa Yahudi ... Setelah
dipaksa meninggalkan tanah itu, bangsa ini tetap memelihara iman kepada
tanah itu sepanjang masa penyerakan (Diaspora, Ing. Dispersion) dan tida dk
pernah berhenti berdoa dan berharap akan kembalinya mereka ke tanah, demi
mengembalikan kebebasan politik mereka." Juga pada lagu kebangsaan Israel,
Ha-Tikvah (Pengharapan) disebut, "Untuk kembali ke tanah nenek moyang kita,
ke kota tempat Raja Daud bersemayam." (ini adalah teks lagu asli yang
diciptakan tahun 1878, jauh sebelum negara Israel berdiri. Teks modernnya
telah diganti menjadi, "Untuk menjadi manusia bebas di tanah kita, negeri
tempat Zion dan Yerusalem berada."). Jadi bagi mereka tanah Israel
keseluruhan adalah terjanji dan pusat tanah terjanji itu adalah Yudea dan
Samaria (Tepi Barat) di mana Yerusalem berada.
Yerusalem sejak masa Raja Daud menjadi pusat pemerintahan dan keagaaman
Israel (2Sam. 5:1-13, 24:18-25). Kota ini menjadi tempat berdirinya Bait
Allah yang dipercaya sebagai lambang kehadiran Allah di Israel. Kota ini
oleh nabi Yesaya disebut kota keadilan (Yes. 1:26) dan pemazmur menciptakan
pujian khusus baginya (Maz. 122). Yerusalem sudah dipilih Tuhan sebagai
tempat kedudukannya (Maz. 132:13-14).
Sejak mereka terusir, di penghujung ibadah hari raya Paskah, mereka tidak
lupa mengucapkan doa le-shana ha ba'a ve Yerushalahayim {tahun depan kita
(merayakan Paskah) di Yerusalem}. Ungkapan liturgi doa ini di ucapkan terus
menerus tiap tahun sepanjang berabad-abad di mana saja mereka berada,
sebagai ungkapan kerinduan untuk kembali ke tanah dan kota Allah.
    Jadi legitimasi orang Yahudi adalah keyakinaneagamannya yang sungguh
khas, suatu hal yang sukar dipahami oleh orang modern. Teman saya, seorang
Muslim, pernah mengatakan bahwa orang Yahudi menang 'ngotot' dibanding
orang Palestina. Mungkin saja, saya tidak tahu. Yang jelas orang Yahudi
melalui keyakinan agamanya itu (lebih dari keyakinan politis) berhasil
mewujudkan kembali impian ribuan tahunnya.
Namun demikian terlepas dari argumentasi orang Yahudi soal tanah dan
Yerusalem, menurut mereka berdasarkan sejarah belum pernah ada negara
Palestina yang didirikan oleh orang Arab Palestina sendiri. Meskipun
kekuasaan Islam berusia 1300 tahun di tanah itu, seluruh penguasanya sama
sekali bukan orang setempat atau mewakili kepentingan setempat. Mereka
adalah penguasa-penguasa dari Damaskus-Syria, Bagdad-Irak, Kairo-Mesir, dan
Istanbul-Turki. Jadi sukar juga buat orang Palestina untuk mengklaim sebuah
negara Palestina berdasarkan sejarah. (Seorang tokoh Palestina belum lama
ini mengatakan legitimasi mereka adalah karena mereka keturunan orang
Filistin yang diusir oleh bangsa Israel. Saya kira tokoh ini kurang
memahami bahwa orang Filistin itu suku bangsa Eropa, bukan orang Semit atau
Arab, yang bahkan sudah punah jauh sebelum zaman Yesus). Kedua, juga masih
masalah sejarah, sejak Inggris melepaskan kekuasaannya di Timur Tengah pada
tahun 1947, Perserikatan Bangsa-bangsa membagi Palestina menjadi tiga
bagian. Daerah pantai, Galilea dan gurun Negev menjadi jatah orang Yahudi,
Tepi Barat yang menjadi 'jatah' orang Palestina, berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Hashemit Yordania, dan Yerusalem Timur (termasuk kota tuanya)
menjadi daerah internasional. Jadi ketika terjadi perang Enam Hari, secara
politis dan militer Israel merebutnya Tepi Barat dari tangan Yordania dan
Jalur Gaza dari Mesir dengan mengalahkan pasukan Liga Arab (gabungan
pasukan Irak, Syria, Yordania, Mesir, Palestina dan negara-negara Arab
lainnya).
    Argumentasi selanjutnya tentang klaim negara Palestina adalah pada
kenyataan bahwa tidak ada gerakan pendirian negara Palestina sebelum tahun
1967. Aspirasi untuk mendirikan negara Palestina muncul setelah Israel
menguasai Tepi Barat. Jadi ketika orang Palestina di bawah kekuasaan
Yordania mereka sendiri tidak berniat mendirikan negara Palestina.
    Bagi orang Palestina, tentu saja bangsa yang sudah tidak pernah
mendiami tanahnya selama hampir 2000 tahun tidak bisa disebut tuan rumah.
Bangsa Palestina lahir dari tanah Palestina sehingga sungguh tidak adil
mengusir mereka dari negeri nenek moyang mereka. Mereka menyerang anggapan
organisasi Zionisme Internasional yang mengklaim tanah Palestina sebagai
"tanah air tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah air" (land without people
for people without land). Penduduk Arab Palestina telah hidup sejak masa
Kalifah-kalifah berdiam di tanah itu. Orang Palestina sudah sangat at home
dengan tanahnya meskipun mereka sendiri dulunya kaum pendatang (dari
jazirah Arab, Mesir, Turki, atau keturunan bangsa Eropa melalui tentara
Perang Salib). Banyak sekali warga Palestina yang masih bisa menunjukkan
garis keturunan keluarganya surut hingga delapan ratus tahun yang lalu.
Jika sisipan penguasaan tentara Perang Salib ditiadakan, maka kekuasaan
Islam di tanah itu sudah kurang lebih 1300 tahun. Wajar jika mereka
menuntut tanah yang dikuasai Israel beserta Yerusalemnya.
    Bagi orang Muslim, kota Yerusalem adalah kota tersuci ketiga setelah
Mekkah dan Medinah. Mereka menyebut kota ini Baitul Muqqadas (Rumah Suci)
atau Al-Quds (kota Suci). Di sinilah Nabi Muhammad dipercaya mi'raj dalam
peristiwa Isra' Mi'raj. Tradisi yang mendorong ketika Kalifah Abdul
Al-Malik dari Kalifah Ummayah menduduki Yerusalem tahun 638, mendirikan
tempat ziarah Qubbat as-Sakrah di atas reruntuhan Bait Suci Yahudi. (sejak
dihancurkan oleh orang Romawi, bait ini dibiarkan menjadi reruntuhan,
bahkan oleh penguasa Kristen Bizantium).

Sikap Diskriminatif Israel

    Apakah Israel memang tidak memperhatikan nasib orang Palestina? Selain
masalah legitimasi tanah dan status Yerusalem, sebenarnya ironis sekali
bahwa kehidupan orang Palestina di Israel relatif lebih baik daripada di
negara-negara Arab. Hanya di Israel saja orang Arab Palestina mempunyai
wakilnya di parlemen Israel (Knesset). Orang Palestina memiliki perguruan
tinggi juga hanya di Israel (Universitas Bethlehem, Universitas Bir-Zeit,
Universitas Al-Najah, Institut Agama Islam Hebron, Sekolah Tinggi Teknik
Abu Dis). Pemerintah Israel memberikan Suatu kondisi yang sama sekali tidak
ditawarkan oleh bangsa Arab lain. Di negara-negara Arab (Libanon, Tunisia,
Kuwait), kebanyakan orang Palestina hanya menjadi pekerja dan tinggal di
kamp-kamp pengungsian. (Mengenai sikap mendua orang-orang Arab terhadap
orang Palestian, beberapa minggu yang lalu Arafat menyerukan pada dunia
Arab agar bertindak kepada Israel dan bukan sekedar omong saja).
    Namun demikian ada juga kenyataan yang lain di mana pemerintah Israel
memang bersikap diskriminatif terhadap warga Palestina. Untuk wilayah Tepi
Barat dan Jalur Gaza sebelum pendudukan, orang Palestina sebagian besar
hidup dari tanah pertanian, namun setelah pendudukan sebagian besar dari
mereka bekerja untuk kepentingan Israel, misalnya di bidang konstruksi.
Jadi 90% ekonominya bergantung pada Israel. Demikian juga
fasilitas-fasilitas umum seperti air dan listrik sepenuhnya dikontrol
Israel. Pemerintah Israel sangat memperhatikan segi keamanan dan karenanya
tidak sepenuhnya percaya kepada orang Palestina, terutama karena masih
kuatnya kelompok garis keras. Akibatnya mereka sangat membatasi ruang gerak
orang Palestina. Sejak jatuh ke dalam pendudukan Israel, Tepi Barat dan
terutama Jalur Gaza secara ekonomi merosot drastis. Apalagi ditambah efek
dari Perang Teluk, di mana Yasir Arafat membela Saddam Hussein yang
mengakibatkan banyak pekerja Palestina di negara Arab dipecat sehingga
menimbulkan pengangguran yang sangat tinggi (28%). Meskipun setelah
perjanjian Olso 1993, Palestina diberi otonomi terbatas melalui Otoritas
Palestina yang dipimpin Arafat, namun Otoritas ini sangat mengandalkan
bantuan keuangan Israel dan luar negeri yang jumlahnya terbatas. Kondisi
ini diperburuk dengan merajalelanya korupsi di kalangan Otoritas sendiri.
(Sebenarnya PLO pimpinan Arafat sudah sejak dulu diduga mengkorupsi uang
sumbangan negara-negara Arab).

Dilema Kristen Palestina

    Pendeknya, kehidupan orang Palestina sangat sulit dan menyedihkan.
Kehidupan sulit itu juga diperburuk dengan pertentangan internal di antara
mereka antara kelompok moderat dan garis keras, dan antara Palestina
Kristen dan Islam. Pertentangan Kristen dan Islam memang berada jauh dari
permukaan sehingga luput dari perhatian kita.
    Orang Palestina Kristen mencakup 8% dari 1.5 juta orang di Tepi Barat
dan 0.6% dari 1 juta orang di Jalur Gaza. Secara sosial-ekonomi mereka
relatif lebih baik karena sejak dahulu sudah mempunyai sistem pendidikan,
kesehatan yang baik hasil kerja misionaris (tidak selalu dari Barat),
kebanyakan berprofesi pedagang dan pengrajin. (Istri Yasir Arafat, Suha,
seorang Kristen, Master lulusan Sorbonne-Paris). Mereka juga adalah
kelompok yang paling lunak di antara orang Palestina (memang dulu ada
kelompok garis keras Front Rakyat Palestina yang dipimpin George Habash,
seorang Kristen yang menjadi Marxis). Mereka tinggal di sekitar Bethelem,
Beit Jalla, Beit Sahur dan Ramallah. Bahkan di Ramallah mereka mempunyai
Liga Persahabatan Yahudi-Arab (didirikan sebelum perjanjian Oslo 1993) yang
berusaha membangun perdamaian di antara Palestina-Yahudi. Orang Kristen ini
sejak dulu secara sporadis menjadi sasaran kelompok fundamentalis Islam.
Meskipun banyak dari antara mereka yang patriotik namun posisi mereka
terjepit dalam konflik terakhir ini karena sikap lunak mereka (baca :
memilih dialog dari pada kekerasan) seringkali dibaca sebagai sikap khianat
terhadap perjuangan Palestina. (lih. laporan Newsweek 27 Nopember, tentang
rumah-rumah orang Kristen di Beit Jala yang dijadikan tempat penembak gelap
Palestina menembaki orang Israel, yang mengakibatkan mereka diserang balik
oleh Israel).
    Jadi kita sebagai seorang Kristen perlu menahan diri untuk tidak
mengutuk orang Palestina. Bukan saja karena penderitaan yang dialami mereka
akibat pendudukan Israel tetapi juga karena berbicara soal orang Kristen di
Israel berarti berbicara soal orang Palestina. Tahun 1970, penginjil besar
Billy Graham meluncurkan sebuah film berjudul His Land, mengenai negara
Israel dan nubuat Alkitab di sekitarnya. Film ini adalah stereotip
pandangan Kristen (Barat) terhadap orang Arab yang di anggap seperti orang
Badui belaka dan dianggap melulu Muslim.
    Menjadi orang Kristen di Palestina bukan perkara yang mudah. Meskipun
kekristenan dan Islam sudah hidup berdampingan selama berabad-abad masih
tetap tersimpan rasa curiga di antaranya. Apalagi sebagian orang Kristen
Palestina adalah anggota gereja Anglikan Inggris yang membuat mereka
dihubung-hubungkan dengan kolonial Inggris atau gereja Baptis dan
Presbterian, yang menghubungkan mereka dengan pengaruh Amerika. Sebagian
orang Kristen Palestina juga complain terhadap klaim kaum Muslim atas
Yerusalem Timur sebagai tempat suci, karena toh mereka sudah memiliki Mekah
dan Medinah.
    Yang jarang kita dengar dari mereka adalah pendapat tentang Tanah
Suci/Perjanjian yang sekarang dikuasai Israel. Sebagaimana orang Kristen
umumnya, mereka tentu menerima otoritas Alkitab yang di dalamnya termasuk
berbicara soal Tanah Perjanjian Israel. Hanya mereka merasa legitimasi
Israel melalui ayat-ayat Alkitab itu adalah propaganda Barat atau
setidak-tidaknya ditafsirkan berbeda. Mereka mempunyai penafsiran sendiri
soal ini. Orang Kristen Palestina lebih suka mengacu persoalan tanah pada
ayat-ayat semacam Kel. 19:5-6, 1Raj. 9:4-9, 2Taw. 7:19-22. Pada ayat-ayat
tersebut ada prasyarat atas tanah yang dijanjikan, yaitu jika orang Israel
tetap setia kepada Tuhan maka tanah itu menjadi hak orang Israel, tetapi
jika mereka berbalik maka Tuhan akan menarik kembali janjinya. Dalam
penafsiran lain soal kembalinya orang Israel, misalnya dalam Yeh. 37, bagi
orang Kristen Palestina sudah tergenapi dengan kembalinya mereka dari
pembuangan Babel tahun 538 SM, demikian juga dengan ayat-ayat di Am.
9:11-15 dan Kis. 15:16-18, Yer. 31:31-34 dan Ibr. 8:8-13 telah digenapi
melalui kedatangan Yesus ke dunia. Janji kepada Abraham dan keturunannya
pun seharusnya mencakup pada Bapa Ismael yang menurunkan orang-orang Arab.

Jalan Tengah?

    Dari kedua ekstrim yang sudah dipaparkan di atas, apakah tidak pernah
terjadi jalan tengah? Sebenarnya sudah ada dan selalu ada. Upaya-upaya
perdamaian sudah mulai terjadi terutama di era tahun 80an dan 90an. Ada
banyak kelompok yang berusaha menjembatani dan mengatasi persoalan itu
dengan cara berdialog, misalnya seperti kelompok Liga Persahabatan
Yahudi-Arab di Ramallah, kelompok Peace Now di Israel, atau forum dialog
agama Israel Inter-faith Association (IIA). Sebagian orang Palestina bahkan
percaya bahwa persoalan mereka bisa diatasi melalui sebuah pemerintahan
campuran yang demokratis. Di lapis yang lebih bawah, telah terjadi beberapa
perkawinan campuran antara Yahudi-Arab dan Arab-Yahudi yang membentuk suatu
'perdamaian' yang khas. Meskipun hasilnya masih sangat jauh dari harapan,
namun selalu ada orang yang menyimpan harapan perdamaian semacam itu.
Namun kelompok-kelompok tengah ini kehilangan pijakannya dengan meledaknya
konflik terakhir ini. Wartawan Amerika keturunan Yahudi, Thomas Friedman,
telah memperingatkan bahwa permusuhan Yahudi-Palestina itu ibarat retakan
gempa yang secara ajeg bergerak saling menjauh dan akibatnya akan
mencabik-cabik setiap orang yang berusaha mengangkanginya di tengah. Jalan
tengah jalan yang mustahil?

Membaca Ulang Alkitab

    Nubuatan Alkitab bukanlah ramalan nasib atau sejenis dengan ramalan
Jayabaya. Nubuatan Alkitab sangat berkaitan erat dengan moral agama.
Ramalan-ramalan adalah upaya manusia untuk "melongok" masa depan dan karena
itu tidak terkait dengan moral. Jika bangsa Indonesia diramalkan untuk
ambruk, ya ia harus ambruk tidak perduli apakah ada orang yang baik di
dalamnya. Jika harus jaya, jayalah meskipun manusia-manusianya korup. Tidak
demikian dengan nubuatan Alkitab, semuanya terkait pada moralitas,
bergantung pada pilihan Tuhan dan pilihan manusia. Nubuat itu berfungsi
sebagai motivator, stimulator dan sekaligus peringatan. Ia hanya terjadi
jika suatu kondisi moral dipenuhi atau terjadi. Dalam kitab Yeremia
(18:7-10, lih. juga Yeh. 3:18-19 dan 33:2-6) menggambarkan bahwa suatu
janji, sekalipun dari Tuhan dapat diubah jika suatu kondisi moral tidak
dipenuhi. Demikian juga sebaliknya, sebuah kutukan Tuhan dapat diubah
menjadi berkat jika suatu kondisi moral dipenuhi. Jadi nubuat berkaitan
bukan saja dengan nasib masa depan tetapi juga hukuman, dosa, pertobatan,
iman, penyelamatan, pemulihan, keadilan dan makna-makna moral lainnya.
Maka semua nubuatan tentang tanah, Yerusalem, pembuangan dan kembalinya
orang Israel berkaitan dengan situasi moral. Ada anggapan di sebagian
kalangan Israel (bahkan sampai sekarang termasuk juga di sebagian kalangan
Kristen) bahwa janji Tuhan itu mutlak sehingga sebagai umat pilihan, bangsa
Israel mutlak pula mendapatkan janjiNya (band. Yeh. 33:24). Janji dapat
ditunda-tunda jika pertobatan tidak terjadi. Atau janji akan tetap dipenuhi
karena demi nama baik Tuhan dan kasih karunianya (lih. mis. Yeh. 20:14-17).
Jadi apakah kembalinya bangsa Yahudi ke Palestina, karena mereka sudah
menjadi baik, setelah terlunta-lunta selama 2000 tahun? Sukar dijawab,
namun bisa jadi karena demi nama Allah Israel dan karena kasih karuniaNya,
Ia tetap memenuhi janjiNya.
    Lebih jauh lagi, panggilan Israel sebagai umat Allah tidak terlepas
dengan panggilannya sebagai alat di tangan Tuhan. "Aku akan menjadikan
engkau menjadi bangsa yang besar dan memberkati engkau ... dan olehmu semua
kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kej. 12:2-3). Jadi Israel (ada
yang menafsirkan semua keturunan Abraham, misalnya orang Palestina) menjadi
umat Allah beserta semua previlese, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk menjadi alat berkat bagi bangsa-bangsa lain. Ada semacam paradoks di
dalamnya. Misalnya, nubuatan tentang Yerusalem bersifat eksklusif tetapi
juga sekaligus inklusif. Bersamaan dengan "Aku akan membawa mereka pulang,
supaya mereka diam di tengah-tengah Yerusalem. Maka mereka akan menjadi
umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka dalam kesetiaan dan kebenaran"
(Zak. 8:8) juga ada nubuat "Bersorak-sorailah dan bersukarialah, hai puteri
Sion, sebab sesungguhnya Aku datang dan diam di tengah-tengahmu,
demikianlah firman TUHAN; dan banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada
TUHAN pada waktu itu dan akan menjadi umat-Ku dan Aku akan diam di
tengah-tengahmu." (Zak. 2:10-11, lih. juga Yes. 56:7). Jadi kembalinya
Yerusalem ke tangan Israel juga terkait erat dengan kehadiran bangsa-bangsa
lain.
Dalam Alkitab tidak pernah ada tempat yang kudus pada dirinya sendiri.
Tempat yang Allah pilih sebagai suaka bagi ibadah kepadaNya tidak pernah
ditentukan bahkan di zaman Musa sekalipun. Namun pada zaman Raja Daud ada
keprihatinan untuk mendirikan Bait Allah (2Sam. 7:1-2) dan keinginan itu
dijawab Tuhan dengan menetapkan Yerusalem sebagai tempatnya (Maz. 132:1-5,
13-14). Sebuah tempat dipilih bukan karena kekuatan supernaturalnya, atau
karena warisan, tetapi karena manusia memohon dan Tuhan menjawabnya. Namun
Alkitabpun menyisakan paradoksnya bahwa Tuhan terlalu besar untuk berdiam
dalam ruang ciptaan manusia. "Langit adalah tahtaKu dan bumi adalah tumpuan
kakiKu. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagiKu, dan tempat apakah yang
akan menjadi perhentianKu?" (Yes. 66:1). Kekudusan sebuah tanah ditentukan
oleh kekudusan sebuah tindakan. Kekudusan tanah Israel ditentukan oleh
kekudusan Israel sendiri. Tanah itu belum kudus pada zaman Abraham, belum
kudus juga pada zaman Yakub dan anak-anaknya. Ia baru menjadi kudus ketika
Israel memasukinya dan menjadi bangsa yang kudus. Kekudusan itu ditentukan
oleh Israel yang menjadi kudus, dengan persyaratan "sungguh-sungguh
mendengarkan firmanKu dan berpegang pada perjanjianKu ..." (Kel. 19:5-6).
Jadi tanah Israel tidak dengan sendirinya menjadi tanah suci, Yerusalem
tidak dengan sendirinya menjadi kota suci, dan bait Allah (sekarang adalah
Dome of the Rock) tidak dengan sendirinya menjadi suci. Itu semua menjadi
suci jika umatNya melakukan tindakan-tindakan suci. Kesucian tempat tidak
menjadi mutlak dan kekerasan pasti akan merusak kesuciannya.
Dalam konteks hubungan Yahudi-Palestina, saya ingin sedikit membahas
tentang makna orang asing dalam teologia Alkitab. Dalam situasi sekarang
ini mereka saling 'mengasingkan' satu dengan yang lain, Yahudi menganggap
orang Palestina orang asing, demikian juga orang Palestina menganggap orang
Yahudi sebagai orang asing penjajah.
Dalam sejarahnya, orang Yahudi telah mengalami keluaran/kembalinya
(eksodus) ke tanah Israel selama tiga kali. Pertama adalah eksodus dari
Mesir yang mengawali identitas Israel sebagai suatu bangsa berdaulat, kedua
eksodus dari Babilonia tahun 538 SM, ketiga aliyah (arti harafiahnya,
pendakian, juga diartikan sebagai kembalinya orang Yahudi ke tanah Israel)
yang berpuncak pada berdirinya negara Israel modern 1948. Dari ketiga
peristiwa itu ada satu persamaannya, yaitu mereka harus berjumpa dengan
'orang asing' yang tinggal menetap di tanah itu. Pada eksodus yang pertama,
penyelesaiannya melalui aksi militer dengan 'membersihkan' tanah itu dari
orang-orang asing. Eksodus kedua, memperhadapkan orang-orang Yahudi dengan
orang-orang asing yang telah mempengaruhi (memerosotkan) kehidupan beragama
mereka. Penyelesaiannya adalah dengan eksklusi (pemisahan diri) dari
pengaruh asing tersebut. Lalu bagaimana dengan eksodus yang ketiga? Mereka
berhadapan dengan orang Palestina (Kristen dan Islam), sama-sama beragama
monotheis. Kali ini bagaimana mengatasi persoalannya?
Dalam Alkitab, orang asing yang menetap permanen disebut dengan ger toshav
atau ger saja (jamak gerim). Ia bukanlah warga Israel asli (yang disebut
dengan 'ezrah), bukan juga orang asing (nokhri, orang asing yang tidak
tinggal permanen), dan bukan pula budak ('eved). Mereka adalah orang bebas
yang punya status yang sama dengan orang Israel lainnya. Dalam komunitas
pertanian Israel zaman dulu, mereka tidak memiliki tanah pertanian tetapi
menjadi orang sewaan atau pengrajin. Jadi kurang lebih mereka mirip dengan
suku Lewi yang tidak mempunyai tanah. Ada beberapa ger yang terkenal dalam
Alkitab, misalnya Doeg orang Edom (1Sam. 21:7), Zelek orang Amon (2Sam.
23:37), dan Uria orang Het (2Sam. 11:3).
Yang istimewa adalah apa yang diajarkan Alkitab untuk memperlakukan mereka
setara di bidang hak-hak warga negara, dengan alasan, " ... sebab kamupun
dahulu adalah orang asing di tanah Mesir." (Kel. 23:9). Bahkan dalam Im.
19:34 dan Ul. 10:19 orang Israel diwajibkan untuk mengasihi mereka.
Hal yang mengejutkan adalah Tuhan menyatakan bahwa " ... Akulah pemilik
tanah itu, sedang kamu adalah orang asing (gerim) dan pendatang bagiKu."
Jelaslah bahwa Israel yang mendapat mandat itu tidak bisa secara mutlak
mengangkanginya. Ia harus selalu sadar terus menerus bahwa ia tidak lebih
adalah orang asing di hadapan Tuhan. Kepemilikan tanah itu menjadi sah jika
ada tindakan moral sesuai dengan kehendak Allah, ada tindakan keadilan dan
kasih terhadap orang lain. Siapakah gerim bagi Israel modern selain orang
Palestina. Jadi kepemilikan tanah Israel terkait erat pula dengan sikap
adil dan kasih orang Yahudi terhadap orang Palestina. Tindakan politik sama
sekali tidak memadai, apalagi tindakan militer.
Bentuk ideal dari hubungan semacam itu secara formal sebenarnya sudah ada.
Dalam deklarasi kemerdekaan Israel sudah menyebut, "Negara Israel ...
didirikan untuk kebaikan seluruh warganya, berdasarkan kemerdekaan,
keadilan dan perdamaian, sebagaimana telah dibayangkan oleh para nabi
Israel. Negara akan menjamin persamaan hak sosial dan politik bagi semua
warga tanpa perduli dengan latar belakang agamanya, jenis kelaminnya. Ia
akan menjamin kebebasan beragama, nurani, bahasa, pendidikan dan budaya. Ia
akan menjadi penjaga tempat-tempat suci keagamaan manapun ... Kami berseru
(di tengah serangan gencar terhadap kami dalam bulan-bulan ini) kepada
penduduk Arab untuk memelihara perdamaian dan mengundang partisipasinya
untuk membangun negara ini berdasarkan persamaan penuh dan melalui
perwakilan dalam lembaga-lembaga." Demikian juga dari pihak Palestina,
melalui suara Nabil A. Shaath, memimpikan sebuah negara Palestina yang,
"demokratis, non-sektarian, sekular, terbuka, plural." Masalah terbesarnya
adalah bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa sehari-hari?
 Bagi orang Israel, tanah sudah kembali, Yerusalem sudah kembali (Bait
Allah juga akan kembali? Wallahualam), sekarang tinggal bagaimana mereka
mengelola diri lewat tindakan untuk belajar bekerja sama dengan orang lain.
Dari sudut pandang teologis, Tuhan sudah bertindak memenuhi janjiNya (demi
namaNya dan kasih karuniaNya) tinggal Israel menunjukkan diri apakah ia
pantas menjadi umat pilihan yang akan menjadi berkat bagi bangsa lain,
termasuk bangsa Palestina.


Penutup

Apakah nubuat-nubuat tentang kekerasan di Yerusalem akan terjadi dan Yesus
segera datang untuk kedua kalinya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu masih
banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan dari kedua belah pihak.
 Kita tidak perlu menjadi anti-Israel atau anti-Palestina, maupun
pro-Israel dan pro-Palestina secara berlebihan, sebaliknya seharusnya kita
ikut prihatin. Jika kedua bangsa itu mulai belajar untuk menyelesaikan
persoalan mereka, seluruh dunia akan mendapat berkatnya. Mungkin kita
terlalu jauh untuk ikut terlibat di dalamnya, tetapi paling sedikit kita
bisa menahan diri untuk tidak mengutuki siapapun bahkan kita perlu berdoa
demi perdamaian. Dalam tradisi Yahudi ada orang-orang non-Yahudi yang
disebut hasidei ummot ha-olam (orang-orang benar di seluruh dunia),
jumlahnya menurut angka mistis 36 orang setiap generasi (72 adalah simbol
keutuhan/lengkap, jadi 36 artinya jumlah minimal). Mereka adalah
orang-orang yang karena perbuatan baik dan menegakkan keadilan, tanpa
mereka sadari telah menyebabkan Tuhan menahan diri untuk tidak
menghancurkan dunia karena kejahatan-kejahatannya. Jadi dunia diselamatkan
oleh mereka. Baiklah kita menjadi hasidei ummot ha-olam yang melalui
perbuatan kita menopang dunia sekuat tenaga agar tidak ditimpa murka Allah.


"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
***********************************************************************
Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan
tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED]
Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772
atau
BCA Cab. Darmo Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838
***********************************************************************
Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan:
subscribe eskolnet-l    ATAU    unsubscribe eskolnet-l

Kirim email ke