============ Artikel Lepas ============ (sambungan "Konflik Israel-Palestina") Menengok Sejarah Sejak bangsa Israel terusir dari tanah ini pada tahun 70 dan 135 oleh bangsa Romawi, tanah ini telah berganti-ganti penguasanya. Secara ringkas pemerintahan di Palestina adalah : Romawi hingga abad ke 4 Bizantium (Kristen) abad ke 4 - 638 Kalifah-kalifah (Islam) 638 - 1100 Tentara Perang Salib (Kristen) 1100 - 1187 Muslim Mesir (Islam) 1187 - 1516 Turki Usmaniah (Islam) 1516 - 1917 Inggris 1917 - 1948 Israel modern 1948 - sekarang Tepi Barat dikuasai Israel 1967 Butuh waktu kurang lebih 1900 tahun bagi orang Yahudi untuk kembali kepada kedaulatan bangsanya. Persoalan Legitimasi Apa legitimasi Yahudi? Bagi orang Yahudi tanah Israel adalah tanah terjanji (mis. Kel. 13:5) dari Tuhan sejalan dengan pilihan mereka sebagai umat Allah. Janji itu berakar pada janji Tuhan pada Bapa Abraham (Kej. 12:1). Sehingga sekalipun bangsa ini pernah dibuang semasa pendudukan Babilonia tahun 586 SM, mereka tetap kembali lagi ke tanah itu tahun 538 SM (setelah 52 tahun atau 70 tahun menurut tradisi). Dan setelah dibuang sekali lagi tahun 70 dan 135, masih juga mereka kembali lagi menjadi bangsa tahun 1948 (setelah 1900 tahun). Dalam agama Yahudi tanah Israel disebut ha'Aretz (Tanah itu), sedangkan negeri di luar Israel disebut hutz la-Aretz (di luar Tanah itu). Ini jelas menunjukkan keunikan tanah ini bagi identitas kebangsaan Israel dan keagamaan karena janji Tuhan atas tanah itu. Pandangan ini tentu saja menjadi perdebatan hingga sekarang terutama bagi orang-orang non-Yahudi (dan sebagian orang Yahudi sendiri). Hukum-hukum Taurat tentang pertanian juga seringkali mengacu pada tanah ini sebagai tanah terjanji dari Allah (mis. Im. 19:23, 23:10, 25:2, Ul. 26:1). Pada tradisi Yudaisme yang lebih kemudian dikatakan demikian, "Telah diajarkan bahwa : Rabi Simeon ben Yohai (hidup satu abad sesudah Yesus) berkata, 'Sang Maha Kudus (maksudnya Tuhan), terpujilah Ia, mengaruniakan kepada Israel tiga pemberian yang sangat berharga dan kesemuanya itu diberikan melalui penderitaan, yaitu Taurat, tanah Israel, dan dunia yang akan datang ..." (Berakhot 5a). Bahkan ada sebagian Rabi Yahudi zaman dulu yang menganggap kebangkitan hanya bisa terjadi di tanah itu (B'reshith Rabbah 96:5). Dalam naskah kemerdekaan negara Israel modern yang dideklarasikan pada malam Sabat, 14 Mei 1948 (dalam tahun Ibrani, 5 Iyyar 5708), pembukaannya didahului dengan, "Eretz-Israel (tanah Israel) adalah tempat lahir bangsa Yahudi ... Setelah dipaksa meninggalkan tanah itu, bangsa ini tetap memelihara iman kepada tanah itu sepanjang masa penyerakan (Diaspora, Ing. Dispersion) dan tida dk pernah berhenti berdoa dan berharap akan kembalinya mereka ke tanah, demi mengembalikan kebebasan politik mereka." Juga pada lagu kebangsaan Israel, Ha-Tikvah (Pengharapan) disebut, "Untuk kembali ke tanah nenek moyang kita, ke kota tempat Raja Daud bersemayam." (ini adalah teks lagu asli yang diciptakan tahun 1878, jauh sebelum negara Israel berdiri. Teks modernnya telah diganti menjadi, "Untuk menjadi manusia bebas di tanah kita, negeri tempat Zion dan Yerusalem berada."). Jadi bagi mereka tanah Israel keseluruhan adalah terjanji dan pusat tanah terjanji itu adalah Yudea dan Samaria (Tepi Barat) di mana Yerusalem berada. Yerusalem sejak masa Raja Daud menjadi pusat pemerintahan dan keagaaman Israel (2Sam. 5:1-13, 24:18-25). Kota ini menjadi tempat berdirinya Bait Allah yang dipercaya sebagai lambang kehadiran Allah di Israel. Kota ini oleh nabi Yesaya disebut kota keadilan (Yes. 1:26) dan pemazmur menciptakan pujian khusus baginya (Maz. 122). Yerusalem sudah dipilih Tuhan sebagai tempat kedudukannya (Maz. 132:13-14). Sejak mereka terusir, di penghujung ibadah hari raya Paskah, mereka tidak lupa mengucapkan doa le-shana ha ba'a ve Yerushalahayim {tahun depan kita (merayakan Paskah) di Yerusalem}. Ungkapan liturgi doa ini di ucapkan terus menerus tiap tahun sepanjang berabad-abad di mana saja mereka berada, sebagai ungkapan kerinduan untuk kembali ke tanah dan kota Allah. Jadi legitimasi orang Yahudi adalah keyakinaneagamannya yang sungguh khas, suatu hal yang sukar dipahami oleh orang modern. Teman saya, seorang Muslim, pernah mengatakan bahwa orang Yahudi menang 'ngotot' dibanding orang Palestina. Mungkin saja, saya tidak tahu. Yang jelas orang Yahudi melalui keyakinan agamanya itu (lebih dari keyakinan politis) berhasil mewujudkan kembali impian ribuan tahunnya. Namun demikian terlepas dari argumentasi orang Yahudi soal tanah dan Yerusalem, menurut mereka berdasarkan sejarah belum pernah ada negara Palestina yang didirikan oleh orang Arab Palestina sendiri. Meskipun kekuasaan Islam berusia 1300 tahun di tanah itu, seluruh penguasanya sama sekali bukan orang setempat atau mewakili kepentingan setempat. Mereka adalah penguasa-penguasa dari Damaskus-Syria, Bagdad-Irak, Kairo-Mesir, dan Istanbul-Turki. Jadi sukar juga buat orang Palestina untuk mengklaim sebuah negara Palestina berdasarkan sejarah. (Seorang tokoh Palestina belum lama ini mengatakan legitimasi mereka adalah karena mereka keturunan orang Filistin yang diusir oleh bangsa Israel. Saya kira tokoh ini kurang memahami bahwa orang Filistin itu suku bangsa Eropa, bukan orang Semit atau Arab, yang bahkan sudah punah jauh sebelum zaman Yesus). Kedua, juga masih masalah sejarah, sejak Inggris melepaskan kekuasaannya di Timur Tengah pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-bangsa membagi Palestina menjadi tiga bagian. Daerah pantai, Galilea dan gurun Negev menjadi jatah orang Yahudi, Tepi Barat yang menjadi 'jatah' orang Palestina, berada di bawah kekuasaan Kerajaan Hashemit Yordania, dan Yerusalem Timur (termasuk kota tuanya) menjadi daerah internasional. Jadi ketika terjadi perang Enam Hari, secara politis dan militer Israel merebutnya Tepi Barat dari tangan Yordania dan Jalur Gaza dari Mesir dengan mengalahkan pasukan Liga Arab (gabungan pasukan Irak, Syria, Yordania, Mesir, Palestina dan negara-negara Arab lainnya). Argumentasi selanjutnya tentang klaim negara Palestina adalah pada kenyataan bahwa tidak ada gerakan pendirian negara Palestina sebelum tahun 1967. Aspirasi untuk mendirikan negara Palestina muncul setelah Israel menguasai Tepi Barat. Jadi ketika orang Palestina di bawah kekuasaan Yordania mereka sendiri tidak berniat mendirikan negara Palestina. Bagi orang Palestina, tentu saja bangsa yang sudah tidak pernah mendiami tanahnya selama hampir 2000 tahun tidak bisa disebut tuan rumah. Bangsa Palestina lahir dari tanah Palestina sehingga sungguh tidak adil mengusir mereka dari negeri nenek moyang mereka. Mereka menyerang anggapan organisasi Zionisme Internasional yang mengklaim tanah Palestina sebagai "tanah air tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah air" (land without people for people without land). Penduduk Arab Palestina telah hidup sejak masa Kalifah-kalifah berdiam di tanah itu. Orang Palestina sudah sangat at home dengan tanahnya meskipun mereka sendiri dulunya kaum pendatang (dari jazirah Arab, Mesir, Turki, atau keturunan bangsa Eropa melalui tentara Perang Salib). Banyak sekali warga Palestina yang masih bisa menunjukkan garis keturunan keluarganya surut hingga delapan ratus tahun yang lalu. Jika sisipan penguasaan tentara Perang Salib ditiadakan, maka kekuasaan Islam di tanah itu sudah kurang lebih 1300 tahun. Wajar jika mereka menuntut tanah yang dikuasai Israel beserta Yerusalemnya. Bagi orang Muslim, kota Yerusalem adalah kota tersuci ketiga setelah Mekkah dan Medinah. Mereka menyebut kota ini Baitul Muqqadas (Rumah Suci) atau Al-Quds (kota Suci). Di sinilah Nabi Muhammad dipercaya mi'raj dalam peristiwa Isra' Mi'raj. Tradisi yang mendorong ketika Kalifah Abdul Al-Malik dari Kalifah Ummayah menduduki Yerusalem tahun 638, mendirikan tempat ziarah Qubbat as-Sakrah di atas reruntuhan Bait Suci Yahudi. (sejak dihancurkan oleh orang Romawi, bait ini dibiarkan menjadi reruntuhan, bahkan oleh penguasa Kristen Bizantium). Sikap Diskriminatif Israel Apakah Israel memang tidak memperhatikan nasib orang Palestina? Selain masalah legitimasi tanah dan status Yerusalem, sebenarnya ironis sekali bahwa kehidupan orang Palestina di Israel relatif lebih baik daripada di negara-negara Arab. Hanya di Israel saja orang Arab Palestina mempunyai wakilnya di parlemen Israel (Knesset). Orang Palestina memiliki perguruan tinggi juga hanya di Israel (Universitas Bethlehem, Universitas Bir-Zeit, Universitas Al-Najah, Institut Agama Islam Hebron, Sekolah Tinggi Teknik Abu Dis). Pemerintah Israel memberikan Suatu kondisi yang sama sekali tidak ditawarkan oleh bangsa Arab lain. Di negara-negara Arab (Libanon, Tunisia, Kuwait), kebanyakan orang Palestina hanya menjadi pekerja dan tinggal di kamp-kamp pengungsian. (Mengenai sikap mendua orang-orang Arab terhadap orang Palestian, beberapa minggu yang lalu Arafat menyerukan pada dunia Arab agar bertindak kepada Israel dan bukan sekedar omong saja). Namun demikian ada juga kenyataan yang lain di mana pemerintah Israel memang bersikap diskriminatif terhadap warga Palestina. Untuk wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza sebelum pendudukan, orang Palestina sebagian besar hidup dari tanah pertanian, namun setelah pendudukan sebagian besar dari mereka bekerja untuk kepentingan Israel, misalnya di bidang konstruksi. Jadi 90% ekonominya bergantung pada Israel. Demikian juga fasilitas-fasilitas umum seperti air dan listrik sepenuhnya dikontrol Israel. Pemerintah Israel sangat memperhatikan segi keamanan dan karenanya tidak sepenuhnya percaya kepada orang Palestina, terutama karena masih kuatnya kelompok garis keras. Akibatnya mereka sangat membatasi ruang gerak orang Palestina. Sejak jatuh ke dalam pendudukan Israel, Tepi Barat dan terutama Jalur Gaza secara ekonomi merosot drastis. Apalagi ditambah efek dari Perang Teluk, di mana Yasir Arafat membela Saddam Hussein yang mengakibatkan banyak pekerja Palestina di negara Arab dipecat sehingga menimbulkan pengangguran yang sangat tinggi (28%). Meskipun setelah perjanjian Olso 1993, Palestina diberi otonomi terbatas melalui Otoritas Palestina yang dipimpin Arafat, namun Otoritas ini sangat mengandalkan bantuan keuangan Israel dan luar negeri yang jumlahnya terbatas. Kondisi ini diperburuk dengan merajalelanya korupsi di kalangan Otoritas sendiri. (Sebenarnya PLO pimpinan Arafat sudah sejak dulu diduga mengkorupsi uang sumbangan negara-negara Arab). Dilema Kristen Palestina Pendeknya, kehidupan orang Palestina sangat sulit dan menyedihkan. Kehidupan sulit itu juga diperburuk dengan pertentangan internal di antara mereka antara kelompok moderat dan garis keras, dan antara Palestina Kristen dan Islam. Pertentangan Kristen dan Islam memang berada jauh dari permukaan sehingga luput dari perhatian kita. Orang Palestina Kristen mencakup 8% dari 1.5 juta orang di Tepi Barat dan 0.6% dari 1 juta orang di Jalur Gaza. Secara sosial-ekonomi mereka relatif lebih baik karena sejak dahulu sudah mempunyai sistem pendidikan, kesehatan yang baik hasil kerja misionaris (tidak selalu dari Barat), kebanyakan berprofesi pedagang dan pengrajin. (Istri Yasir Arafat, Suha, seorang Kristen, Master lulusan Sorbonne-Paris). Mereka juga adalah kelompok yang paling lunak di antara orang Palestina (memang dulu ada kelompok garis keras Front Rakyat Palestina yang dipimpin George Habash, seorang Kristen yang menjadi Marxis). Mereka tinggal di sekitar Bethelem, Beit Jalla, Beit Sahur dan Ramallah. Bahkan di Ramallah mereka mempunyai Liga Persahabatan Yahudi-Arab (didirikan sebelum perjanjian Oslo 1993) yang berusaha membangun perdamaian di antara Palestina-Yahudi. Orang Kristen ini sejak dulu secara sporadis menjadi sasaran kelompok fundamentalis Islam. Meskipun banyak dari antara mereka yang patriotik namun posisi mereka terjepit dalam konflik terakhir ini karena sikap lunak mereka (baca : memilih dialog dari pada kekerasan) seringkali dibaca sebagai sikap khianat terhadap perjuangan Palestina. (lih. laporan Newsweek 27 Nopember, tentang rumah-rumah orang Kristen di Beit Jala yang dijadikan tempat penembak gelap Palestina menembaki orang Israel, yang mengakibatkan mereka diserang balik oleh Israel). Jadi kita sebagai seorang Kristen perlu menahan diri untuk tidak mengutuk orang Palestina. Bukan saja karena penderitaan yang dialami mereka akibat pendudukan Israel tetapi juga karena berbicara soal orang Kristen di Israel berarti berbicara soal orang Palestina. Tahun 1970, penginjil besar Billy Graham meluncurkan sebuah film berjudul His Land, mengenai negara Israel dan nubuat Alkitab di sekitarnya. Film ini adalah stereotip pandangan Kristen (Barat) terhadap orang Arab yang di anggap seperti orang Badui belaka dan dianggap melulu Muslim. Menjadi orang Kristen di Palestina bukan perkara yang mudah. Meskipun kekristenan dan Islam sudah hidup berdampingan selama berabad-abad masih tetap tersimpan rasa curiga di antaranya. Apalagi sebagian orang Kristen Palestina adalah anggota gereja Anglikan Inggris yang membuat mereka dihubung-hubungkan dengan kolonial Inggris atau gereja Baptis dan Presbterian, yang menghubungkan mereka dengan pengaruh Amerika. Sebagian orang Kristen Palestina juga complain terhadap klaim kaum Muslim atas Yerusalem Timur sebagai tempat suci, karena toh mereka sudah memiliki Mekah dan Medinah. Yang jarang kita dengar dari mereka adalah pendapat tentang Tanah Suci/Perjanjian yang sekarang dikuasai Israel. Sebagaimana orang Kristen umumnya, mereka tentu menerima otoritas Alkitab yang di dalamnya termasuk berbicara soal Tanah Perjanjian Israel. Hanya mereka merasa legitimasi Israel melalui ayat-ayat Alkitab itu adalah propaganda Barat atau setidak-tidaknya ditafsirkan berbeda. Mereka mempunyai penafsiran sendiri soal ini. Orang Kristen Palestina lebih suka mengacu persoalan tanah pada ayat-ayat semacam Kel. 19:5-6, 1Raj. 9:4-9, 2Taw. 7:19-22. Pada ayat-ayat tersebut ada prasyarat atas tanah yang dijanjikan, yaitu jika orang Israel tetap setia kepada Tuhan maka tanah itu menjadi hak orang Israel, tetapi jika mereka berbalik maka Tuhan akan menarik kembali janjinya. Dalam penafsiran lain soal kembalinya orang Israel, misalnya dalam Yeh. 37, bagi orang Kristen Palestina sudah tergenapi dengan kembalinya mereka dari pembuangan Babel tahun 538 SM, demikian juga dengan ayat-ayat di Am. 9:11-15 dan Kis. 15:16-18, Yer. 31:31-34 dan Ibr. 8:8-13 telah digenapi melalui kedatangan Yesus ke dunia. Janji kepada Abraham dan keturunannya pun seharusnya mencakup pada Bapa Ismael yang menurunkan orang-orang Arab. Jalan Tengah? Dari kedua ekstrim yang sudah dipaparkan di atas, apakah tidak pernah terjadi jalan tengah? Sebenarnya sudah ada dan selalu ada. Upaya-upaya perdamaian sudah mulai terjadi terutama di era tahun 80an dan 90an. Ada banyak kelompok yang berusaha menjembatani dan mengatasi persoalan itu dengan cara berdialog, misalnya seperti kelompok Liga Persahabatan Yahudi-Arab di Ramallah, kelompok Peace Now di Israel, atau forum dialog agama Israel Inter-faith Association (IIA). Sebagian orang Palestina bahkan percaya bahwa persoalan mereka bisa diatasi melalui sebuah pemerintahan campuran yang demokratis. Di lapis yang lebih bawah, telah terjadi beberapa perkawinan campuran antara Yahudi-Arab dan Arab-Yahudi yang membentuk suatu 'perdamaian' yang khas. Meskipun hasilnya masih sangat jauh dari harapan, namun selalu ada orang yang menyimpan harapan perdamaian semacam itu. Namun kelompok-kelompok tengah ini kehilangan pijakannya dengan meledaknya konflik terakhir ini. Wartawan Amerika keturunan Yahudi, Thomas Friedman, telah memperingatkan bahwa permusuhan Yahudi-Palestina itu ibarat retakan gempa yang secara ajeg bergerak saling menjauh dan akibatnya akan mencabik-cabik setiap orang yang berusaha mengangkanginya di tengah. Jalan tengah jalan yang mustahil? Membaca Ulang Alkitab Nubuatan Alkitab bukanlah ramalan nasib atau sejenis dengan ramalan Jayabaya. Nubuatan Alkitab sangat berkaitan erat dengan moral agama. Ramalan-ramalan adalah upaya manusia untuk "melongok" masa depan dan karena itu tidak terkait dengan moral. Jika bangsa Indonesia diramalkan untuk ambruk, ya ia harus ambruk tidak perduli apakah ada orang yang baik di dalamnya. Jika harus jaya, jayalah meskipun manusia-manusianya korup. Tidak demikian dengan nubuatan Alkitab, semuanya terkait pada moralitas, bergantung pada pilihan Tuhan dan pilihan manusia. Nubuat itu berfungsi sebagai motivator, stimulator dan sekaligus peringatan. Ia hanya terjadi jika suatu kondisi moral dipenuhi atau terjadi. Dalam kitab Yeremia (18:7-10, lih. juga Yeh. 3:18-19 dan 33:2-6) menggambarkan bahwa suatu janji, sekalipun dari Tuhan dapat diubah jika suatu kondisi moral tidak dipenuhi. Demikian juga sebaliknya, sebuah kutukan Tuhan dapat diubah menjadi berkat jika suatu kondisi moral dipenuhi. Jadi nubuat berkaitan bukan saja dengan nasib masa depan tetapi juga hukuman, dosa, pertobatan, iman, penyelamatan, pemulihan, keadilan dan makna-makna moral lainnya. Maka semua nubuatan tentang tanah, Yerusalem, pembuangan dan kembalinya orang Israel berkaitan dengan situasi moral. Ada anggapan di sebagian kalangan Israel (bahkan sampai sekarang termasuk juga di sebagian kalangan Kristen) bahwa janji Tuhan itu mutlak sehingga sebagai umat pilihan, bangsa Israel mutlak pula mendapatkan janjiNya (band. Yeh. 33:24). Janji dapat ditunda-tunda jika pertobatan tidak terjadi. Atau janji akan tetap dipenuhi karena demi nama baik Tuhan dan kasih karunianya (lih. mis. Yeh. 20:14-17). Jadi apakah kembalinya bangsa Yahudi ke Palestina, karena mereka sudah menjadi baik, setelah terlunta-lunta selama 2000 tahun? Sukar dijawab, namun bisa jadi karena demi nama Allah Israel dan karena kasih karuniaNya, Ia tetap memenuhi janjiNya. Lebih jauh lagi, panggilan Israel sebagai umat Allah tidak terlepas dengan panggilannya sebagai alat di tangan Tuhan. "Aku akan menjadikan engkau menjadi bangsa yang besar dan memberkati engkau ... dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat." (Kej. 12:2-3). Jadi Israel (ada yang menafsirkan semua keturunan Abraham, misalnya orang Palestina) menjadi umat Allah beserta semua previlese, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi alat berkat bagi bangsa-bangsa lain. Ada semacam paradoks di dalamnya. Misalnya, nubuatan tentang Yerusalem bersifat eksklusif tetapi juga sekaligus inklusif. Bersamaan dengan "Aku akan membawa mereka pulang, supaya mereka diam di tengah-tengah Yerusalem. Maka mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka dalam kesetiaan dan kebenaran" (Zak. 8:8) juga ada nubuat "Bersorak-sorailah dan bersukarialah, hai puteri Sion, sebab sesungguhnya Aku datang dan diam di tengah-tengahmu, demikianlah firman TUHAN; dan banyak bangsa akan menggabungkan diri kepada TUHAN pada waktu itu dan akan menjadi umat-Ku dan Aku akan diam di tengah-tengahmu." (Zak. 2:10-11, lih. juga Yes. 56:7). Jadi kembalinya Yerusalem ke tangan Israel juga terkait erat dengan kehadiran bangsa-bangsa lain. Dalam Alkitab tidak pernah ada tempat yang kudus pada dirinya sendiri. Tempat yang Allah pilih sebagai suaka bagi ibadah kepadaNya tidak pernah ditentukan bahkan di zaman Musa sekalipun. Namun pada zaman Raja Daud ada keprihatinan untuk mendirikan Bait Allah (2Sam. 7:1-2) dan keinginan itu dijawab Tuhan dengan menetapkan Yerusalem sebagai tempatnya (Maz. 132:1-5, 13-14). Sebuah tempat dipilih bukan karena kekuatan supernaturalnya, atau karena warisan, tetapi karena manusia memohon dan Tuhan menjawabnya. Namun Alkitabpun menyisakan paradoksnya bahwa Tuhan terlalu besar untuk berdiam dalam ruang ciptaan manusia. "Langit adalah tahtaKu dan bumi adalah tumpuan kakiKu. Rumah apakah yang akan kamu dirikan bagiKu, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentianKu?" (Yes. 66:1). Kekudusan sebuah tanah ditentukan oleh kekudusan sebuah tindakan. Kekudusan tanah Israel ditentukan oleh kekudusan Israel sendiri. Tanah itu belum kudus pada zaman Abraham, belum kudus juga pada zaman Yakub dan anak-anaknya. Ia baru menjadi kudus ketika Israel memasukinya dan menjadi bangsa yang kudus. Kekudusan itu ditentukan oleh Israel yang menjadi kudus, dengan persyaratan "sungguh-sungguh mendengarkan firmanKu dan berpegang pada perjanjianKu ..." (Kel. 19:5-6). Jadi tanah Israel tidak dengan sendirinya menjadi tanah suci, Yerusalem tidak dengan sendirinya menjadi kota suci, dan bait Allah (sekarang adalah Dome of the Rock) tidak dengan sendirinya menjadi suci. Itu semua menjadi suci jika umatNya melakukan tindakan-tindakan suci. Kesucian tempat tidak menjadi mutlak dan kekerasan pasti akan merusak kesuciannya. Dalam konteks hubungan Yahudi-Palestina, saya ingin sedikit membahas tentang makna orang asing dalam teologia Alkitab. Dalam situasi sekarang ini mereka saling 'mengasingkan' satu dengan yang lain, Yahudi menganggap orang Palestina orang asing, demikian juga orang Palestina menganggap orang Yahudi sebagai orang asing penjajah. Dalam sejarahnya, orang Yahudi telah mengalami keluaran/kembalinya (eksodus) ke tanah Israel selama tiga kali. Pertama adalah eksodus dari Mesir yang mengawali identitas Israel sebagai suatu bangsa berdaulat, kedua eksodus dari Babilonia tahun 538 SM, ketiga aliyah (arti harafiahnya, pendakian, juga diartikan sebagai kembalinya orang Yahudi ke tanah Israel) yang berpuncak pada berdirinya negara Israel modern 1948. Dari ketiga peristiwa itu ada satu persamaannya, yaitu mereka harus berjumpa dengan 'orang asing' yang tinggal menetap di tanah itu. Pada eksodus yang pertama, penyelesaiannya melalui aksi militer dengan 'membersihkan' tanah itu dari orang-orang asing. Eksodus kedua, memperhadapkan orang-orang Yahudi dengan orang-orang asing yang telah mempengaruhi (memerosotkan) kehidupan beragama mereka. Penyelesaiannya adalah dengan eksklusi (pemisahan diri) dari pengaruh asing tersebut. Lalu bagaimana dengan eksodus yang ketiga? Mereka berhadapan dengan orang Palestina (Kristen dan Islam), sama-sama beragama monotheis. Kali ini bagaimana mengatasi persoalannya? Dalam Alkitab, orang asing yang menetap permanen disebut dengan ger toshav atau ger saja (jamak gerim). Ia bukanlah warga Israel asli (yang disebut dengan 'ezrah), bukan juga orang asing (nokhri, orang asing yang tidak tinggal permanen), dan bukan pula budak ('eved). Mereka adalah orang bebas yang punya status yang sama dengan orang Israel lainnya. Dalam komunitas pertanian Israel zaman dulu, mereka tidak memiliki tanah pertanian tetapi menjadi orang sewaan atau pengrajin. Jadi kurang lebih mereka mirip dengan suku Lewi yang tidak mempunyai tanah. Ada beberapa ger yang terkenal dalam Alkitab, misalnya Doeg orang Edom (1Sam. 21:7), Zelek orang Amon (2Sam. 23:37), dan Uria orang Het (2Sam. 11:3). Yang istimewa adalah apa yang diajarkan Alkitab untuk memperlakukan mereka setara di bidang hak-hak warga negara, dengan alasan, " ... sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir." (Kel. 23:9). Bahkan dalam Im. 19:34 dan Ul. 10:19 orang Israel diwajibkan untuk mengasihi mereka. Hal yang mengejutkan adalah Tuhan menyatakan bahwa " ... Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing (gerim) dan pendatang bagiKu." Jelaslah bahwa Israel yang mendapat mandat itu tidak bisa secara mutlak mengangkanginya. Ia harus selalu sadar terus menerus bahwa ia tidak lebih adalah orang asing di hadapan Tuhan. Kepemilikan tanah itu menjadi sah jika ada tindakan moral sesuai dengan kehendak Allah, ada tindakan keadilan dan kasih terhadap orang lain. Siapakah gerim bagi Israel modern selain orang Palestina. Jadi kepemilikan tanah Israel terkait erat pula dengan sikap adil dan kasih orang Yahudi terhadap orang Palestina. Tindakan politik sama sekali tidak memadai, apalagi tindakan militer. Bentuk ideal dari hubungan semacam itu secara formal sebenarnya sudah ada. Dalam deklarasi kemerdekaan Israel sudah menyebut, "Negara Israel ... didirikan untuk kebaikan seluruh warganya, berdasarkan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian, sebagaimana telah dibayangkan oleh para nabi Israel. Negara akan menjamin persamaan hak sosial dan politik bagi semua warga tanpa perduli dengan latar belakang agamanya, jenis kelaminnya. Ia akan menjamin kebebasan beragama, nurani, bahasa, pendidikan dan budaya. Ia akan menjadi penjaga tempat-tempat suci keagamaan manapun ... Kami berseru (di tengah serangan gencar terhadap kami dalam bulan-bulan ini) kepada penduduk Arab untuk memelihara perdamaian dan mengundang partisipasinya untuk membangun negara ini berdasarkan persamaan penuh dan melalui perwakilan dalam lembaga-lembaga." Demikian juga dari pihak Palestina, melalui suara Nabil A. Shaath, memimpikan sebuah negara Palestina yang, "demokratis, non-sektarian, sekular, terbuka, plural." Masalah terbesarnya adalah bagaimana mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa sehari-hari? Bagi orang Israel, tanah sudah kembali, Yerusalem sudah kembali (Bait Allah juga akan kembali? Wallahualam), sekarang tinggal bagaimana mereka mengelola diri lewat tindakan untuk belajar bekerja sama dengan orang lain. Dari sudut pandang teologis, Tuhan sudah bertindak memenuhi janjiNya (demi namaNya dan kasih karuniaNya) tinggal Israel menunjukkan diri apakah ia pantas menjadi umat pilihan yang akan menjadi berkat bagi bangsa lain, termasuk bangsa Palestina. Penutup Apakah nubuat-nubuat tentang kekerasan di Yerusalem akan terjadi dan Yesus segera datang untuk kedua kalinya? Saya tidak tahu. Yang saya tahu masih banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan dari kedua belah pihak. Kita tidak perlu menjadi anti-Israel atau anti-Palestina, maupun pro-Israel dan pro-Palestina secara berlebihan, sebaliknya seharusnya kita ikut prihatin. Jika kedua bangsa itu mulai belajar untuk menyelesaikan persoalan mereka, seluruh dunia akan mendapat berkatnya. Mungkin kita terlalu jauh untuk ikut terlibat di dalamnya, tetapi paling sedikit kita bisa menahan diri untuk tidak mengutuki siapapun bahkan kita perlu berdoa demi perdamaian. Dalam tradisi Yahudi ada orang-orang non-Yahudi yang disebut hasidei ummot ha-olam (orang-orang benar di seluruh dunia), jumlahnya menurut angka mistis 36 orang setiap generasi (72 adalah simbol keutuhan/lengkap, jadi 36 artinya jumlah minimal). Mereka adalah orang-orang yang karena perbuatan baik dan menegakkan keadilan, tanpa mereka sadari telah menyebabkan Tuhan menahan diri untuk tidak menghancurkan dunia karena kejahatan-kejahatannya. Jadi dunia diselamatkan oleh mereka. Baiklah kita menjadi hasidei ummot ha-olam yang melalui perbuatan kita menopang dunia sekuat tenaga agar tidak ditimpa murka Allah. "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36) *********************************************************************** Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED] Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772 atau BCA Cab. Darmo Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838 *********************************************************************** Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan: subscribe eskolnet-l ATAU unsubscribe eskolnet-l