``````````````````````` Konflik Israel-Palestina Sebuah Pandangan Kristen ---------------------------- Oleh : Leonard C.Epafras "Bumi tertawa ketika seseorang mengklaim sebuah tempat sebagai miliknya " Pepatah Hindustan Pendahuluan Tanggal 28 September 2000, seharusnya menjadi hari yang istimewa bagi orang Yahudi dalam mempersiapkan kedatangan hari raya Tahun Baru (Rosh ha-Shanah), 30 September. Ketika itu mereka berkumpul di Tembok Ratapan (Kotel, Tembok Barat) di Yerusalem Tua, untuk berdoa. Tembok ini adalah sisa-sisa reruntuhan tembok yang mengelilingi Bait Allah zaman Yesus yang dibangun oleh Raja Herodes. Rosh ha-Shanah disebut juga yom teru'ah (hari peniupan sangkakala, Bil. 29:1) yaitu hari di mana terompet sangkakala (shofar) ditiup sebagai tanda dibukanya lembaran baru. Biasanya pada saat itu, setelah ibadah, orang Yahudi akan saling mengucapkan le-Shanah tovah tehatem ve-tikatev {Semoga engkau tercatat (dalam kitab kehidupan) dan mengalami tahun yang baik}. Mereka juga akan makan hallah (roti Sabat), sebagai lambang kehidupan kekal, dan minum madu (atau makan apel), sebagai lambang harapan akan tahun yang manis. Sebagian orang Yahudi yang lain akan menjalankan tradisi tashlikh, yaitu tradisi "membuang dosa" di sebuah kolam, sungai atau laut dengan menyimbolkannya melalui membuang semua kotoran dalam kantong celana atau baju. Makna religius yang lain dari hari raya ini terungkap melalui sebutannya sebagai yom ha-din (hari penghakiman), yang menurut Talmud (kitab tersuci kedua setelah Alkitab Yahudi), Allah akan menetapkan siapa-siapa yang akan tercatat dalam "kitab kehidupan" dan "kitab kematian" untuk tahun mendatang. Menurut cerita, penetapan itu dilakukan Tuhan selama sepuluh hari, yang dikenal dengan masa-masa "pertobatan" (aseret yemei teshuvah), lalu keputusannya diambil pada puncak hari-hari itu, yaitu hari raya Pendamaian (Yom Kippur, Im. 23:26-32). Selama sepuluh hari itu orang Yahudi saleh melakukan berbagai ritual pertobatan agar pada hari Pendamaian mereka ikut tercatat dalam kitab Kehidupan, sehingga dapat menjalani tahun yang baru dengan jiwa yang baru dan bersih. Di lain pihak, pada hari itu pula umat Muslim menjalankan ibadah shalat Jum'at di Haram al-Sharif (orang Yahudi menyebutnya Har ha-Bayit, bukit Bait Allah), tempat beradanya dua bangunan suci Islam, Mesjid Al-Aqsa dan Qubbat as-Sakhrah, atau disebut Dome of the Rock dalam bahasa Inggris. Salah satu bagian tembok yang mengelilingi Haram al-Sharif adalah Tembok Ratapan yang merupakan tempat tersuci bagi orang Yahudi saat ini. Memang kompleks itu pada mulanya berasal dari kompleks Bait Allah Israel yang dibangun kembali oleh Raja Herodes tahun 37 SM setelah dirusak oleh penguasa Yunani. Lalu pada tahun 638, Kalifah Ummayah merebut Yerusalem dari tangan Kekaisaran Bizantium, dan tidak lama sesudahnya (685) seluruh kompleks dirubah menjadi tempat ibadah dan ziarah umat Muslim. Bagi umat Muslim Dome of the Rock adalah tujuan ziarah (taqdis) yang menyempurnakan ibadah naik haji karena di tempat ini dipercaya Nabi Muhammad naik ke surga pada malam Isra' Mi'raj. Posisi unik ini menyebabkan Yerusalem menjadi tempat tersuci ketiga bagi umat Muslim, setelah Mekah dan Medinah. Ada ribuan umat Muslim (orang Arab Palestina dan Arab Israel) yang beribadah pada hari itu di Haram al-Sharif, sedangkan ribuan umat Yahudi bersembahyang di Tembok Ratapan (di kaki Haram al-Sharif). Ibadah orang Yahudi seperti biasa dijaga oleh tentara dan polisi Israel. Lalu, entah bagaimana disinilah lahir kerusuhan yang berkepanjangan dan meluas sampai sekarang antara Palestina (didukung oleh negara-negara Arab) dan Israel. Pihak Muslim menuduh penyebab kerusuhan itu adalah Ariel Sharon, politisi sayap kanan dan garis keras Israel, yang 'mampir' ke Haram al-Sharif sehari sebelumnya. Sampai pertengahan abad yang lalu tidak seorang non-Muslimpun yang diizinkan menginjakkan kakinya ke dalam kompleks ini (ada beberapa perkecualian tentunya). Dulu ada kepercayaan, jika seorang non-Muslim berhasil masuk ke kompleks ini, maka jika ia berdoa, doanya pasti diterima Tuhan, karena itu harus mati-matian dicegah. Meskipun saat ini sudah diizinkan tetapi pihak otoritas Israel melarang keras orang Yahudi untuk menunjukkan simbol-simbol keagamaan mereka (misalnya kippah, tutup kepala) ketika memasuki kompleks ini demi menghindari kemarahan umat Muslim. Larangan itu telah menyebabkan amat sedikit orang Yahudi yang menginjakkan kakinya di tempat itu. Jadi kehadiran Ariel Sharon, seorang Yahudi religius, anti Arab, pahlawan di tiga perang Arab-Israel (Perang Sinai 1956, Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kippur 1973), mantan panglima tentara Israel yang menyerbu Libanon untuk mengusir PLO tahun 1982, dianggap memancing kemarahan orang Muslim dan Arab pada umumnya. Mungkin bagi Sharon, sebagai seorang Yahudi religius ia sedang mengunjungi situs Bait Allah, tetapi bagi orang Arab, ini adalah penghinaan agama. Sebagian orang lain menganggap kerusuhan itu bukan dipicu oleh kehadiran Sharon, melainkan kegagalan perundingan Camp David antara Ehud Barak dan Yasir Arafat di mana Ehud bersedia mengkompromikan posisi Yerusalem Timur sedangkan Arafat menetapkan harga mati untuk Yerusalem Timur sebagai ibukota negara Palestina yang akan didirikan. Bagi warga Israel, bahkan dari kelompok yang moderat sekalipun, keinginan Arafat itu sukar diterima. Akibat dari kerusuhan ini jauh di luar dugaan. Di akhir minggu (tepat dengan hari raya Rosh ha-Shanah yang dirayakan selama dua hari), sediki tnya 12 orang Palestina tewas dan ratusan lainnya (termasuk orang Israel) luka-luka. Ratusan tewas terjadi di minggu-minggu berikutnya (sampai hari ini sekitar 250 orang tewas dan 7000 luka-luka, kebanyakan dari pihak Palestina), bom meledak di pasar-pasar Israel, bom bunuh diri, serangan helikopter tempur Israel ke rumah-rumah Palestina, balas membalas, dan seterusnya. Belum berhenti hingga hari ini. Situasi ini diperburuk dengan serangan Hisbullah di Israel Utara dan bangkitnya kelompok-kelompok garis keras Palestina seperti Hammas dan Jihad, dan bangkitnya negara-negara Arab mendukung Palestina (juga di antara negara-negara yang punya hubungan baik dengan Israel seperti Mesir dan Yordania). Umat Yahudi menghadapi tahun baru yang sungguh pahit dan mungkin terburuk sepanjang sejarah Israel modern, termasuk ketika pecah Perang Yom Kippur 1973 yang terjadi pada tahun baru juga. Sejak awal abad ini, yaitu dikala gerakan kembalinya orang Yahudi ke tanah Palestina yang dimotori oleh gerakan Zionis, sudah banyak sekali terjadi konflik antara orang Yahudi dan Arab. Pada era tahun 1930an (1929 dan 1936), terjadinya berbagai pembantaian besar di antara mereka. Situasi ini mencapai puncaknya ketika tanggal 14 Mei 1948, bangsa Yahudi memproklamirkan negara Israel modern. Sejak itu berbagai konflik dan perang silih berganti terjadi. Sedikitnya ada empat perang besar antara Israel dan negara-negara Arab di sekitarnyaitu Perang 1948, Perang Sinai 1956, Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kippur 1973. Selama masa-masa itu, upaya-upaya perdamaian melulu menyangkut masalah politik-militer, yaitu soal pengembalian wilayah yang berhasil dikuasai Israel. Barulah setelah tahun 1973 ada upaya-upaya yang lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan. Era 70an ini ditutup dengan peristiwa perdamaian yang mengejutkan dengan berjabat tangannya antara PM Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat tahun 1979 di Camp David. Upaya-upaya berikutnya masih sangat jauh dari harapan dan membutuhkan waktu 14 tahun untuk tiba pada jabat tangan damai berikutnya. Persetujuan Oslo 1993 dan dilanjutkan dengan jabat tangan antara Yitzhak Rabin dan Yasir Arafat di hadapan Bill Clinton di Washington, membangkitkan harapan baru atas kemungkinan perdamaian yang lebih sejati di Timur Tengah. Konflik terakhir ini sungguh-sungguh mengerikan dan mempersempit kemungkinan perdamaian di antara keduanya. Jika sebelumnya ada keyakinan bahwa pada akhirnya perdamaian antara keduanya akan terwujud yang ujungnya terjadi perdamaian menyeluruh di Timur Tengah, maka sekarang harapan itu hampir pudar. Jawaban teoritis sudah banyak diungkapkan orang. Mulai dari yang murni emosional, politis, hingga yang berbau keagamaan. Bagi kelompok garis keras Palestina penyelesaiannya sudah jelas : usir Israel dari tanah Palestina seluruhnya, dirikan negara Palestina merdeka dan jadikan Yerusalem (Timur) sebagai ibukotanya. Sedangkan penyelesaian politis-diplomatisnya adalah pertemukan pemimpin kedua bangsa ditambah pemimpin-pemimpin Arab lainnya untuk membicarakan upaya-upaya perdamaian dan menjadikan Yerusalem sebagai wilayah internasional bagi ketiga agama Abraham. Sayangnya semua pemimpin itu sedang dalam posisi yang lemah. Ehud Barak, Perdana Menteri Israel sedang berada di ujung tanduk dan posisinya sedang diincar partai-partai kanan pimpinan Benyamin Netanyahu dan Ariel Sharon. Yasir Arafat terpaksa harus mengakomodir keinginan kelompok garis keras dari partainya sendiri (Al-Fatah) maupun dari kelompok-kelompok di luar PLO jika tidak ingin tersingkir dari kepemimpinan Palestina. Negara-negara Arab moderat pun terpaksa bersikap serupa, misalnya seperti Presiden Mesir, Hosni Mubarrak yang pemerintahnya baru-baru ini meresmikan penggantian nama sebuah jalan di depan kedutaan besar Israel di Kairo, menjadi Jalan Mohammed al-Durra, nama bocah Palestina yang terbunuh dalam konflik. Ia juga sedang menghadapi masalah dengan semakin kuatnya pengaruh kelompok garis keras di Parlemen Mesir. Yordania dan Syria, negara-negara tetangga Israel, juga menghadapi masalah yang sama di mana kedua pemimpin belia negara-negara itu (Raja Abdullah II dan Bashar As'ad) tidak punya pilihan selain mengikuti 'aspirasi rakyatnya' untuk mengutuk Israel. Solusi teoritik keagamaan juga tersedia. Bagi sebagian orang Kristen (terutama penganut mileniarisme atau kerajaan seribu tahun), peristiwa ini bisa dianggap sebagai tanda bahwa kedatangan Yesus kedua kalinya sudah semakin dekat. Kedatangan itu diawali dengan pertempuran bangsa-bangsa di Yerusalem (Armageddon) dan didirikannya kembali Bait Allah Israel (soal detil perwujudannya, ada banyak pendapat di kalangan Kristen). Jadi konflik yang terjadi sekarang diterima sebagai keniscayaan belaka dalam pemenuhan nubuat Alkitab. Skenario yang hampir serupa juga dimiliki beberapa kelompok Yahudi Ortodoks dan Ultra Ortodoks yang bersikeras untuk segera mendirikan Bait Allah demi menyongsong kedatangan Mesias Israel. Tidak lama sesudah berakhirnya Perang Enam Hari 1967 yang memungkinkan Israel menguasai Yerusalem Timur, Shlomo Goren, seorang perwira Jendral Moshe Dayan, merasa 'mendengar' tapak kedatangan Mesias. Wangsit ini membawanya pada tanggal 16 Agustus 1967, pada hari Tisha B'Av (hari keagamaan dalam memperingati runtuhnya dua Bait Allah Israel oleh orang Babel dan Romawi), menerobos masuk Haram al-Sharif bersama pengikutnya, melakukan doa dan upacara keagamaan serta bermaksud mendirikan sebuah sinagoge di antara tempat suci Islam (Dome of the Rock dan Mesjid Al-Aqsa). Menghadapi dua skenario di atas, kaum Muslim Arabpun dengan semangat keagamaan yang sama kuatnya berusaha melindungi kepentingan Islam di seluruh Palestina, Yerusalem Timur, kota tua Yerusalem dan yang terpenting dari semuanya itu, Haram al-Sharif. Skenario pemecahan persoalan dari sudut agama bagi mereka adalah dengan menjadikan Yerusalem (Timur) seluruhnya sebagai kota Muslim dengan mengevakuasi orang Yahudi dan Kristen (Yerusalem tua sejak dahulu telah dibagi menjadi empat 'kampung', yaitu kampung Kristen, kampung Muslim, termasuk Haram al-Sharif, kampung Armenia yang juga Kristen, dan kampung Yahudi). Hal yang lebih celaka dan memperuwet situasi adalah seluruh isu di atas juga menyerap energi sekalian bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Indonesia yang berada 9000 km dari Israelpun ikut tersedot dalam pertikaian ini melalui demonstrasi-demonstrasi anti-Israel. Akar Persoalan Akar dari seluruh konflik ini adalah wilayah Israel modern (Ibr. Eretz Israel) atau tanah Palestina. Akar dari akar konflik itu adalah kota tua Yerusalem, yang adalah kota suci bagi tiga agama wahyu, Yudaisme, Kristen, dan Islam. Mengapa tanah Israel dan Yerusalem menjadi pusat pertengkaran politik dan agama? Nabi Zakaria di masa lampau sudah menubuatkan konflik yang terjadi atas Yerusalem, "Maka pada waktu itu Aku akan membuat Yerusalem menjadi batu untuk diangkat bagi segala bangsa. Siapa yang mengangkatnya pastilah mendapat luka parah. Segala bangsa di bumi akan berkumpul melawannya." (Zak. 12:3). Apakah dengan demikian apapun yang terjadi nubuat Alkitab pasti terjadi? Siapakah yang benar dan yang punya hak atas tanah dan kota itu? Bagaimana memecahkan masalah ini? Apa sih istimewanya tanah ini sehingga diperebutkan banyak orang? Saya mengajak kita semua melihat keseluruhan masalah ini dengan lebih jernih dan teliti. Sikap-sikap yang dangkal hanya akan merusak pengertian kita yang sebenarnya. Sangat mudah bagi kita untuk bersikap begitu saja anti-Israel dan pro-Palestina, sebagaimana yang ditunjukkan banyak orang di seluruh dunia saat ini, atau sebaliknya pro-Israel dan anti-Palestina. Apalagi jika sikap-sikap itu diwarnai dengan semangat keagamaan. Untuk bersikap semacam itu kita tidak perlu berpikir panjang dan mengerti duduk persoalannya dengan lebih mendalam. Kita harus sadar pula bahwa sikap dan perasaan kita pada era informasi ini amat dipengaruhi oleh media masa, sehingga sering kali kita telah membiarkan diri habis-habisan dimanipulasi olehnya. Tetapi jika kita sungguh-sungguh berusaha mengerti keruwetan persoalan ini, mungkin sikap kita akan jadi berbeda. Tulisan ini tentunya sama sekali tidak berani mengatakan bahwa pendapat saya ini yang paling benar. Sesuai dengan judul di atas, ini hanya sebuah pandangan (Kristen) dari sekian banyak pandangan yang lain. Para pembaca tidak harus setuju dengan pendapat saya ini. Sebagian dari kompleksitas masalah ini sudah dikemukakan di atas. Saya akan memulai telaah ini dengan menengok kembali sejarah atas tanah itu secara ringkas. Tanah yang aneh dan jadi rebutan ini luas keseluruhannya, berdasarkan luas wilayah kedaulatan negara Israel modern, hanya 21.920 km-persegi, atau seperlima luas pulau Jawa. Penduduknya 5,6 juta jiwa (di Israel), 1 juta di Jalur Gaza, dan 1.5 juta di Tepi Barat. Di Israel 80% penduduknya Yahudi, sedangkan di daerah pendudukan 90% Arab Palestina. (Ada perbedaan antara penduduk Arab Israel dan Arab Palestina. Yang pertama itu adalah orang Arab, termasuk Arab Palestina yang tinggal tetap di Israel ketika negara itu berdiri dan akhirnya menjadi warga negara Israel dan mendapat hak-hak kewarganegaraan seperti ikut pemilu dan mendapat jaminan sosial. Dan yang kedua adalah Arab Palestina yang tinggal di daerah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan orang Palestina adalah Arab Palestina di daerah pendudukan). Namun demikian Alkitab mencatat tanah itu sebagai "... tanah yang permai di antara semua negeri" (Yeh. 20:6). Apanya yang permai? Sebelum sejarah Israel modern, tanah ini tidak lebih sebagai transit di antara negeri-negeri besar di dua benua Afrika dan Timur Tengah. Sejak dahulu kala, jalur sempit ini telah dipakai bagi bangsa Mesir untuk menyerang negeri Kanaan dan Mesopotamia, bangsa Mesopotamia menyerbu Mesir, bangsa Persia menjajah Mesir, bangsa Romawi memadamkan pemberontakan Mesir dst. Palestina tidak lebih sebagai lorong yang menghubungkan dua ruangan besar dan untuk menguasai salah satunya, orang harus menguasai lorongnya. Menurut riwayat dua belas pengintai yang ditugaskan Musa untuk memeriksa keadaan tanah itu pada saat Israel keluar dari Mesir, tanah Palestina ini "... berlimpah-limpah susu dan madunya." (Bil.13:27). Tetapi ketika Israel benar-benar mendudukinya, mereka harus berkerja keras dan beberapa kali mengalami kekeringan dan kesengsaraan. Demikian juga secara ekonomi, terutama sesudah orang Yahudi terusir dari tanah itu (tahun 70 dan 135), tanah ini tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sampai kembalinya orang Yahudi ke Palestina. Sebelum negeri ini disebut Palestina, ia dikenal dalam Alkitab dengan nama Kanaan. Nama Palestina berasal dari nama bangsa yang pernah mendiami sebagian tanah itu, yaitu bangsa Filistin, sebuah rumpun bangsa Eropa dari Pulau Kreta (Kaftor) di Laut Tengah di abad ke 12 (lih. Ul. 2:23, Yer. 47:4, Am. 9:7). Pemerintah Romawi (berkuasa di Palestina 62 SM-614 M, termasuk kekuasaan Romawi Bizantium) di kemudian hari menamai (sebagian) daerah jajahan Israel sebagai propinsi Yudaea dan kemudian menamainya Syria Palaistina. Demikianlah sejak saat itu Palestina menjadi nama yang banyak dikenal daripada nama Israel sendiri. (bersambung) "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36) *********************************************************************** Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED] Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772 atau BCA Cab. Darmo Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838 *********************************************************************** Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan: subscribe eskolnet-l ATAU unsubscribe eskolnet-l