"Polemik Calon Ketua Mahkamah Agung" ``````````````````````````````` Oleh: Augustinus Simanjuntak, S.H Polemik mengenai pengangkatan ketua Mahkamah Agung RI antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR bisa dipahami sebagai perbedaan visi politik yang ingin dicapai oleh kedua pihak. Di satu sisi DPR menilai tidak ada lagi alasan bagi Presiden untuk menolak dua kandidat ketua MA yang disepakati oleh DPR (Prof. Muladi dan Prof. Bagir Manan) karena prosedur konstitusional sudah ditempuh dalam menetapkan dua calon tersebut. Namun di balik prosedur konstitusional itu tentu tidak lepas dari sebuah kepentingan politik. Namun di sisi yang lain, Presiden Gus Dur tentu memiliki alasan tertentu mengapa dua kandidat ketua MA ini ditolak. Walapun secara ekspilist Presiden Gus Dur belum memberikan alasan penolakan akan tetapi kita bisa mencoba memahami penolakan ini berdasarkan posisi Gus Dur sebagai Kepala Pemerintahan tertinggi yang menjalankan Garis-Garis Besar Haluan Negara serta Ketetapan MPR. Perlu dicatat bahwa di dalam GBHN maupun TAP MPR terdapat cita-cita hukum yang harus dilaksanakan/diwujudkan oleh Presiden, yaitu menciptakan keadilan dan kepastian hukum, yang harus dipertanggungjawabkan oleh Presiden pada akhir masa jabatannya. Dengan demikian, persoalan pengangkatan Ketua MA hasil usulan DPR tidak lagi dilihat dari segi prosedur konstitusional semata, tetapi, yang jauh lebih penting lagi adalah substansi dari hasil prosedur itu. Persoalan substansial yang patut dipertanyakan ialah, seandainya salah satu dari dua kandidat itu akhirnya terpilih menjadi Ketua MA, dapatkah ia diharapkan untuk menwujudkan cita-cita hukum yang telah digariskan itu ?. Pertimbangannya kembali kepada Presiden Gus Dur. Kekhawatiran banyak kalangan yang kemungkinan juga menjadi kekhawatiran Presiden Gus Dur ialah pemanfaatan prosedur konstitusional sebagai kedok untuk memuluskan kepentingan kekuatan politik tertentu yang mencoba menghalangi arus reformasi. Apalagi banyak kasus yang berkaitan dengan para mantan pejabat Orde Baru. MA sebagai lembaga tertinggi peradilan memiliki fungsi yang sentral dalam upaya penegakan hukum di negeri ini. Demikian juga Ketua Mahkamah Agung memiliki kekuatan cukup besar di dalam mengambil suatu kebijakan di MA. Misalnya; dalam kasus Tanah Adat di Irian Jaya (Kasus Ohee) dimana Surat Ketua MA dapat menganulir keputusan MA sendiri yang sudah 'incracht' (berkekuatan hukum tetap). Waktu itu, putusan PK (Peninjauan Kembali) MA memenangkan pihak pihak masyarakat adat (Ohee) sehingga tanah yang didiami oleh instansi Pemerintah Daerah Irian Jaya harus dikembalikan kepada masyarakat adat. Namun kemudian muncul Surat Ketua MA yang menganulir putusan PK itu. Padahal, PK merupakan upaya hukum terakhir dalam dunia peradilan kita. Kita tentu tidak ingin kebijakan-kebijakan serupa terjadi lagi di negara ini. Penegakan hukum berdasarkan cita-cita reformasi banyak ditentukan oleh lembaga MA ini karena setiap putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi yang tidak memuaskan masyarakat pencari keadilan akan bermuara di lembaga ini. Oleh karena itu, MA sudah seharusnya diisi oleh orang-orang yang reformis, memiliki integritas yang bisa diandalkan, berpikir independen, serta tidak condong pada kekuatan politik tertentu. Semoga. "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36) *********************************************************************** Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED] Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772 atau BCA Cab. Darmo Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838 *********************************************************************** Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan: subscribe eskolnet-l ATAU unsubscribe eskolnet-l