Nilai Sebuah Taman Nasional Bogani Bagi Gorontalo Dari : http://www.facebook.com/notes/dewinya-khiki/b-nilai-sebuah-taman-nasional-bogani-bagi-gorontalo/142422329119942
Rencana pemerintah mengalihfungsikan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone menjadi areal penggunaan lain seluas 15.190 ha menjadi hal yang harus diperhatikan bersama. Bukan hanya oleh pemerintah dan dunia usaha, juga oleh kita sebagai masyarakat biasa. Dalam salah satu rekomendasi tim terpadu di Gedung Manggala Wanabakti, 2 Oktober 2009 yang lalu menyebutkan bahwa karena memiliki potensi mineral yang sudah ditambang secara liar sejak 1978, maka kawasan di TNBW direkomendasikan untuk dijadikan kawasan Hutan Produksi Terbatas. Lebih lanjut, dalam catatan tim terpadu disebutkan bahwa alihfungsi tersebut HARUS merupakan bagian komitmen pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah PETI (Pertambangan Tanpa Ijin) di TNBW. Beberapa pertanyaan yang muncul dengan rekomendasi ini adalah: pertama; apakah ketika dialihfungsikan menjadi HPT (baca: dijadikan daerah pertambangan komersil) masalah di TNBW akan selesai? Mengingat bahwa beberapa perusahaan tambang di Gorontalo seperti PT. Gorontalo Minerals sudah lebih dulu memegang konsesi di beberapa kawasan TNBW seperti di Bolaang Mongondow seluas 10.350Ha. Mengapa kita tidak berkaca dari Freeport yang sampai sekarang membuat jakun kita turun naik ketika kekayaan alam kita dibawa keluar. Kalau demikian pertanyaan kedua yang muncul adalah: Bukankah dengan dialihfungsikannya TNBW menjadi HPT malah akan membawa masalah baru-baik social maupun ekologi, dan ekonomi- bagi masyarakat Gorontalo? Mengapa kita tidak berkaca ke kasus Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Masalah ekologi dan kesehatan serta social yang menyebabkan 300 kepala keluarga dari teluk buyat yang harus menjadi eksodus ke Desa Duminanga di Bolmong Selatan. Masih dalam catatan yang sama, dikatakan bahwa alihfungsi TNBW akan digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan cara apa masyarakat setempat akan disejahterakan? Masyarakat TNBW adalah masyarakat petani, peladang, dan kalau pun ada yang bekerja sebagai penambang liar, maka hampir pasti bukan sebagai pemilik modal, namun sebagai buruh pekerja. Ketika daerah ini dikomersilkan, maka otomatis sebuah perusahaan akan mencari tenaga-tenaga terdidik dan terlatih serta memiliki pengalaman bekerja dengan pertambangan komersil. Pengalaman pekerja tambang di Freeport Papua meminggirkan orang local dan merekrut pekerja yang sebagian besar berasal dari luar Papua. Bisa dibayangkan ketika itu terjadi di Gorontalo. Pertimbangan kedua, adalah bahwa emas membutuhkan sangat banyak air, untuk 10 gram emas murni harus digelontorkan air sebanyak 1040 liter. Sumur-sumur air TNBW di kecamatan suwawa untuk waktu sekarang saja sudah mengalami kekeringan hebat pada musim kemarau kemarin, bagaimana nanti ketika setiap hari airnya di sedot untuk menggiling bebatuan menjadi emas. Dan yang paling perlu diingat adalah bahwa TNBW menjadi gudang air bagi Gorontalo. Jika kandungan airnya berkurang atau tercemar maka yang akan terancam hidupnya bukan saja mereka yang tinggal di sekitar taman nasional, tapi juga kita yang tinggal diperkotaan dan menggunakan air minum dari PDAM Gorontalo. Ini juga belum termasuk jumlah limbah berbahaya yang digunakan ketika terjadi pelepasan emas dari batuan. Limbah seperti merkuri, arsen dan cadmium yang digunakan dan ditemukan dalam pertambangan emas. Hal terakhir yang paling penting untuk menimbang rencana alihfungsi TNBW ini adalah valuasi ekonomi. Apakah nilai ekonominya seimbang ketika lahan ini dialihfungsikan dengan ketika dia dibiarkan tetap terjaga sebagai taman nasional kita? Sebagai bahan pertimbangan, sebagaimana yang dicatat oleh kawan Herman Teguh dari Lestari, bahwa di Dumoga, TNBW menjadi pengendali tata air untuk sawah di sepanjang Dumoga seluas 32.000Ha dengan produksi sebesar 167.000 ton pertahun, yang bila dirupiahkan nilainya adalah 718,6 milliar rupiah per tahun. Dibandingkan dengan pendapatan dari pertambangan jika seluruh kawasan DAS Dumoga dijadikan daerah pertambangan, maka hanya 360 milliar per tahun. Jumlah yang sungguh tidak sebanding untuk mengorbankan nilai yang lebih besar demi kepentingan sesaat. Nilai ini belum termasuk dengan nilai TNBW yang menjadi ladang air terbesar Pulau Sulawesi. Dari Analogi diatas, dihargai berapakah kontribusi TNBW terhadap lumbung pangan kita di daerah kabila, suwawa, dan Tapa? Dihargai berapakah TNBW oleh kita yang menggantungkan konsumsi air minum kita pada PDAM yang mengambil airnya dari sungai Bone di TNBW? To be continued.... ________________________________ From: "Nurdin Baderan, SP" <udinsoil...@yahoo.com> To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Sent: Sat, July 31, 2010 12:36:59 AM Subject: Re: [GM2020] Workshop RTRW (Mapala Univesitas Gorontalo) as ka IB..mhn maaf tdk sempat mengikuti acara tsb krn msh dbogor sampai skrg ini..setelah membaca postingan dan ulasan koreksi kanda..sy belum menemukan paparan tim ttg valuasi ekonomix..apakah dalam pemaparan tsb tdk disampaikan? ??hal ini ptg untuk melihat neraca optimalisasi pemanfaatan sumberdaya di TNBNW tsb (ekologi-sosial budaya-politik- ekonomi). ..krn yg sy tahu kajian tsb sdh sampai ke tahap uji persepsi & rekomendasi (lanjut atau batal)....terima kasih nurdin ________________________________ From: "wanbem...@yahoo. co.id" <wanbem...@yahoo. co.id> To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Sent: Fri, July 30, 2010 11:14:36 PM Subject: Re: [GM2020] Workshop RTRW (Mapala Univesitas Gorontalo) Kl boleh sy koreksi,Ulasan singkat hasil workshop RTRW yg dilaksanakan di UG, belum merepresentasikan proses yg telah berlangsung. Contoh:Data2 yg disampaikan Amir halid masih sangat abstrak,(1) solusi yang ditawarkan tdk menyentuh pokok permasalahan, misalnya kegiatan PETI (yg mencemari) seluas 400 Ha, tapi yg dialih fungsi 14.000 Ha. (2) data luasan, kriteria dan indikator deforestasi tdk detail,krn deforestasi salah satu alasan alih fungsi (3) data yg paling penting yaitu kerentanan kawasan baik itu yg menjadi habitat satwa atau koridor satwa tdk masuk variabel penetu dlm menilai kawasan pengganti.jml individu spesies/luas kawasan minimum jg tdk ditentukan dlm riset.(4) pertimbangan alih fungsi seperti fragmentasi habitat, konfersi lahan alami,penyebarluasa n spesies eksotik dan genepol tdk satupun disinggung (5) implikasi koservasi paradikma non-equlibrium akibat alih fungsi, seperti unit kawasan yg mendapt gangguan,unit kawasan yg tdk memperthankan dlm konfigurasi yg stabil n seimbang, unit alam yg Mudah dikonservasi sbg kawasan dlm isolasi, tak satupun disinggung dlm presentasi amir halid. (6) mestinya ada jg analisis gangguan intermediat atau toleransi gangguan pd berbagai tingkatan dan frekuansi pd saat terjadi alih fungsi kawasan. Walhasil petanya saja kalah jauh sm peta Dani pomanto Powered by Telkomsel BlackBerry® ________________________________ From: arter datunsolang <ar_d...@yahoo. com> Sender: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Date: Fri, 30 Jul 2010 21:58:02 +0800 (SGT) To: <gorontalomaju2020@ yahoogroups. com> ReplyTo: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com Subject: [GM2020] Workshop RTRW (Mapala Univesitas Gorontalo) Dari Milis Tetangga PEMPROV : RTRW PROVINSI PRO RAKYAT...... (Ulas singkat Hasil Workshop di Universitas Gorontalo) Hal ini merupakan salah satu point penting yang setidaknya bisa menjadi output dari Workshop yang membahas “kontroversi perubahan fungsi Hutan TNBNW dalam Revisi RTRW Provinsi (RTRWP) Gorontalo” yang digelar oleh MAPALA Tilong Kabila dan BEM mahasiswa Universitas Gorontalo di Universitas Gorontalo Convention Center pada hari kamis, 29 Juli 2010 lalu. Dalam kesempatan tersebut, hadir sebagai pembicara utama Prof. Dr. Ir. Hj. Winarni Monoarfa, MS selaku Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo, Dr. Ir. Husein Hasni selaku Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan Provinsi Gorontalo, serta Rektor Universitas Gorontalo Prof. Dr. Hariadi Said, M.Sc. Sebagai undangan utama hadir peserta dari SKPD terkait Pemprov Gorontalo, serta dari Pemerintah Kabupaten diantaranya Sekretaris Daerah Kabupaten Bone Bolango, Kepala Bappeda Kabupaten Gorontalo, para stake holder terkait lingkungan hidup, mahasiswa pecinta alam serta para peserta dan undangan terkait lainnya. Dari sekian materi pemaparan yang disampaikan baik oleh Kepala Bappeda maupun Kadis Kehutanan dan Pertambangan Provinsi Gorontalo, berisikan beberapa hal utama yang menjelaskan tentang akomodasi perubahan kawasan hutan dalam Revisi RTRWP Gorontalo, antara lain : (1)Sebenarnya substansi perubahan kawasan hutan pada revisi RTRWP lebih pada mengakomodir kepentingan Pemerintah Kabupaten/Kota karena dalam mekanisme Pemerintah pusat dalam UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengharuskan perubahan kawasan hutan tidak bisa lagi dilakukan melalui revisi RTRW Kab/Kota tapi harus melalui pengusulan dalam Revisi RTRW Provinsi, (2)Perubahan hutan dimaksud meliputi perubahan yang menyebabkan keluarnya suatu kawasan dari hutan menjadi non hutan dan perubahan yang menyebabkan suatu kawasan hanya berubah fungsi tetapi masih dalam kawasan hutan lindung, (3)Kategori perubahan kawasan hutan menjadi non hutan dalam RTRWP Gorontalo dilakukan untuk mengakomodir adanya pemukiman masyarakat (enclave) yang selama ini masih masuk dalam deniliasi kawasan hutan, sedangkan kategori perubahan fungsi saja (tidak keluar dari kawasan lindung) dilakukan untuk memberikan peluang jika memenuhi persyaratan kedepan dalam rangka pemanfaatan pengelolaan Sumber Daya Alam sebagaimana penurunan fungsi hutan yang terjadi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, (4)Tidakdiakomodirnya atau dibatalkannya perubahan hutan dalam RTRW Provinsi sebenarnya tidak memiliki konsekuensi langsung bagi Pemerintah Provinsi, tetapi konsekuensinya jika pemukiman (enclave) tidak diusulkan dalam perubahan RTRW Provinsi akan berakibat pada konsekuensi hukum bagi masyarakat yang mendiami kawasan enclave dimaksud, selanjutnya konsekuensi jika penurunan fungsi pada beberapa titik kawasan hutan tidak dilakukan maka dapat berakibat batalnya peluang pemanfaatan potensi Sumber Daya Alam bagi Pemerintah Kabupaten/ Kota hingga 20 tahun kedepan sesuai jangka waktu pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo, (5)Khusus untuk proses percepatan Raperda RTRW, maka saat ini RTRWP Gorontalo merupakan salah satu dari 4 RTRW provinsi yang masuk kategori cepat dan prosedural dalam pembahasan di tingkat Kementrian Kehutanan dan Kementrian PU, bahkan sudah masuk dalam Instruksi Presiden nomor 10 tahun 2010 untuk proses percepatan penyelesaian pembahasannya di tingkat pusat sebelum ditetapkan menjadi PERDA oleh DPRD. Menariknya dalam workshop tersebut adalah turut hadirnya Ir. Dany Pomanto sebagai pembanding bersama Tim kerjanya sebagai Putra Gorontalo yang akhir – akhir ini sudah mulai memperlihatkan eksistensinya di Gorontalo. Dalam kesempatan tersebut, Ir. Dany Pomanto secara singkat berusaha menjelaskan gagasan dan konsepnya melalui pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk mengkritisi akomodasi perubahan kawasan hutan pada RTRWP Gorontalo. Namun detail kritikan dan masukan tersebut, diklarifikasi dan ditanggapi dengan baik oleh Mantan Tim Terpadu Ir. Amir Halid, M.Si bersama Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi diantaranya : (a)Adapun akomodasi usulan perubahan kawasan hutan dari Pemerintah Kabupaten ini dalam RTRW Provinsi, analisisnya sudah menggunakan Arc GIS dengan basic data penginderaan jauh (citra satelit terbaru) sebagaimana yang ditunjukkan Dany Pomanto, bahkan kemudian dikolaborasi dengan cross check data lapangan dari GPS serta data valid dari sumber instansi yang legal, sehingga pengolahan data yang digunakan untuk RTRWP Gorontalo sudah merupakan tindak lanjut dari konsep yang disampaikan, (b)Demikian halnya dengan analisis banjir, maka Tim BKPRD menampilkan data hasil analisis historis banjir Gorontalo yang menggunakan basic data citra satelit tersebut yang saat ini sudah pada tahap implementasi, diantaranya : pembangunan Kanal Tamalate-Bone dan Drainase Kota, pencegahan aktivitas perusakan Catchment Area Daerah Aliran Sungai, pencegahan konversi lahan pertanian kota, serta tindak lanjut perluasan dan pelestarian kawasan hutan sebagaimana yang direkomendasikan Tim Terpadu. Menanggapi kritikan yang dialamatkan kepada Bappeda Provinsi Gorontalo sehubungan dengan akomodasi perubahan hutan dalam RTRW Provinsi Gorontalo sebagaimana yang dilansir RADAR GORONTALO edisi 30 Juli 2010, secara gamblang Ir. Nurdiana Habibie, M.Si selaku Kabid Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Bappeda mengatakan “...jelas sudah klarifikasi kami dalam workshop kamis kemarin, sesuai UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka RTRW Provinsi baru bisa diPERDAkan jika sudah ada persetujuan substansi/ SK Mentri Kehutanan, Persetujuan Menteri PU dan Persetujuan MENDAGRI. Terbitnya SK Menteri Kehutanan RI nomor 324 tahun 2010 tentang perubahan kawasan hutan Gorontalo adalah prestasi dan berkah. Prestasi karena berkat dukungan dari semua pihak maka Gorontalo mampu menyelesaikan proses RTRW di Kementrian Kehutanan lebih cepat dan prosedural dibanding daerah lain, dan berkahnya adalah bagi masyarakat Gorontalo yang mendiami + 32 bagian desa enclave di 4 (empat) Kabupaten di Provinsi Gorontalo. Desa yang mereka diami bukan Ilegal lagi, bahkan peluang optimalisasi potensi Sumber Daya Alam oleh Pemkab sudah terbuka jika Gorontalo sepakat untuk memanfaatkannya dengan baik. Barangkali disinilah kita perlu arifi bersama, khusus bagi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), SK Menteri Kehutanan tidak merubahnya menjadi kawasan non hutan tetapi hanya menurunkan fungsi status hutan pada beberapa kawasan potensial saja menjadi hutan produksi yang jika memang akan dimanfaatkan harus seijin Kementrian Kehutanan melalui prosedur Pinjam Pakai yang pemanfaatannya pun harus secara bertahap. Lebih lanjut Nurdiana menambahkan bahwa proses yang dilalui oleh Pemprov Gorontalo dalam proses RTRWP sudah sangat normatif, prosedural dan sesuai mekanisme yang diatur oleh Undang – undang serta didasari oleh kajian akademis yang dibuktikan dengan dijadikannya prosedur kehutanan RTRW Provinsi Gorontalo sebagai pilot project oleh Bappenas. Satu hal yang sangat menunjang legalitas usulan perubahan hutan Gorontalo adalah peta usulan perubahan kawasan hutan dalam RTRW Provinsi Gorontalo ditandatangani oleh Para Bupati dan Gubernur sehingga tidak ada keraguan Pemerintah Pusat tentang adanya konflik antara Pemerintah Kabupaten dengan Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam pengusulan tersebut. Selain itu proses persetujuan Pemerintah Pusat ini didasari oleh hasil penelitian Tim Independen (TIM TERPADU) yang terdiri atas lintas sektor yang berkompetensi di bidang lingkungan hidup. Jadi tidak benar,,, bila dikatakan bahwa Bappeda salah jika melakukan fasilitasi sesuai TUPOKSInya mengakomodir usulan perubahan hutan dari Pemerintah Kabupaten dalam Revisi RTRWP nya sepanjang itu didasari oleh kebijakan pembangunan yang pro lingkungan hidup, bahkan jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan menyalahi amanat daerah untuk memikirkan nasib mereka kedepan.