nnti klo nemu bakal di share lg dehh di milis aga ini...
On Dec 26, 2011 12:38 PM, <dede.mardian...@gmail.com> wrote:

> **
> Dear, all
> Bagi yg nempunyai kisah sejenis dmhon share ya, bnyak pembelajarannya yg
> sya ambil.
>
> Thanks
> DM
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
> Teruuusss...!
> ------------------------------
> *From: * teef...@yahoo.com
> *Sender: * aga-madjid@googlegroups.com
> *Date: *Sun, 25 Dec 2011 03:05:19 +0000
> *To: *<aga-madjid@googlegroups.com>
> *ReplyTo: * aga-madjid@googlegroups.com
> *Subject: *Re: ~ aga ~ Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput
> Suamiku!! (siapkan tissue ya)
>
> Dalem banget, merinding gw bacanya
> Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung
> Teruuusss...!
> ------------------------------
> *From: * Rully Fabian <rully.fab...@gmail.com>
> *Sender: * aga-madjid@googlegroups.com
> *Date: *Fri, 23 Dec 2011 13:31:29 +0700
> *To: *<aga-madjid@googlegroups.com>
> *ReplyTo: * aga-madjid@googlegroups.com
> *Subject: *~ aga ~ Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput
> Suamiku!! (siapkan tissue ya)
>
> *Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput Suamiku!! (siapkan tissue
> ya)*
> ------------------------------
> Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa
> yang kita miliki :
> Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir
> sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah
> benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,
> membuatku membenci suamiku sendiri.
> Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku.
> Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri.
> Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain.
> Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan
> finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku
> karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri
> satu-satunya mereka.
> Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal
> sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah
> benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung
> padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia
> lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah
> membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
> Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan.
> Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka
> handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia
> meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas
> lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk
> menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di
> kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa
> memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga
> berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
> Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi
> aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan
> pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu
> hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun
> hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun
> menolak menggugurkannya.
> Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika
> aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang
> sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil
> lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan
> meninggalkannya bersama kedua anak kami.
> Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan.
> Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak
> sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan
> sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan
> kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan
> anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun
> sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah,
> karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua
> orangtuaku.
> Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti
> anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda
> ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya.
> Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium
> hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
> Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu
> ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam
> kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang
> tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan
> kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa
> terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.
> Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam
> tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak
> bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
> “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang
> kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu,
> kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan
> dengan lembut.
>
> *lanjutan 1*
> ------------------------------
> Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa
> menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi
> dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak.
> “Apalagi??”
> “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya
> padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku
> menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu
> jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir
> dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya
> Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan
> aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena
> “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk
> berhutang dulu.
> Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera
> sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai
> menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali
> kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah
> diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
> Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku
> belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku
> terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri,
> “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab
> pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,* ia
> memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang
> dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya
> menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan
> bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa
> pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku
> menjadi pucat seputih kertas.
> Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga
> tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam
> seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu
> harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya
> untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika
> kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan
> berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu
> sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai
> mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan
> orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di
> kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang
> terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak
> mampu membuatku menangis.
> Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu
> menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap
> wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi
> dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia
> berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan
> wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku
> menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak
> dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar
> airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat
> semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir
> begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri
> kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman
> tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi
> dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami
> berbicara.
>
> *Lanjutan 2*
> ------------------------------
> Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir
> tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan.
> Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika
> mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan
> teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak
> pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku
> tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu
> bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
> mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena
> aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak
> dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika
> pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang
> larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak
> pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya
> karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
> Saat* pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika
> melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak
> tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan
> rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan
> sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan
> dirinya.
> Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti
> yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan
> untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
> memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan.
> Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang
> mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak
> memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku
> berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang.
> Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu
> di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap
> malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun
> dengan sosoknya di sebelahku.
> Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi
> sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali.
> Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini
> aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal
> jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log
> out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas
> jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia
> membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di
> sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa
> disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa
> mengganti kehilangannya* dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu
> kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah
> terkena panah cintanya.
> Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan
> normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di
> sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa
> menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang
> membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
> kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf,
> meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi
> padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami
> yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi
> sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian
> dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini
> kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah
> kepergian suamiku.
>
> *Lanjutan 3*
> ------------------------------
> Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk
> bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi.
> Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah
> bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku
> tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke
> rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu
> hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh
> gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam
> tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama
> ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
> tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan
> rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku
> tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena
> jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi
> kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman
> sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
> Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama
> seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan
> sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh
> kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut
> tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku..
> ::
>
> *Lanjutan 4 (isi surat wasiat sang suami)*
> ------------------------------
> Istriku Liliana tersayang,
> Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena
> harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena
> aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu
> yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik
> yang pernah kulakukan untukmu.
> Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku
> tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah
> menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin
> sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku
> berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik
> anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
> Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat
> hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu
> untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini.
> Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih
> baik dariku.
> Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa
> mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria
> pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan
> selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke,
> Buddy!
>
> *Lanjutan 5*
> ------------------------------
> Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang
> diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
> Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi
> dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat
> beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut
> cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku
> hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami,
> sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
> Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir
> tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari
> demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku
> pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan
> kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
> Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi
> putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya,
> “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga
> bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
> Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu,
> cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan
> mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya,
> akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun
> persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
> Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang
> membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
> Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai
> ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena
> cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
> Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada
> suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi
> menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas
> darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang
> begitu tulus.
>
>
>
> Terkadang disaat bersama kita kurang menghargai orang orang yang bersama
> kita, disaat kehilangan nya baru kita mengenal apa itu arti cinta
> sebenarnya. Sebelum kita ditinggalkan orang2 yang tercinta, yang setia
> menemani kita, berikan lah balasan cinta kita sepenuh hati pada mereka,
> sekarang masih belum terlambat teman2.
>
>
>
>
>
>
>
>  --
> you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
> to post emails, just send to :
> aga-madjid@googlegroups.com
> to join this group, send blank email to :
> aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
> to quit from this group, just send email to :
> aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
> please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
> add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
> add my twitter @aga_madjid
> thanks for joinning this group.
>
> --
> you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
> to post emails, just send to :
> aga-madjid@googlegroups.com
> to join this group, send blank email to :
> aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
> to quit from this group, just send email to :
> aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
> please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
> add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
> add my twitter @aga_madjid
> thanks for joinning this group.
>
> --
> you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
> to post emails, just send to :
> aga-madjid@googlegroups.com
> to join this group, send blank email to :
> aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
> to quit from this group, just send email to :
> aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
> please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
> add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
> add my twitter @aga_madjid
> thanks for joinning this group.
>

-- 
you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
to post emails, just send to :
aga-madjid@googlegroups.com
to join this group, send blank email to :
aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
to quit from this group, just send email to :
aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
add my twitter @aga_madjid
thanks for joinning this group.

Kirim email ke