nnti klo nemu bakal di share lg dehh di milis aga ini... On Dec 26, 2011 12:38 PM, <dede.mardian...@gmail.com> wrote:
> ** > Dear, all > Bagi yg nempunyai kisah sejenis dmhon share ya, bnyak pembelajarannya yg > sya ambil. > > Thanks > DM > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung > Teruuusss...! > ------------------------------ > *From: * teef...@yahoo.com > *Sender: * aga-madjid@googlegroups.com > *Date: *Sun, 25 Dec 2011 03:05:19 +0000 > *To: *<aga-madjid@googlegroups.com> > *ReplyTo: * aga-madjid@googlegroups.com > *Subject: *Re: ~ aga ~ Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput > Suamiku!! (siapkan tissue ya) > > Dalem banget, merinding gw bacanya > Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung > Teruuusss...! > ------------------------------ > *From: * Rully Fabian <rully.fab...@gmail.com> > *Sender: * aga-madjid@googlegroups.com > *Date: *Fri, 23 Dec 2011 13:31:29 +0700 > *To: *<aga-madjid@googlegroups.com> > *ReplyTo: * aga-madjid@googlegroups.com > *Subject: *~ aga ~ Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput > Suamiku!! (siapkan tissue ya) > > *Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput Suamiku!! (siapkan tissue > ya)* > ------------------------------ > Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa > yang kita miliki : > Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir > sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah > benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, > membuatku membenci suamiku sendiri. > Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. > Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. > Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. > Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan > finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku > karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri > satu-satunya mereka. > Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal > sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah > benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung > padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia > lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah > membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. > Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. > Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka > handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia > meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas > lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk > menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di > kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa > memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga > berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. > Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi > aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan > pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu > hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun > hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun > menolak menggugurkannya. > Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika > aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang > sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil > lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan > meninggalkannya bersama kedua anak kami. > Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. > Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak > sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan > sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan > kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan > anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun > sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, > karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua > orangtuaku. > Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti > anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda > ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. > Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium > hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. > Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu > ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam > kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang > tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan > kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa > terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. > Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam > tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak > bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. > “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang > kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, > kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan > dengan lembut. > > *lanjutan 1* > ------------------------------ > Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa > menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi > dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. > “Apalagi??” > “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya > padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku > menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu > jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir > dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya > Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan > aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena > “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk > berhutang dulu. > Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera > sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai > menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali > kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah > diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. > Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku > belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku > terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, > “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab > pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,* ia > memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang > dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya > menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan > bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa > pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku > menjadi pucat seputih kertas. > Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga > tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam > seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu > harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya > untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika > kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan > berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu > sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai > mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan > orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di > kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang > terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak > mampu membuatku menangis. > Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu > menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap > wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi > dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia > berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan > wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku > menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak > dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar > airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat > semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir > begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri > kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman > tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi > dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami > berbicara. > > *Lanjutan 2* > ------------------------------ > Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir > tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. > Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika > mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan > teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak > pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku > tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu > bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak > mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena > aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak > dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika > pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang > larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak > pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya > karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. > Saat* pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika > melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak > tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan > rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan > sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan > dirinya. > Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti > yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan > untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu > memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. > Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang > mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak > memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku > berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. > Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu > di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap > malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun > dengan sosoknya di sebelahku. > Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi > sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. > Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini > aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal > jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log > out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas > jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia > membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di > sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa > disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa > mengganti kehilangannya* dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu > kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah > terkena panah cintanya. > Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan > normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di > sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa > menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang > membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun > kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, > meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi > padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami > yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi > sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian > dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini > kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah > kepergian suamiku. > > *Lanjutan 3* > ------------------------------ > Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk > bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. > Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah > bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku > tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke > rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu > hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh > gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam > tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama > ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah > tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan > rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku > tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena > jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi > kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman > sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. > Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama > seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan > sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh > kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut > tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.. > :: > > *Lanjutan 4 (isi surat wasiat sang suami)* > ------------------------------ > Istriku Liliana tersayang, > Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena > harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena > aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu > yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik > yang pernah kulakukan untukmu. > Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku > tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah > menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin > sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku > berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik > anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. > Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat > hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu > untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. > Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih > baik dariku. > Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa > mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria > pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan > selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, > Buddy! > > *Lanjutan 5* > ------------------------------ > Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang > diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. > Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi > dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat > beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut > cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku > hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, > sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. > Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir > tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari > demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku > pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan > kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. > Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi > putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, > “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga > bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” > Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, > cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan > mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, > akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun > persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” > Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang > membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” > Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai > ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena > cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” > Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada > suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi > menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas > darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang > begitu tulus. > > > > Terkadang disaat bersama kita kurang menghargai orang orang yang bersama > kita, disaat kehilangan nya baru kita mengenal apa itu arti cinta > sebenarnya. Sebelum kita ditinggalkan orang2 yang tercinta, yang setia > menemani kita, berikan lah balasan cinta kita sepenuh hati pada mereka, > sekarang masih belum terlambat teman2. > > > > > > > > -- > you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups. > to post emails, just send to : > aga-madjid@googlegroups.com > to join this group, send blank email to : > aga-madjid+subscr...@googlegroups.com > to quit from this group, just send email to : > aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com > please visit to www.facebook.com/aga.madjid, > add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or > add my twitter @aga_madjid > thanks for joinning this group. > > -- > you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups. > to post emails, just send to : > aga-madjid@googlegroups.com > to join this group, send blank email to : > aga-madjid+subscr...@googlegroups.com > to quit from this group, just send email to : > aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com > please visit to www.facebook.com/aga.madjid, > add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or > add my twitter @aga_madjid > thanks for joinning this group. > > -- > you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups. > to post emails, just send to : > aga-madjid@googlegroups.com > to join this group, send blank email to : > aga-madjid+subscr...@googlegroups.com > to quit from this group, just send email to : > aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com > please visit to www.facebook.com/aga.madjid, > add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or > add my twitter @aga_madjid > thanks for joinning this group. > -- you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups. to post emails, just send to : aga-madjid@googlegroups.com to join this group, send blank email to : aga-madjid+subscr...@googlegroups.com to quit from this group, just send email to : aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com please visit to www.facebook.com/aga.madjid, add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or add my twitter @aga_madjid thanks for joinning this group.