*PERANG DINGIN *
Eileen Rachman & Sylvina Savitri
EXPERD
TEAM SINERGI SIMULATIONS

Dimuat di Kompas, 3 Agustus 2013

Pernahkah sebagai pelanggan kita mengalami geramnya di oper-oper, dari satu
konter ke konter lain? Tentu kita juga pernah mendengar pelanggan yang
frustrasi karena untuk melaporkan keluhan saja susahnya bukan main. Hal
yang lebih parah adalah bila pemberi jasa malah saling melempar kesalahan
atau menuding bagian lain yang dianggap belum menyelesaikan masalah. Kita
bisa langsung merasakan komunikasi internal perusahaan yang macet, namun
kita sebagai pelanggan yang merasakan akibatnya. Jelas ini bukan masalah
sepele, juga bukan isu baru, namun sering kita berkubang dalam keadaan ini
tanpa ada perubahan

Akses informasi yang tidak sama antar bagian, juga pembagian kerja di
perusahaan memang tidak bisa dihindari. Hal yang menjadi masalah adalah
keengganan satu bagian untuk menegur bagian lain, atau memberi informasi
yang diperlukan secara sukarela. Sering kita dengar orang berkomentar: “Ah,
nanti dibilang kepo (mau tahu urusan orang), lebih baik memikirkan urusan
sendiri saja.”. Tidak hanya di perusahaan, namun di pemerintahan pun kita
bisa melihat hal ini nyata-nyata terjadi. Jarang kita bisa menyaksikan para
menteri bekerja sama menangani suatu program kerja dan tampak bersemangat
untuk mencapai tujuan yang sama. Kalaupun bekerja sama, ‘jarak’ di antara
mereka sangat terlihat. Masing-masing seolah sibuk memprioritaskan
kepentingan sendiri, mencari “kredit” untuk bagiannya sendiri. Koordinasi
tidak terlihat, perang dingin yang terasa. Apakah hal ini juga kerap
terjadi di tempat kerja kita? Kita tidak bisa cepat-cepat menuding orang
lain melakukan gejala ini, karena kita pun patut bertanya dalam hati.
“Kapan terakhir kali kita memberi informasi pada kolega dari bagian lain,
tentang hal penting yang perlu ia ketahui atau prioritaskan?

Kita perlu menyadari bahwa hal yang menyuburkan perang dingin adalah bila
atasan dianggap sebagai satu-satunya kekuatan untuk menyambung komunikasi,
menyambung rasa, dan memberi solusi. Bila ada informasi penting, atasanlah
yang berhak tahu. Bila atasan tidak berkenan, lebih baik informasi tersebut
dipendam daripada di sebarluaskan ke divisi lain. Bila terjadi konflik,
daripada beradu mulut, orang lebih memilih untuk menunggu saat-saat rapat
dan atasan-lah yang diharapkan untuk menyelesaikan masalah. Tidak ada
orientasi “around and across”, semua pembicaraan adalah mengenai atasan,
top management, baik ataupun buruk, dan komunikasi pun berlangsung lebih
banyak  melalui atasan. Dalam setiap persepsi manager atau direktur
tumbuhlah ‘tower vision”, kecenderungan untuk selalu melihat ke atas,  yang
bisa memperparah ‘perang dingin’. Kita bisa mendeteksi adanya perang dingin
bila melihat orang di perusahaan mulai tidak berbicara satu sama lain,
komplen di balik punggung, tidak merasa berkewajiban meneruskan dan
menyebarkan informasi, ‘tidak mau tahu’ persoalan yang dialami divisi lain,
apalagi memikirkan prioritas dan pengetahuan yang diperlukan. Singkat kata,
dinding pemisah antar divisi menjadi tebal, seperti halnya ‘silo’, pemilah
biji-bijian di pabrik-pabrik gandum  tradisional. Bila ini terjadi, sudah
pasti kelincahan dan produktivitas organisasi akan terganggu. Bagaimana
mungkin kita akan berperang melawan kompetitor, memenangkan kompetisi
dengan Negara lain, bila perang dingin di internal organisasi tidak kita
selesaikan?

*Mentalitas 'us-vs-them'
*Bila mentalitas “kita vs mereka” disahkan oleh pemimpin-pemimpin divisi,
maka ‘sharing’ informasi dan masalah di luar divisi jelas tidak ada dalam
kamus anggota kelompoknya. Semangat korps secara keseluruhan sulit
dikuatkan, efisiensi bukan menjadi agenda utama, bahkan anggota kelompok
lebih banyak berusaha men-’defense’ diri dan divisinya dari kemungkinan
dipersalahkan oleh unit kerja lain. Dalam kondisi seperti ini, tentu sangat
sulit untuk memperbaiki manuver ke pelanggan, karena manajemen puncak pun
tidak bisa menjangkau informasi yang dipunyai para ‘frontliners’.
Organisasi sulit bergerak, bagaikan orang yang sedang tidak ‘fit’ tetapi
ingin melakukan perubahan dirinya. Padahal, berapapun usia organisasi, kita
perlu terus meyakini dan menjaga kebugarannya.

Organisasi yang bugar sudah pasti organisasi yang siaga, well informed, dan
siap berubah.Toyota mengharuskan karyawan dari setiap lapisan untuk
berpartisipasi dalam rapat-rapat pengembangan proses dan keputusan keputsan
penting. Mayo Clinic secara teratur berinovasi karena ada tim dokter,
perawat, teknisi, orang-orang marketing yang mencari bentuk-bentuk baru
pelayanan  yang dibutuhkan pelanggan. Organisasi yang menyadari pentingnya
pemersatuan ini akan melibatkan pekerja pabrik dalam desain prodak dan
perubahan sistem manufaktur. Bukan saja kebersamaan yang didapat, tetapi
biasanya kerjasama ini berdampak hematnya waktu pengembangan, karena
komunikasi lancar. Organisasi bisa menambah kebugarannya bila anggotanya
berinteraksi kuat satu sama lain, kompak, dan lincah. Perusahaan memang
perlu menjaga agar para pekerjanya secara merata berada dalam status
“need-to-know”.

*Mengangkat “Ownership”
*Di perusahaan yang berorientasi sales, divisi sales lah yang berperan
sebagai leader. Bahkan divisi tertentu sering dianggap sebagai barisan
‘elite’. Terkadang suasana ini memang tidak bisa dihindari. Setiap
departemen sudah diberi sasaran sendiri, harus mencapainya, bila tidak
jangankan bonus tidak diberikan, bisa jadi kehilangan jabatanlah
ancamannya. Tidak heran bila ujung-ujungnya orang jadi memprioritaskan
kepentingan sendiri. Ketegangan mencapai target dan tidak adanya rasa
kebersamaan ini, bahkan ke alpaan terhadap tujuan bersama ini, menyebabkan
tidak adanya suasana ‘take and give’ yang mesra antar departemen.

Selain berbagi informasi dan mengkomunikasikannya dengan lancar, kita wajib
menguasai cara berkolaborasi yaitu bekerja bersama untuk mencapai satu
sasaran, dan  berkooperasi, yaitu bekerja mencapai sasarannya
masing-masing, tetapi tidak lupa untuk saling tolong menolong, karena
diujungnya toh sasarannya sama. Bila prinsip ini diperhatikan, maka bisa
dipastikan, sekaku apapun formalitas dan hirarki, protokol dan politik
pasti akan berkurang. Jadi kolaborasi dan kooperasi ini adalah peer setiap
pemimpin organisasi. Pimpinan harus tidak henti-hentinya mengingatkan anak
buah agar kolaborasi  kooperasi ini tetapi berlangsung. Hanya dengan cara
inilah kelincahan organisasi tetap terjaga. Seperti halnya Toyota tadi,
melihat ke depan dan  berinovasi adalah olah raga tim, bukan divisi R&D
atau manajemen puncak saja. Diversity sangat dibutuhkan baik dari keahlian
maupun karakter setiap individu, dan hubungan baiklah kunci kesuksesan
organisasi. Sementara rasa percaya satu sama lain  adalah perekatnya.

-- 
-- 
you have this email because you join to "aga-madjid" GoogleGroups.
to post emails, just send to :
aga-madjid@googlegroups.com
to join this group, send blank email to :
aga-madjid+subscr...@googlegroups.com
to quit from this group, just send email to :
aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com
please visit to www.facebook.com/aga.madjid,
add my Yahoo Messenger at aga.mad...@yahoo.com or
add my twitter @aga_madjid
thanks for joinning this group.

--- 
You received this message because you are subscribed to the Google Groups 
"aga-madjid" group.
To unsubscribe from this group and stop receiving emails from it, send an email 
to aga-madjid+unsubscr...@googlegroups.com.
For more options, visit https://groups.google.com/groups/opt_out.

Kirim email ke