Mas Yasa dan teman-teman, Normalnya, cadangan devisa fungsinya adalah untuk meredam shock dari arus perdagangan ataupun arus investasi.
Arus perdagangan (yang biasanya adalah komponen terbesar dari current balance) biasanya lebih bisa diprediksi. Sementara arus investasi biasanya bersifat fluktuatif. Akan tetapi - karena setiap arus investasi memerlukan skema exit (kembali ke mata uang tempat asal investasi) -- maka biasanya semakin besar arus perdagangan - juga akan diikuti dengan semakin besar arus investasi masuk. Arus investasi biasanya terdiri dari dua. Arus investasi jangka panjang yang ditempatkan pada investasi pembangunan pabrik, industri, pertambangan, perkebunan, dll. Karena sifatnya jangka panjang - maka investasi ini cenderung tidak gampang keluar (tetapi juga nggak gampang masuk - kalau tidak terpenuhi syarat-syarat tertentu). Komponen arus investasi lain adalah investasi jangka pendek / investasi portofolio, yang biasanya ditempatkan di instrumen keuangan seperti obligasi, saham, dll. Komponen inilah yang cenderung fluktuatif dan bisa bersifat spekulatif. Akan tetapi, biasanya besaran arus investasi jenis ini akan tergantung dari besaran arus investasi jangka panjang dan neraca perdagangan. Toh setiap investor asing sudah mempersiapkan exit scenario - jauh hari sebelum mereka masuk berinvestasi ke suatu negara. Masalah hanya akan terjadi bila arus investasi portofolio adalah komponen dominan atas arus investasi asing DAN kalau posisi arus perdagangan cuma sekadar impas atau berpotensi defisit. (Kedua keadaan ini bisa tergantung pada jenis ekspor negara bersangkutan). Oleh sebab itu, ukuran yang umum dipakai adalah cadangan devisa sebesar sekian bulan impor. Artinya: ANDAI negara tersebut tiba-tiba tidak ada ekspornya sama sekali (jadi nol) sesuai dengan asumsi terburuk -- maka dengan menggunakan cadangan devisanya - negara tersebut masih bisa mengimpor kebutuhan normal DAN bahan modal dari luar selama sekian bulan. Diasumsikan juga bahwa hanya dengan memberi nilai tambah tertentu dari produk yang diimpor dan mengekspornya kembali -- maka neraca perdagangan akan bisa normal kembali dalam jangka waktu tertentu. Nah jadi cadangan devisa itu lebih seperti ban cadangan -- semata-mata berguna kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kapan terjadi hal-hal tidak diinginkan? Kapan terjadi perubahan yang abnormal dan berlangsung cepat? Tentu akan tergantung pada dinamika ekonomi lokal dan global -- tetapi pada banyak keadaan situasi berlangsung normal dan perubahan berlangsung relatif lambat. Seberapa besar cadangan devisa ideal? Biasanya sekitar 6 sampai 9 bulan rata-rata import. Mengapa segitu? Karena sesuai dengan asumsi di atas -- bahwa KALAUPUN ekspor tiba-tiba jadi NOL (an unlikely event) - masih tersedia dana untuk mengimpor bahan baku dan bahan modal dari luar untuk diberi nilai tambah (oleh industri) dan selanjutnya diekspor - untuk menormalisasi kembali arus perdagangan. Bagaimana dengan arus investasi? Biasanya akan terkait pada tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi (yang biasanya pada gilirannya - banyak ditentukan oleh besaran defisit budget pemerintah). Contoh: pos subsidi BBM yang membengkak saat kenaikan harga minyak tahun 2005 menimbulkan capital outflow semata-mata karena kecemasan akan meningkatnya inflasi akibat defisit budget pemerintah yang akan membesar. Capital outflow ini yang menyebabkan cadangan devisa turun drastis secara cepat - bukan saja dari arus dana asing yang mau "check out" -- tetapi juga dari masyarakat Indonesia yang mau menyelamatkan duitnya. (Jadi harga BBM dinaikkan atau tidak dinaikkan -- efeknya akan sama: lonjakan inflasi. Ini jelas kontras dengan beberapa ekonom Indonesia yang sekadar mengecam kenaikan harga minyak -- tanpa mau jujur melihat konsekuensi dari tidak dinaikkannya harga minyak - yang toh cepat atau lambat juga akan menimbulkan inflasi tinggi). Berapa angka impor Indonesia? Sepanjang tahun 2006 besaran rata-rata impor bulanan Indonesia adalah sekitar USD 5.5 Milyar (bandingkan dengan rata-rata ekspor: USD 8.3 Milyar) - sehingga rata-rata surplus perdagangan Indonesia adalah USD 2.8 Milyar. Dengan asumsi cadangan devisa Indonesia saat ini USD 47 Milyar maka - terdapat cadangan devisa yang mencukupi untuk 8,5 bulan impor. Masih cukup normal. Bagaimana dengan China? Angka impor rata-rata bulanan China adalah USD 66 Milyar, sementara cadangan devisa China besarnya USD 1202 Milyar -- sehingga cukup untuk meng-cover 18 bulan (1.5 TAHUN...!) impor. Jelas sudah nggak normal. DAMPAK NEGATIF Sama seperti ban cadangan (yang cuma berguna saat terjadi musibah bocor ban) -- cadangan devisa yang berlebihan akan membebani ekonomi suatu negara secara tidak perlu. Contoh seperti China -- cadangan devisa USD 1201 Milyar bila dibandingkan dengan GDP China yang USD 2680 Milyar akan menghasilkan nisbah 44% GDP (bandingkan dengan angka Indonesia yang 12% GDP. Angka cadangan devisa yang terlalu besar akan mengakibatkan disparitas modal dalam dan luar negeri. Mengapa begitu? Karena itu berarti pemerintah (otoritas moneter) mengakumulasi modal asing (karena mayoritas cadangan devisa adalah berbentuk instrumen obligasi ataupun surat utang jangka pendek) yang berarti mensubsidi pemerintah negara asing (karena penerbitan surat utang oleh suatu negara adalah bentuk usaha suatu pemerintah untuk "membeli waktu" atau dengan kata lain membeli dan memelihara pertumbuhan ekonomi negara masing-masing). Contoh dari hal ini adalah hubungan antara China dan Amerika. <bersambung> On 4/24/07, Yasa Yap <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > 2. Besar cadangan devisa ideal akan terkait dengan volume perdagangan dan > transaksi instrumen investasi internasional. Cadangan devisa yang terlalu > besar juga nggak bagus (semisal China dan Jepang) - karena berkonsekuensi > mengorbankan investasi dan konsumsi di dalam negeri. > > --- > > Bang Poltak, > > mungkin bisa dijelaskan point diatas? > Setahu saya, semakin besar cadangan devisa sebuah negara, semakin bagus. > Nah, saya jadi > bingung, karena ternyata ada korelasi negatif, menyimak dari statement bang > Poltak. > > Mohon penjelasannya. > > Terima Kasih.