Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan "homo ekonomikus" melainkan
lebih bersifat "homo societas", lebih mementingkan hubungan antar manusia
ketimbang kepentingan materi/ekonomi

Dalam transaksi uang, baik kerugian yang terjadi karena tidak
memperhitungkan ongkos sosial tidak akan dapat tertera pada neraca dan
laporan rugi laba perusahaan. Kerugian ini akan dilemparkan kembali kepada
masyarakat entah dalam bentuk riot, pemboman, rusaknya struktur pendukung
komunitas (anak yang terlantar karena kedua orangtua harus bekerja),
kerusakan lingkungan dan hutan yang hancur, hilangnya dan menjadi langkanya
jenis flora dan fauna.

Bila manusia menganggap penting hal-hal tersebut, maka baik cost maupun
benefit dari suatu tindakan sosial/lingkungan perlu juga terukur dalam
bentuk uang. Dicontohkan saja prinsip karbon trading (menjual-belikan hak
mengeluarkan CO2 ke udara), sekarang sedang diatur agar ongkos mengeluarkan
CO2 dapat dikuantifikasi dan keuntungan menyerap CO2 (menjaga hutan) juga
dapat dikuantifikasi secara moneter. Apakah teknisnya sudah tepat untuk
meng-kuantifikasikannya perlu bertanya pada keefisienan pasar dalam
menentukan harga ini. Prinsip yang sama juga bisa terjadi dalam hal mencegah
peningkatan kriminalitas akibat masalah ekonomi yang menekan, rendahnya
tingkat produktifitas penduduk karena pendidikan yang tidak merata, dan lain
sebagainya.

Jadi ilmu ekonomi memang masih belum sempurna. Banyak unsur-unsur yang
ter-abaikan, termasuk didalamnya peningkatan harkat hidup orang
banyak/humanity, pelestarian ekologi, perekatan masyarakat (masyarakat yang
saling tenggang-rasa solider dan bahu-membahu).

Perlu diperjelas juga bahwa banyak yang menganggap upaya pelestarian,
peningkatan pendidikan masyarakat, dan semuanya itu adalah bagian terpisah
dari ekonomi. Tapi bila akhirnya upaya pelestarian atau upaya mendidik itu
memerlukan uang, maka upaya alokasi untuk kegiatan-kegiatan tersebut juga
perlu diserahkan kepada pasar dan dimasukkan sebagai bagian ekonomi agar
dapat dikuantifikasi dengan uang.


2009/10/12 dyahanggitasari <dyahanggitas...@yahoo.com>

> Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan "homo ekonomikus" melainkan
> lebih bersifat "homo societas", lebih mementingkan hubungan antar manusia
> ketimbang kepentingan materi/ekonomi  (Jawa: Tuna sathak bathi sanak),
> contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan).
> Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi
> termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi
> liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun
> rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.
>


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke