Dear rekans,
Sekedar ingin berbagi tulisan sederhana, mohon maaf jika tulisan saya ini masih 
banyak kekeliruan...semoga ada manfaatnya.
 
"DIVINE INTERVENTION"
by Fik Rahman
 
Setiap ada peluang untuk melakukan perjalanan bisnis ke kota-kota di luar 
negeri, maka secara konsisten saya selalu menjauhi kawasan gemerlapnya. Bukan 
apa-apa, sebab saya tidak punya cukup banyak uang untuk bergemerlap ria. Di 
Paris misalnya, ada sebuah sudut yang menjadi favorit saya singgah. Di depan 
toko bunga Criss Fleurs dan Le Jardin de La Madeleine, di pinggir sebuah jalan 
di kawasan La Madeleine. Di situ ada bangku-bangku kayu yang seringkali kosong. 
Nah, setiap lelah sehabis berjalan kaki menikmati Paris ala backpacker, saya 
selalu mampir dan duduk di bangku kayu itu. Murah-meriah untuk rehat sejenak 
setelah berkeliling kota. Dan saya menikmati “kegiatan” ini. Entah mengapa, 
dibanding menikmati Eiffel atau Musee Du Louvre, duduk mencangkung di tempat 
ini rasanya nikmat sekali. Sambil menyeruput minuman ringan, melepas lelah, 
mengamati suasana jalan dan perilaku orang-orang yang melintasinya. 
 
Mengamati orang lewat. Tua muda, berkulit putih atau gelap, laki-laki atau 
perempuan, dewasa atau kecil. Hmm, memang Paris ini layak disebut kota mode. 
Sungguh berbeda dengan kota-kota besar lain seperti Washington atau London, di 
mana orang relatif lebih “cuek” dan cenderung konservatif dalam hal berpakaian. 
Di sini, seakan hampir semua orang “sadar mode”. Entah kebetulan atau tidak, 
saya sering menjumpai “lady in fashion”. Dari ujung kepala sampai ujung kaki 
kok ya rasanya “matching” gitu lho, setidaknya itu penilaian awam saya, meski 
saya tidak begitu paham mode. Gimana ya rasanya, memakai pakaian selengkap dan 
sekompleks itu. Oalah...opo yo gak ribet gitu....! Pasti butuh berjam-jam untuk 
berdandan dan mematut diri di depan cermin. Lalu, apakah dia tidak merasa kikuk 
menjadi pusat perhatian orang di jalan?
 
Hmm... Jangan-jangan, saya tergiring oleh ajakan Malcolm Gladwell, sang penulis 
tenar yang mungkin bisa dikatakan sebagai penulis non-fiksi paling berpengaruh 
di dunia saat ini. Saya selalu ingin mengamati perilaku orang dan menduga-duga, 
dengan rasa ingin tahu: apakah sebenarnya yang dirasakan oleh orang itu? Dalam 
pengantar bukunya yang terkenal, “What the Dog Saw and Other Adventures”, 
Gladwell antara lain mengatakan, selalu lebih menarik untuk mengetahui apa yang 
sebenarnya dirasakan seseorang ketika melakukan aktivitasnya sehari-hari. Ya, 
perasaan dibalik tindakan. The feeling behind the action. Kita pasti sudah 
tahu, apa yang dilakukan seorang dokter sehari-hari. Yang namanya dokter, 
pastilah berkutat pada kegiatan memeriksa orang sakit dan menulis resep, kan? 
Itu-itu saja. Tak ada yang aneh. Namun, kalau kita bertanya, apa yang dirasakan 
sang Dokter ketika ia memeriksa pasien yang sakit parah. Apa yang ia rasakan 
ketika pasien yang dirawatnya
 meninggal dunia? Nah, inilah baru sesuatu yang menarik. Sangat menarik untuk 
diketahui. Begitu kira-kira kata Om Gladwell dalam bukunya.
Jadi, jangan salahkan kalau saya “gemar” mengamati perilaku orang. Merenung di 
pinggir jalan, atau di sudut warung, atau di sela-sela jeda pekerjaan. 
Berpikir, kira-kira apa yang dirasakan oleh orang itu. Bagaimana ya...kalau 
saya berada di posisi orang itu. “Ngrasani yo..?” kata teman saya yang orang 
Jawa. Bukan, maksud saya bukan itu. Bagi saya, aktivitas merenung semacam ini 
adalah sebuah kontemplasi. Berusaha untuk memahami orang lain. Berusaha untuk 
berempati. Ya, ber-Empati. Sebuah kata sederhana namun banyak orang yang gagal 
melakukannya. Meskipun dia pintar sekalipun. Empati pada nasib orang lain, 
empati pada apa yang mungkin sedang dirasakan oleh orang lain. Berpikir, 
bagaimana seandainya kita ada di posisi orang itu. 
 
Dengan ber-empati, kita tidak semena-mena. Tidak mentang-mentang. Mumpung jadi 
atasan, lalu bersikap sewenang-wenang kepada bawahan. Mumpung jadi majikan, 
lalu sewenang-wenang kepada pembantu. Atau mumpung jadi bagian pengadaan, 
bersikap arogan dan sewenang-wenang kepada vendor. Mumpung jadi orang cakep, 
lalu sewenang-wenang pada orang-orang yang naksir. Oalah...lha, kok jadi 
ngelantur...?
 
 “Die Einsamkeit  ist die Schule der Weisheit”, kata seorang sahabat saya yang 
baik hati dan lama tinggal di Jerman. Atau dalam bahasa orang London-nya 
kira-kira “Solitude is the school of wisdom”. Saya kerap menggunakan proverb 
ini untuk menjustifikasi kegemaran saya untuk “Solitude”, berfikir, menyepi, 
merenung. Tapi bukan Solitude dalam artian yang ekstrim, misalnya menyepi 
secara total dalam waktu lama atau benar-benar mengasingkan diri, menjauh dari 
keramaian. Sungguh, saya tidak mau seekstrim itu. Karena memang tidak punya 
waktu. Waktu masih barang yang mewah untuk orang biasa seperti saya. Yang masih 
harus sibuk dan bekerja keras membanting tulang untuk hidup. 
Setidaknya, saya selalu ingin dan berusaha untuk menyempatkan diri berfikir, 
merenung, setiap kali ada waktu. Bagi saya, kegiatan berfikir ini bukan tanpa 
makna. Ada semacam intangible added-value yang selalu bisa saya peroleh dari 
kegiatan berfikir ini. Kadang, tatkala jenuh dan “mentok” dalam sebuah urusan 
pekerjaan, saya memperoleh ide segar setelah merenung dan berfikir. Ya, 
merenung bukan selalu harus melamun. Ada yang real yang kita pikirkan. Inilah 
yang saya sebut sebagai kontemplasi menuju wisdom (kebijaksanaan). 
Berkontemplasi adalah wisata hati yang murah. Berlari dari stress dan 
ketegangan, atau melampiaskan stress dengan mencari hiburan atau entertainment 
mungkin bagus juga, namun Solitude adalah solusi yang murah dan tanpa biaya. 
Anda bisa merenung dan berpikir di mana saja. Di bangku pinggir jalan, di bus 
umum, di kereta, di warung, di ruang kerja, bahkan, maaf, ketika Anda di toilet.
 
Ada yang menarik yang disampaikan oleh Idris Jala, mantan eksekutif Shell yang 
dikenal sebagai salah satu CEO tersukses di Asia, yang berhasil melakukan big 
turn-around dahsyat bagi Malaysia Airlines. Dari menderita kerugian besar 
menjadi meraih laba yang signifikan dari periode 2005-2007. Beliau meyakini 
bahwa salah satu kunci rahasia penentu suksesnya melakukan business turn-around 
adalah adanya “Divine Intervention”. Campur tangan Tuhan. Dan, salah satu cara 
untuk memperoleh bantuan “Divine Intervention” adalah dengan selalu berada di 
jalan yang lurus, terus menerus melakukan self-renewal, solitude, dan 
reflection. Mungkin kalau dalam bahasa agamanya, melakukan “muhasabah”. 
Merenung, berpikir, bercermin. Apa yang sudah kita lakukan, dan apa yang perlu 
kita perbaiki agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Tuhan tidak 
tidur. Jika kita bekerja keras dan senantiasa berusaha menjadi lebih baik, maka 
yakinlah bahwa keberhasilan,
 kesuksesan, dan kebahagiaan akan datang pada waktunya. Dalam bentuk apapun, 
kadang pada saat yang tak terduga. 
 
Tiba-tiba saya tersadar dari renungan. Hmm, sudah sore banget. Tak 
terasa...Matahari sudah tak tampak. Berarti sudah waktunya saya meninggalkan 
bangku kayu ini. Otherwise, saya ketinggalan kereta ke Hannover. Seorang gadis 
ayu berambut kecoklatan yang baru keluar dari cafe di seberang Criss Fleurs 
tampak tersenyum geli melihat saya agak gelagapan melihat jam tangan dan 
membereskan ransel. Dan saya langsung berlari, mencari stasiun Metro terdekat, 
untuk menuju Gare du Nord.
 
--ooOoo--



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke