Banyak kerja sedikit bicara itu yg dilakukan ibu Tri Mumpuni...beda ama
kita, banyak teori dan bicara, tp sedikit yg telah kita lakukan yg
bermanfaat buat se-sama..........

 

From: pengajianem...@yahoogroups.com
[mailto:pengajianem...@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugroho, Eko
Sasmito 
Sent: Wednesday, June 30, 2010 8:24 AM
To: pengajianem...@yahoogroups.com
Subject: [PengajianEmail] Seorang Wanita Bangun 60 Pembangkit Listrik
Importance: High

 

  

From: On Behalf Of A Nizami
Sent: Wednesday, June 30, 2010 8:06 AM
Subject: Seorang Wanita Bangun 60 Pembangkit Listrik ! 
  

Saya pribadi menentang Kenaikan Tarif Dasar Listrik.
Dalam melawan kemungkaran memang ada 3 level: 
1. Dengan tangan
2. Dengan lisan/tulisan
3. Selemah2 iman dengan hati saja menolaknya

Kalau mendukung kemungkaran, berarti tak punya iman.

http://infoindonesia.wordpress.com/2010/06/18/as-dan-adb-proyek-listrik-
indonesia-tdl-naik
http://kabarislam.wordpress.com/2010/06/21/jika-lapar-saya-menangis

Namun kenaikan listrik ini merupakan agenda Neoliberalisme yang
didiktekan oleh IMF dan World Bank (Zionis Yahudi) pada banyak negara di
seluruh dunia. Sekeras apa pun suara kita tidak akan didengar. Harus ada
aksi. Bukan cuma NATO (No Action Talk Only). Tidak ada aksi cuma bicara.

Jika kita lihat sunnah Nabi, Nabi tidak cuma bersuara mengkritik
kebobrokan rezim kafir Quraisy. Tapi ada aksi membangun masyarakat
Islam.

Saat ada sumur air yang dikomersialkan Yahudi, Nabi meminta sahabat
untuk membeli sehingga seluruh rakyat bisa menikmati air secara gratis.

Ada aksi Nabi dan Sahabat di situ. Bukan cuma ngomong/demo.
Aksi...aksi...aksi...

Lihat bagaimana seorang wanita dengan modal Rp 44 juta akhirnya mampu
membangun 60 pembangkit tenaga listrik mikro hidro yang memakai tenaga
dari aliran sungai. 60 desa dengan jumlah ribuan penduduk dapat
menikmati listrik murah karena jasa amal jariyah seorang wanita.

Jadi hendaknya ormas Islam dengan puluhan ribu anggota yang jika seorang
anggota menyumbang Rp 10 ribu saja maka terkumpul ratusan juta rupiah.
Dari situ harusnya bisa membangun pembangkit listrik mikro hidro untuk
menerangi ratusan desa.

Ormas2 Islam dan Ormas2 lain yang mengaku peduli rakyat harusnya tidak
kalah aksinya dengan seorang wanita biasa yang sedikit bicara tapi
banyak kerja.

Sosok Wanita Penerang Desa
Tri Mumpuni telah membangun sekitar 60 pembangkit listrik tenaga
mikrohidro. (Foto:BBC)

Menerangi sebanyak mungkin desa dengan pembangkit listrik mini tenaga
air. Itulah salah satu mimpi Tri Mumpuni. Bagi perempuan yang satu ini
mimpi itu bisa diwujudkan dengan kemauan dan kerja keras. Dan, dia telah
menunjukkannya dengan menjadi motor pembangunan setidaknya 60 pembangkit
listrik tenaga air yang ramah lingkungan di berbagai pelosok desa di
Indonesia.

Atas aktivitasnya yang bersifat swadaya energi ini, perempuan kelahiran
1964 ini kemudian dijuluki sebagai wanita "penerang desa." Namun,
menurut Puni, listrik sebenarnya bukanlah tujuan utamanya, melainkan
membangun potensi desa agar berdaya secara ekonomi.

"Ini tidak berhenti di tingkat teknologi, tapi kita juga harus selalu
maju dan bersemangat untuk mengembangkan masyarakat," tegas Tri Mumpuni
kepada Heyder Affan dari BBC Indonesia, di kantornya di kawasan
Kebayoran Lama, Jakarta Barat.

Tertarik aktivitas suami
Menurut catatan, hingga pertengahan 2010, ada sekitar 60 pembangkit
listrik tenaga air berskala kecil atau mikrohidro telah dibangunnya di
berbagai wilayah di Indonesia.

Berawal dari aktivitas suaminya di bidang kelistrikan ini di tahun
90-an, Tri Mumpuni kemudian tertarik untuk terjun ke bidang yang sama.
Namun, dia memilih penekanan pada sisi pemberdayaan masyarakat pada
pembangunan pembangkit listrik tenaga air ini.

"Saya rasa ini pembangunan pedesaan yang komprehensif. Ya dapat
teknologinya, juga dapat menjaga hutannya, sekalian bisa meningkatkan
hasil panennya," paparnya.

Dengan semangat itulah, Puni memutuskan untuk membantu masyarakat di
pedesaan terpencil yang belum menikmati listrik. Dibantu suaminya,
alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini kemudian memanfaatkan sumber
daya alam berupa air sebagai energi alternatif.

"Karena di Indonesia air itu melimpah dan relatif murah," katanya.

Melalui lembaga Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan yang dipimpinnya,
dia antara lain memanfaatkan aliran sungai untuk membangkitkan listrik
berkekuatan kecil atau mikrohidro, yang disebutnya ramah lingkungan.

Upaya ini disebutnya swadaya energi, karena dilakukan tanpa uluran
bantuan pemerintah.

Sebagai modal awal, Tri Mumpuni meminjam dana dari bank atau mencari
bantuan dari sejumlah negara melalui kantor kedutaannya di Jakarta.

Salah-satu langkah awalnya yang disebutnya berhasil adalah membuat
pembangkit listrik mikrohidro di Desa Curuagung, Subang, Jawa Barat, di
tahun 90-an.

Dengan memanfaatkan Sungai Ciasem, Puni dan warga desa setempat
membangun pembangkit listrik berkekuatan 13 kilowatt, yang akhirnya
dapat menerangi 121 rumah di desa tersebut.

"Walau modal awalnya hanya Rp 44 juta," kata ibu dua anak ini.

Tidak gampang
Setelah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung di dunia ini, Tri Mumpuni
kini mengaku telah membangun pembangkit tenaga air mini di sekitar 60
lokasi di Indonesia. Tetapi perempuan kelahiran 1964 ini mengaku apa
yang dilakukannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Selain kesiapan teknis yang membutuhkan perencanaan matang, Puni
menyebut kehadiran masyarakat di dalam pembangunan ini sebagai faktor
paling penting.

"Dan ini pekerjaan panjang," tandasnya.

"Kita perlu endurance, perlu passion, komitmen. Jika gagal, diulangi
lagi. Gagal diulangi lagi! Karena, kita bicara development, kita bicara
membangun manusia," jelas Tri Mumpuni, yang atas berbagai upayanya ini
meraih predikat Climate Hero 2005 dari Wild World Fund International.

Dia kemudian menyebut aktivitasnya tidak semata membangun piranti fisik
seperti pembangkit listrik bertenaga air, tetapi selanjutnya bagaimana
memberdayakan masyarakat setempat.

"Bagaimana agar pembangkit listrik yang sudah kita berikan kepada
masyarakat itu bisa dikelola, dioperasikan, dirawat dan lebih penting
lagi dimiliki oleh rakyat," jelasnya.

Agar upaya ini membuahkan hasil, demikian Tri Mumpuni, masyarakat
dilibatkan sejak awal sebelum pembangkit itu dibangun.

"Kita gelar rapat untuk membentuk organisasi di level desa. Karena
mereka yang kelak akan mengelola, mengoperasikan dan merawat, sekalian
menentukan tarif untuk membeli listrik itu," ungkap Tri Mumpuni.

Persoalannya tidak semua warga bersedia membayar iuran secara rutin.
Padahal uang itu nantinya digunakan untuk membayar operator yang
menjalankan turbin dan sebagai biaya perawatan.

Di sinilah tantangannya, kata Puni. "Banyak orang kaya dan mampu, tapi
nggak mau membayar. Ada orang mau bayar tapi nggak mampu membayar. Nah
bagaimana seni mengotak-atik kedua itu."

Tolok ukur keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat ini,
menurut perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah ini adalah apabila
masyarakat mampu menjamin keberlangsungan pembangkitnya.

"Dan saya senang karena ada beberapa desa yang sudah memiliki listrik
dalam rentang setahun, punya tabungan sampai Rp 160 juta," ungkapnya.

Meskipun demikian, Puni mengaku tidak semua programnya berjalan seperti
diharapkan. "Yang 20 persen itu bukan gagal, karena kalau gagal itu
artinya rusak dan tak termanfaatkan."

Dipuji Presiden Obama
Berkat dedikasi, bulan April lalu, Puni-- demikian sapaan
akrabnya--diundang khusus oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Ia
diundang bersama delapan wirausahawan Indonesia dalam acara bertajuk
Presidential Summit on Entreprenership di Washington, Amerika Serikat.

Dalam kesempatan itu, Presiden As Barack Obama memuji upaya yang telah
dilakukan Tri Mumpuni.

Dalam pidatonya, secara khusus Obama menyebutnya, "telah membuat sekitar
60 desa terpencil menjadi terang-benderang".

"Kita mendapatkan seorang wirausahawan sosial seperti Tri Mumpuni, yang
telah membantu masyarakat desa di Indonesia mendapatkan listrik dan
pendapatan dari pembangkit listrik tenaga air," ujar Obama dalam
pidatonya, yang langsung disambut tepuk tangan para hadirin.

Obama kemudian mengucapkan terima kasih kepadanya. Bersama peraih Nobel
Perdamaian 2006 Muhammad Yunus, Puni secara khusus menjadi panelis dalam
acara itu.

Di dalam panel itu Puni mengaku puas. "Karena saya mengatakan di hadapan
orang-orang kapitalis, bahwa 'my business is beyond profit and beyond
money. Yang penting bagaimana memberdayakan orang lain dan membawa
manfaat," ujarnya.

Birokrat bikin frustasi
Dalam wawancara kepada BBC, Tri Mumpuni mengaku tidak pernah berputus
asa saat berhubungan dengan masyarakat selama ini. Tetapi yang acap
membuatnya frustasi adalah perilaku birokrat yang disebutnya mempersulit
interaksi saya dengan rakyat, merongrong dan bahkan terkadang minta
uang.

Dia kemudian mengungkapkan pengalamannya saat membangun pembangkit
listrik bertenaga air di sebuah daerah. Di tempat itu, seorang aparat
mendatangi warga dan meminta uang. Tanpa sepengetahuan dirinya, warga
ternyata tidak dapat menolak permintaan aparat itu dengan berbagai
alasan.

"Saya marah dan saya katakan 'kenapa diberi dan siapa yang menyuruh dia
datang kemari'. Saya terpaksa mengganti (uang warga). Mungkin nilai uang
itu tidak besar yaitu sekitar Rp 200-300 ribu, tapi moral di belakang
itu yang tidak dapat saya terima," sergahnya.

Pengalaman seperti ini, di mata Puni betul-betul hanya menghabiskan
energi. "Makanya saya katakan bangsa ini nggak maju, karena mental
aparatnya seperti itu," pungkasnya.

http://www.nonblok.com/blokinspirasi/kisah.keteladanan/20100601/17591/so
sok.wanita.penerang.desa

===


=================================================
IMPORTANT - This electronic communication and any attachments may contain 
confidential and/or legally privileged information, and may only be used by the 
authorized recipients. If you receive this electronic communication in error, 
please delete all copies and advise the sender immediately. Any unauthorized 
dissemination, distribution or copying of this electronic communication or any 
attachments is strictly prohibited.


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to