Kronik Dokumentasi Wida:
POLITIK NASIONAL TENTANG SUKU BANGSA
Bhinneka Tunggal Ika & Republik Indonesia Sebagai Politik Kebudayaan
Untuk melanjutkan sekolah, sejak lepas SD yang dulu bernama Sekolah Rakjat
[SR], aku terpaksa meninggalkan rumah orangtua di Kasongan, Katingan,
Kalimantan Tengah [Kalteng]. Waktu itu Kalteng belum menjadi sebuah propinsi
tersendiri. Untuk mendapatkan status sebagai pronpinsi tersendiri, demi
kepentingan mereka sendiri, setelah melihat darah yang dicucurkan untuk
mengibarkan Merah Putih, tidak memberikan arti apa-apa secara nyata, maka
orang-orang Dayak terpaksa juga, dan lagi-lagi terpaksa, melancarkan
pemberontakan bersenjata di bawah pimpinan Gerakan Mandau Talawang Pancasila
dengan semangat Dayak "Isen Mulang" [ tak pulang perang jika tak menang].
Presiden Soekarno lalu memanggil Tjilik Riwut ke Istana. Tjilik Riwut adalah
pimpinan pasukan payung AURI pertama yang diterjunkan oleh Republik Indonesia
di bawah nama sandi MN 1001, yang kemudian diabadikan dalam filem "Kalimantan
Berjuang" oleh seniman-seniman filem Cekoslowakia [waktu itu Ceko dan Slowakia
masih jadi
satu negara], dengan Bambang Hermanto sebagai pemain utama dari Lembaga Filem
Lekra. Tjilik Riwut, sepertinya hal dengan Kahar Muzakar, adalah seorang
anggota Lasjkar Anak Seberang di Yogyakarta dan kenal dekat sejak lama dengan
Soekarno, Jendral Sudirman dan Suryadarma.
Pagi-pagi pada saat makan pagi, Tjilik Riwut ditemani oleh mantan Kapten
[semasa gerilya melawan Belanda] Tiyel Djelau, sudah berada di Istana
Merdeka. Begitu berjumpa tanpa dipersilahkan duduk, Presiden Soekarno langsung
bertanya setengah menuding Tjilik Riwut: "Kau memberontak ya?!". Tjilik Riwut
dan Tiyel Djelau menatap tajam mata Soekarno, kemudian berkata: "Saya dan
teman-teman sudah mempertaruhkan kepala untuk Republik ini. Jika Bung Karno tak
percaya saya, saya keluar sekarang. Tak usah bicara apa-apa lagi". Tjilik Riwut
dan Tiyel Djelau segera mau balik belakang. Mau meninggalkan Istana Merdeka.
Melihat sikap demikian, Bung Karno lalu surut dan mengajak dua putera Dayak
duduk dan berbicara sungguh-sungguh tentang soal Kalteng.
Pemberontakan Dayak pada waktu itu untuk mendapatkan status propinsi
tersendiri setelah boyak , tak sabar dan tak tahan lagi atas sedotan alam
mereka secara tak semena-mena dan orang setempat tak mendapatkan hasil apa-apa,
sampai SD, SMP apalagi SMA jadi sesuatu yang mewah, memperlihatkan "ada sesuatu
yang tak beres" dalam politik nasional suka bangsa penyelenggara negara.
Pemberontakan adalah jawaban terhadap politik etnik yang diturunkan oleh
kendaraan politik nasional. Asap pemberontakan lokal bermula dari api yang
dinyalakan oleh Jakarta. Pemberontakan adalah jawaban langsung balas-berbalas
dari daerah terhadap pusat. "Api dihadapi dengan api, mata dihadapi dengan
mata" , jika menggunakan istilah Jendral Ch Van Tân dari Viêt Bac, Vîêt Nam
Utara.
Tiga dasawarsa kemudian, aku balik kampung. Menengok Katingan sungai
pengasuhku sebagai guru kecil di sebuah universitas dikirim oleh salah satu
universitas di Jenewa. Kesempatan ini kugunakan maksimal untuk melihat keadaan
secara langsung jauh sampai jauh ke hulu-hulu berbagai sungai. Kesimpulanku
pada waktu itu dan kutulis secara terbuka di harian lokal terkemuka "Kalteng
Pos" dan lain-lain penerbitan lokal, serta kuucapkan pula di depan rupa-rupa
pertemuan besar tingkat propinsi bahwa: "Orang Dayak sakit dan bingung. Orang
Dayak sekarang bukan lagi orang Dayak dahoeloe". Yang lebih mencemaskan,
terutama angkatan mudanya, sekali pun tinggal di Kalteng, mereka asing dari
Kalteng. Terkesan padaku bahwa mereka banyak -- pada waktu itu bahkan sebagian
besar yang kutemui, terbius oleh suatu mimpi ajaib, tersihir oleh keadaan yang
tidak mereka pahami sehingga mereka tidak lagi menjadi Dayak sebagai "Utus
Panarung". Banyak segi yang niscaya disentuh untuk memahami keadaan
begini. Tapi di sini aku membatasi diri pada apa yang terjadi pada keluarga
besarku dalam memberi nama pada anak-anak mereka. Ada yang menamakan anak
mereka dengan Robert Kennedy, ada pula yang menamakan anak-anak mereka dengan
nama Jawa.
"Mengapa mesti memilih nama Jawa?", tanyaku penuh rasa ingin tahu
latarbelakang pikiran mereka.
Aku dijawab secara terus-terang: "Jawa kan mayoritas dan banyak jadi
penguasa. Jawa kan begitu lahir menyebut dirinya Islam? Dan berkuasa pula.
Asal etnik dan agama kan sangat menentukan dalam mencari serta mendapatkan
kerja". Keterangan ini seakan mau mempertontonkan ada penindasan sejenis
kolonialisasi bangsa oleh bangsa kita sendiri. Dan mengenai soal pemberian
nama kepada anak, jika orang mengenal daerah, akan segera manggut-manggut
mengerti, tidak lebih dari satu titik kecil sangat kecil yang bisa dengan
gampang dicarikan contoh-contoh lain lebih besar. Betapa pun kecil, soal
memberi nama mengangkat soal hakiki dan mendasar.
Jauh sebelum mengganasnya konflik etnik dan daerah, dalam pertemuan INGI di
Merryland , Amerika Serikat, pernah kutarik perhatian peserta pada soal politik
nasional tentang sukubangsa, tapi tak mendapat sambutan dan tanggapan. Sia-sia
hingga aku merasa diriku sedang melakukan "pertunjukan konyol". Barangkali aku
dianggap asing. "Yak-yak o", ujar orang Jawa. Lalu ketika bekerja jadi guru
kecil di sebuah universitas Kalteng, konflik besar berdarah berulangkali
meletus. Aku langsung berada di tengahnya. Di tengah genangan darah dan
airmata, kendati tangis ditahan bagai segukan. Tapi luarbiasanya, apabila orang
bicarakan tentang konflik-konflik pada waktu itu, orang lebih banyak bocara
tentang eksotisme peristiwa, yang sangat laku diperdagangkan dan merupakan
adegan-adegan menarik di masyarakat pertunjukan [la société du spectacle, the
spectacle society]. Apakah laporan dan pemberitaan tipe demikian bukannya
contoh kongkret dari masyarakat pertunjukan yang dangkal dan
dahsyatnya pengaruh "uang sang raja" [l'argent roi] itu? Manusia jadi barang
dagangan?.
Kembali aku melihat, setelah sekian dasawarsa RI bereksistensi, masalah
politik nasional terhadap soal daerah dan suku bangsa, masih saja belum
diselesaikan oleh penyelenggara negara. Aku tidak tahu, apakah masalah ini
tidak mendesak untuk sebuah negeri, bangsa dan negara yang sangat bhinneka?
Tapi yang sering kusaksikan bahwa ujaran Tiongkok Kuno "yang menabur angin
akan menuai badai" memang sungguh kerap terbukti.****
Paris, Desember 2007
----------------------------
JJ. Kusni, pekerja biasa Di Koperasi Restoran Indonesia Paris.