Jurnal Sairara:
   
   
  MENUJU SARAWAK [1]
   
   
  Tahun 1999, aku berkeliling ke berbagai tempat, hingga jauh ke pedalaman, 
Propinsi  Kalimantan Tengah [Kalteng]. Perjalanan sederhana. Jalan darat yang 
dilalui, selain banyak lobang-lobang besar, juga berlumpur hingga lutut. Mobil 
kijang baru yang kutumpangi oleh keganasan jalan darat begini, jadi remuk dan 
tak berdaya.  Oleh keadaan ini, sering perjalanan dilanjutkan dengan speed 
boat. Jalan darat dan speed boat merupakan hal baru di Kalteng.  Aku menghibur 
diri seperti orang  Jawa dengan mengatakan "masih untung". Hahaha.  Kuharap 
Jawa-Jawa tak akan marah dengan meminjam filsafat "untung" mereka.
   
   
  Pada masa kecilku di Katingan dahoeloe, penduduk bepergian dari satu tempat 
ke tempat lain dengan menggunakan perahu kecil bikinan sendiri yang disebut 
oleh orang Dayak Katingan disebut jukung . Atau jalan kaki. 
   
   
  Penduduk sungai yang tergantung pada sungai, mempunyai ketrampilan membuat 
jukung dari batang-batang pohon besar. Bukan hanya itu, mereka pun mampu 
membuat kapal ukuran sampai 100 ton. Untuk menggerakkan kapal bikinan sendiri 
ini mereka hanya perlu membeli mesin. Bertolak dari keadaan ini maka Tjilik 
Riwut, ketika menjadi Gubernur Kalteng pertama, mempunyai ide untuk mendirikan 
sekolah perkapalan di Sampit. Mimpi yang tak kesampaian sampai sekarang. 
Bersama makin melenyapnya burung enggang dari hutan-hutan Kalteng, ketrampilan 
membuat perahu dan kapal ini makin melenyap juga. Dalam legenda, memang manusia 
Dayak datang ke pulau raya Kalimantan ini dengan menggunakan perahu yang 
disebut Banama Tingang [Perahu Enggang]. Miniaturnya sampai sekarang  banyak 
dijual di toko-toko kerajinan tangan  di kota dan bandara. Hanya pemilik 
tokonya bukanlah orang Dayak tapi Banjar. Pedagang-pedagang Banjar ini membeli 
barang-barang kerajinan tangan Dayak dengan harga murah dari para
 pengrajin, umumnya perempuan, yang terdapat di kampung-kampung.  Orang 
Dayak,yang biasa dimanjakan alam, sementara alam mereka sekarang sudah rusak 
tak kepalang,  agaknya masih  tertinggal dalam menghargai kemampuan mereka 
sendiri. Bisanya hanya mengeluh. 
   
   
  Usai memasuki beberapa hulu sungai,  aku memutuskan untuk kemudian pergi ke 
Pontianak, Kalimantan Barat [Kalbar] untuk selanjutnya ke Kuching ,  Sarawak. 
Sarawak juga Sabah menarik perhatianku sejak lama. Bahkan sejak bocah, ketika 
aku dengan telanjang badan menerjuni ombak sungai Katingan saat berkabut atau 
pun terang sambil mengacungkan kepala kecilku ke langit mengatakan bahwa aku 
anak sungai, aku anak alam diasuh ombak dan langit segala warna. Aku adalah 
anak enggang dan putera naga -- penguasa dunia atas dan dunia bawah.
   
   
  Pada masa bocah ini seperti anak-anak Dayak lainnya, aku belajar dan hapal 
benar lagu "Bonero Tanahairku, Tanah Nusa Pusakaku". Di lagu ini tanpa kecuali, 
kota -kota besar dan kecil hingga kampung-kampung bersejarah disebutkan dengan 
teliti. Melalui lagu inilah aku mengenal nama kota Kuching, Sandakan dan Kota 
Kinabalu, yang mengembangkan mimpi kanakku bahwa suatu hari aku harus melihat 
dengan mata kepala sendiri tempat-tempat tersebut. Sampai sekarang aku tidak 
tahu siapa pencipta lagu yang amat populer  di masa bocahku itu. Sama 
populernya dengan lagu "Kalimantan Tanahairku", lagu-lagu yang kemudian 
dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin 
yang menciptakan lagu-lagu itu adalah salah seorang dari organisasi perjuangan 
masyarakat Dayak bernama Pakat Dayak [Kesepakatan Dayak], organisasi yang 
kemudian ditindas oleh Belanda, tapi kemudian bangun kembali. Ditumapas, bangun 
kembali.  Dilarang dibangun kembali dan sekarang mengambil
 bentuk Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah 
[LMMD-DKT]. Pakat Dayak sejak lama, sejak zaman kolonial Belanda, Pakat Dayak 
atas nama  masyarakat Dayak menuntut adanya propinsi sendiri, dan Belanda 
terpaksa mengakui tuntutan ini, dan memberikan wilayah tersebut sebagai Dayak 
Besar, termasuk Kalimantan Selatan. Pemberontakan bersenjata untuk mendirikan 
propinsi Kalteng pada 1956 di bawah Gerakan Mandau Talawang Panca Sila, kukira 
merupakan kelanjutan saja dari ide Pakat Dayak.  Dengan berkata begini sebagai 
ilustrasi, barangkali di sini bisa dilihat arti pentingnya penulisan sejarah 
lokal dan sejarah etnik-etnik untuk menyempurnakan penulisan sejarah Indonesia 
yang lebih representatif, tidak hanya terpusat pada sejarah raja-raja feodal 
Jawa . Jawa yang hanya merupakan salah satu bagian saja dari Indonesia. Kalau 
berbicara tentang Republik Indonesia, kiranya, niscaya penulisan sejarah 
mempertimbangkan jasa-jasa dan sumbangan berbalut darah semua etnik
 dalam menegakkan dan membela Republik Indonesia.
   
   
  Apakah arti pemberontakan bersenjata masyarakat Dayak terhadap Republik 
Indonesia Soekarno pada 1956 ini? Jika kucamkan ulang, aku sampai pada hipotesa 
bahwa masyarakat Dayak menolak penindasan NKRI sentralistik. Intinya:mereka 
ingin menjadi tuan di kampung kelahiran sendiri. Dan keinginan ini dipahatkan 
dalam huruf besar-besar di Bukit Batu antara Palangka Raya dan Kasongan, 
ibukota kabupaten Katingan "Ela sampai  tempun petak batana saré" [jangan 
sampai punya tanah berladang di tepi" yang lengkapnya di masyarakat Kalteng 
dikenal sebagai "ela sampai tempun petak batana saré, tempun uyah batawah 
belai, tempun kajang bisa puat" [jangan sampai punya tanah berladang di tepi, 
punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan]. Pemberontakan bersenjata 
masyarakat Dayak pada 1956 yang berakhir dengan berdirinya Propinsi Kalteng, 
bukanlah untuk memisahkan diri dari RI, tapi ingin mengejawantahkan mimpi lama: 
menjadi tuan di kampung sendiri, tidak menjadi warga yang "tempun
 petak batana saré" [punya tanah berladang di tepi", sementara dalam kenyataan 
NKRI sentralistis yang tidak lain dari bentuk baru penjajahan. Penjajahan 
bangsa sendiri oleh bangsa sendiri. NKRI tidak mesti diterapkan dengan sistem 
sentralistik.   Sistem sentralistik bukan satu-satunya sistem untuk 
menyelenggarakan Republik Indonesia yang diperjuangkan dan dibela oleh semua 
etnik, termasuk etnik Tionghoa, Arab , dan lain.... Menganggap etnik Tionghoa 
di Indonesia, bukan sebagai warga Indonesia dan bukan orang Indonesia, aku kira 
pandangan yang terlalu gegabah dan tidak bertanggungjawab, tidak cermat membaca 
sejarah. Yang berpendapat begini, agaknya lupa akan apa siapa Lim Koen Hian, 
pendiri Partai Tionghoa Indonesia , hanya untuk menyebut satu nama saja, tanpa 
menyebut nama-nama lain. Masalah Boemipoetera pun , kukira perlu dikaji lebih 
cermat. Mengapa ada istilah ini, apa latarbelakang sejarah politik dan 
ketatanegaraannya? Siapa yang bisa disebut Boemiputra dan tidak di
 negeri yang terletak di tengah lalu lintas perjalanan dari benua ke benua? 
Siapakah Boemipoetra itu jika orang Dayak saja datang ke Kalimantan menggunakan 
Banama Tingang?
   
   
  Dengan latar belakang keadaan begini, apalagi setelah berjumpa dan berbincang 
dengan teman-teman sesama Dayak dari Sabah dan Sarawak mengenai 
persoalan-persoalan masing-masing,  maka aku menetapkan, sesudah berkeliling 
Kalteng ,  harus menuju Sarawak. Lebih-lebih di Kuching terdapat Museum Dayak 
terbesar dan perpustakaan tentang Dayak yang cukup penting. Sementara Museum 
Dayak di Palangkaraya sama sekali tidak bisa dibilang membanggakan selain 
megahnya gedung dan luasnya halaman, untuk tidak mengatakannya terlalu miskin 
dan tidak padan untuk mengenal Kalteng, khususnya Dayak Kalteng. Maaf, kepada 
para pengelolanya karena  mengucapkan kata-kata ini yang mungkin tidak 
menyenangkan mereka tapi perlu kuucapkan karena aku tak merahasiakan  pendapat. 
***
   
   
  Paris, Musim Dingin 2008.
  ------------------------------------
  JJ. Kusni, pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris. 
   
  [Berlanjut....]
   
   
   

       
---------------------------------
 
 Real people. Real questions. Real answers. Share what you know.

Kirim email ke