FAHRUDIN NASRULLOH, PENULIS MUDA DARI LEMBAH PRING JOMBANG
   
  TERKESAN PENINGGALAN KERAJAAN MOJOPAHIT
   
  Demam Majapahit tidak hanya menghinggapi masyarakat Trowulan dan sekitarnya, 
namun sudah menyebar ke seluruh warga Indonesia . Majapahit seolah bangkit lagi 
dari mati surinya selama kurang lebih 700 tahun silam. Kenyataan ini juga 
menggerakkan Fahrudin Nasrulloh, seorang penulis muda dari Jombang untuk 
menapaktilasi sisi-sisi terahasia dari peninggalan Majapahit. Sebelumnya, 
pengalaman menulisnya yang selama 15 tahun tinggal di Jogja kian terbakar 
setelah ia bertemu dengan Pak Haris Daryono, penulis buku Dari Majapahit Menuju 
Babad Pondok Tegalsari asal Tulungagung yang mengisahkan ihwal riwayat Gajah 
Mada. 
   
  “Saya disodori buku tersebut olehnya dan saya baca sekilas. Menarik dan 
memikat. Tapi yang lebih mengejutkan: dalam buku tersebut terpampang foto Gajah 
Mada. Soal asli atau tidak. Memang perlu penelitian lebih jauh,” ujarnya.
   
  Penulis buku Syaikh Branjang Abang asal kampung Mojokuripan Sumobito Jombang 
ini lantas kepada Radar menunjukkan foto Gajah Mada tersebut:
   
  Penulis yang lahir 16 Agustus 1976 ini berkomentar, “Sebagai penulis, mulanya 
saya sudah putus harap ketika pulang kampung dan tak menemukan inspirasi apapun 
di kota sepi kreatifitas kayak “kuburan” ini. Tapi setelah menyimak buku itu, 
lebih-lebih soal foto Gajah Mada itu, spirit berkarya saya perlahan-lahan mulai 
terbakar.” 
   
  Ia mengakui soal ironi iklim dunia tulis-menulis di Jombang. Tak ada 
komunitas menulis, atau komunitas sastra, sebagaimana yang pernah ditemuinya di 
Jogja. Mau tak mau, “Saya musti jadi ‘hantu’ untuk diri sendiri agar bisa 
berkarya dengan baik. Tanpa gesekan dan bantuan dari siapapun. Meski hidup di 
kota kecil, kenapa tidak bisa saya meledakkan diri untuk berkarya seperti 
Langit Kresna Hariadi yang telah menulis sebanyak 4 jilid novel Gajah Mada,” 
demikian paparnya.
   
  Baginya, warisan kebudayaan Majapahit yang maha besar itu harus dibangkitkan 
sendiri oleh orang-orang Mojokerto atau sekitarnya. Tapi setidaknya, Fahrudin,  
Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995) dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 
(2002) ini telah memulai untuk dirinya sendiri. Di kampung ia mendirikan 
Komunitas Lembah Pring, meski belum ada anggotanya, yang bergiat dalam bidang 
kreatifitas menulis dan bersastra. Di Mojokerto , ia juga bergabung dalam 
Jaringan Kebudayaan Banyumili Mojokerto bersama blogger Abdul Malik. Demikian 
pula ia sering nimbrung untuk berdiskusi dengan sejumlah penyair di Dewan 
Kesenian Mojokerto. 
   
   
  PRODUKTIF MENULIS 
  Di rumahnya yang sederhana, dengan tumpukan buku berceceran, ia bekerja 
sebagai editor lepas untuk sejumlah penerbit Jogja. Fahrudin juga menulis 
puisi, cerpen dan esai di beberapa media. Beberapa karya puisinya masuk dalam 
buku Jogja 5,9 Skala Richter (antologi puisi: Bentang, 2006); cerpennya masuk 
dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing (Jurnal Cerpen Indonesia , 2006); Loktong 
(antologi cerpen: CWI, Jakarta , 2006); Tongue in Your Ear (esai sastra: 
Festival Kesenian Yogyakarta ke-19, FKY Pressplus, 2007); Kumpulan Cerpen Khas 
Ranesi (PT. Grasindo, Jakarta , 2007). Buku lain yang telah terbit Inspirasi 
Meraih Sukses (Lafal Indonesia , 2006). Beberapa buku yang segera terbit, Geger 
Kiai Dulkematkemut (kumpulan kisah di dunia pesantren. Diterbitkan LKiS, 
Jogjakarta ).
   
  Kini, penulis yang lagi gandrung membaca dan memburu cerita-cerita silat ini, 
sedang mempersiapkan buku lain semisal Spirit of Writing. Sebuah buku tentang 
kiat-kiat menulis dan problematikanya. “Buku ini tersulut karena, ketika awal 
2007 kemarin, saat saya membuat KTP, saya menuliskan item pekerjaan sebagai 
‘penulis’. Tapi bangsatnya, ketika KTP jadi, di situ tertulis ‘wiraswasta’. 
Kenyataan apa pula ini? Namun geram saya pada aparat desa hanya saya simpan 
dalam hati. Apakah pekerjaan sebagai ‘penulis’ tidak dihargai di negeri ini? 
Inilah yang menggerakkan saya untuk menelisik seluk-beluk menulis yang 
sementara orang menganggapnya bukan sebagai pekerjaan yang menjanjikan masa 
depan.”
   
  Ia berharap, kawan-kawan penulis lain di kotanya dan sekitarnya dapat 
mengambil spirit dari banyak penulis di negeri ini yang terbilang dan tak 
terduga sukses dalam berkarya. Fahrudin yakin, semua penulis yang gigih dan 
getol berkarya akan menemukan keberhasilan yang gemilang sebagaimana 
Habiburrahman El-Shirazy yang menulis novel Ayat-Ayat Cinta yang hingga kini 
terjual sekitar 30 juta eksemplar. Setiap bulan penulis jebolan Al-Azhar Mesir 
ini menerima royalti 100 juta perbulannya. Demikian juga kita bisa meneladani 
novelis seperti Andrea Hirata, Asma Nadia,  Helvy Tiana Rosa, dll. 
   
  Kendati penulis ini belum setenar yang disebut di atas, ia berkeyakinan bahwa 
berkarya bukan soal memburu tenar dan ingin cepat kaya, seperti mental watak 
kebanyakan anak-anak muda sekarang yang menggebu-gebu ingin jadi artis dan 
cepat kaya-raya. Baginya, menulis adalah panggilan jiwa. Hidup sebagai penulis 
adalah juga ibadah. Karena itu, dengan latar belakang pesantrennya yang kental, 
ia juga sekarang sedang mempersiapkan novel bernuansa pesantren dengan judul 
Srikintil dengan latar seting, plot, dan tokoh-tokoh yang bergelut di jagat 
seni perludrukan.
   
  “Pesantren dan ludruk adalah embrio sosialogis dari masyarakat Jawa Timur 
yang unik, cemerlang, dan memiliki akar historis yang kuat sebagai cermin 
masyarakatnya. Ini penting untuk diangkat dalam novel ini. Saya tak tahu pasti 
kapan selesainya. Belum ada 100 halaman. Kita tunggu aja waktunya nanti,” 
komentar Fahrudin.
   
  Sebagai penulis yang merasa telah mati tak bisa menulis setelah pulang 
kampung ini, ia blak-blakan mengaku semangatnya terpantik akan kejayaan 
Majapahit untuk terus berkarya dan “nguri-nguri kabudayan” adiluhung di 
Trowulan itu. (khoirul inayah, Radar Mojokerto, Minggu, 2 Maret 2008).
   
  Call Center Fahrudin Nasrulloh: 081 578 177 671
   
   
  
       
---------------------------------
Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.

Kirim email ke