Jurnal Sairara:
   
   
   
  MENUJU SARAWAK [10]
   
   
   
   
   
  Dari kedai-kedai  Kuching yang kumasuki, dan dari  jalan-jalan kota yang 
kutelusuri jalan kaki,  aku melihat, entah sadar atau tidak,  adanya keunikan 
yang dikembangkan oleh Sarawak. 
   
   
  Di kedai di mana aku duduk sambil menghirup secangkir kopi seusai makan 
sambil meluruskan kaki yang lelah, aku melihat orang-orang asal etnik Melayu, 
Tionghoa , Dayak dan Tamil sedang duduk sambil merokok dan bercakap-cakap 
santai.  Terkadang kudengar gelak-bahak yang lepas. Mereka kelihatan akrab 
bersahabat.  Kurasakan ada suatu keindahan. Keindahan perdamaian dan kerukunan. 
Keindahan  keragaman. Ia menarik perhatianku saat teringat akan konflik etnik 
yang sering meletus di Indonesia. Konflik yang pernah kualami langsung di tahun 
2000 sehingga rumah kontrakku di Palangka Raya menjadi tempat mengungsi 
mahasiswa-mahasiswa yang asramanya dihancurkan.
   
   
  Tadi dalam perjalanan pulang-pergi dari Museum, aku membaca spanduk-spanduk 
menyambut Pesta Naik Dangau orang Dayak. Menurut orang-orang Dayak yang bekerja 
di hotel, Pesta ini juga dirayakan  juga dirayakan juga oleh mereka yang non 
Dayak seperti warga Sarawak as Melayu, Tionghoa dan Tamil. "Paling tidak mereka 
turut menikmati hari Pesta panen padi  ini", jelas pegawai-pegawai hotel sudah 
merasa akrab dengan diriku. Sedangkan dari pihak pemerintah Sarawak, Pesta Naik 
Dangau dijadikan sebagai salah satu hari raya nasional setara dengan  Idulfitri 
dan Tahun Batu Imlek. Tiga etnik ini memang tiga etnik utama di Sarawak 
sedangkan etnik Tamil merupakan etnik minoritas. Luput dari pertaanyaanku, 
apakah hari rayat utama orang Tamil diperlakukan serupa dengan hari raya utama 
ketiga etnik besar di atas. Tapi paling tidak, pemerintah Sarawak nampaknya 
menterapkan politik etnik kesetaraan terhadap etnik-etnik yang ada di Sarawak.
   
   
  Politik etnik kesetaraan ini kembali kusaksikan ketika mengunjung tugu 
pahlawan yang tertelak di sebuah bidang tanah cukup luas. Rapi dan terawat 
baik. 
  Tugu ini terdiri dari beberapa permukaan dan pada masing-masing permukaan 
ditatah wajah, nama dan riwayat singkat pada pahlawan. Yang sangat menarik 
perhatianku bahwa pahlawan-pahlawan Sarawak berasal dari berbagai etnik, 
terutama tiga etnik utama di negara bagian Malaysia Timur ini: Dayak, Melayu 
dan Tionghoa. Kepada anak Dayak yang mengantar, kutanyakan mengapa tidak semua 
permukaan di isi dan dibiarkan kosong?  
   
   
  "Bidang-bidang kosong itu dicadangkan untuk pahlawan-pahlawan baru kelak", 
ujar anak Dayak Kuching yang dengan sukarela menemaniku. Membaca keterangan 
singkat di Tugu Pahlawan ini, kuketahui bahwa mereka yang ditatah nama dan 
wajahnya di Tugu terutama mereka gigih melawan penjajahan Inggris. Rincian 
kisahnya, terutama yang asal etnik Dayak bisa dilihat di Museum. Termasuk 
perahu yang mereka gunakan dalam perlawanan. Terkesan padaku, bahwa peneraan 
nama dan wajah di Tugu dilakukan dengan sangat ketat. Tidak asal-asalan, 
seperti halnya dengan Pantheon, makam "putera-puteri terbaik" Perancis yang 
terletak di pusat kota, tak jauh dari Universitas Sorbonne.  Di Pantheon 
sebagai makam "putera-puteri terbaik", tidak terdapat orangorang yang tangannya 
berlumuran darah rakyatnya sendiri.ada putera-puteri terbaik" Perancis. Ironi 
dan nilai pahlawan dan bukan pahlawan jika pembunuh rakyat negerinya sendiri 
disebut sebagai pahlawan dan putera-puteri terbaik. Ketegasan Perancis pada
 nilai republiken ini juga nampak pada masih dikejar dan dibawa ke depan 
pengadilan, tokoh-tokoh yang kapitalusasi dan berdarah tangannya semasa 
penduduk fasis Jerman. Papon adalah salah satu contoh. Dan Jacques Chirac 
ketika menjadi presiden Prancis pada mandat pertama, secara terbuka mengatakan  
PemerintahVichy yang berkolaborasi dengan Nazi  Jerman pada masa Perang Dunia, 
bukanlah Republik Perancis. Semangat mempertahankan nilai kepahlawanan ini 
jugalah yang terkesan padaku dipertahankan oleh penyelenggara kekuasaan politik 
di Sarawak pada Tugu Pahlawan. Kalau pengkhinat, pembunuh dan pahlawan 
dicampuradukkan, maka warga negara negeri itu akan rancu tentang mana pahlawan 
dan bukan pahlawan, mana yang agung dan tidak agung, mana benar dan tidak 
benar. Tugu Pahlawan Sarawak memperlihatkan juga padaku bahwa kepahlawan dan 
pahlawan tidak bersentuhan dengan asal etnik. Sarawak adalah negara bagian yang 
majemuk. Kemajemukan yang tunggal dan semua warga negara, sama di depan
 hukum Sarawak. 
   
   
  Kemajemukan ini kembali nampak ke hadapanku, ketika aku duduk di sebuah 
"rumah angin" di tengah-tengah sebuah lapangan rindang oleh dedaunan.  Beberapa 
ratus meter dari "rumah angin" tempatku beristirahat , berdiri sebuah bangunan 
seperti sebuah kuil khas Tiongkok. Di tempat rindang ini juga terdapat 
sisa-sisa bangunan berornamen Dayak. Terkesan padaku, bahwa Kuching seakan 
sebuah kota bertandakan budaya Dayak dan Tionghoa. Tak ada yang mengganggu 
dengan keragaman begini. Justru kurasakan  makin indah dan berwarna.
   
   
  Yang kurasakan sedikit kurang nyaman di hati, ketika pekerja-pekerja hotel 
membaca koran dengan ketertarikan khusus akan imigran gelap dari Indonesia. 
Waktu itu mereka sedang membaca sebuah berita tentang penangkapan oleh polisi. 
"Ada apa yang menarik", tanya seorang pekerja yang baru datang.
   
  "Polisi menangkap pendatang haram", jawab yang ditanya.
   
  "Dari Indo kah?"
   
  "Iya. Dari mana lagi?
   
   
  Samar-samar mata hatiku melihat wajah suram negeri lahirku. Seperti seorang 
kelelahan dan kelaparan, berjalan tertatih-tatih kebingungan mencari jalan 
hidup di tengah-tengah kekayaan alamnya yang berlimpah. Bertanah subur. 
Sampai-sampai ubi kayu dilempar begitu saja akan tumbuh sendiri dan memberi 
ubi. Negeri kaya melimpah bertanah subur, hanya melimpahkan air mata duka, 
menyuburkan nestapa kepapaan.
   
   
  "There is something wrong in the State of Denmark", tulis Shakespeare dalam 
drama "Hamlet"-nya.  Dan adanya  "something wrong" inilah , kukira, yang 
membuat negeri kampung kelahiranku  di mata jiran , sampai kepada "men in the 
street"nya seperti sebuah negeri dan bangsa yang tak bermartabat. Orang sakit 
Asia Tenggara. 
   
   
  Paris,  Akhir Musim Dingin 2008.
    ---------------------------------------------
  JJ. Kusni,  pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia Paris.


       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel

Kirim email ke