TEMPO, Edisi. 08/XXXVII/14 - 20 April 2008
Nasional
Kewajiban berjilbab

Jilbab, Wajib dan Menyesuaikan

Meski siswi nonmuslim tak diwajibkan, jilbab sebagai ”seragam sekolah” merata 
di seluruh Sumatera Barat. Kalau tak rapi, diancam dikeluarkan dari sekolah.

RITUAL harian Saskia, sebut saja begitu, dimulai pukul enam pagi. Dua puluh 
lima menit setelah bangun tidur, tubuh siswi kelas III sekolah menengah atas 
swasta di Padang itu sudah berbalut baju kurung dipadu kain batik merah muda. 
Dia pun berdandan di depan cermin yang terpasang di atas lemari tempat 
menyimpan baju dan kitab Injil.

Dengan terampil tangannya memasang jilbab, berupa selendang persegi empat warna 
pink, menutup kepalanya. Semenit kemudian, penampilannya berubah bagaikan 
santriwati pondok pesantren. Dari rumah kosnya ke sekolah, sekali ia berganti 
kendaraan umum. Dekat pukul tujuh pagi, gadis yang bulan depan menjalani ujian 
akhir nasional itu memasuki halaman sekolah.

Sekitar pukul 11.00, penganut agama Katolik itu pulang cepat karena hari Jumat. 
Begitu kakinya melangkah ke luar gerbang sekolah, Saskia sibuk melepas jilbab 
dan memasukkannya ke dalam tas. ”Panas sekali,” kata perempuan yang sudah 
berjilbab ke sekolah sejak 2005 itu.

Pernah suatu kali dia dan beberapa temannya ditegur guru dan diingatkan supaya 
melepas jilbab setelah sampai di rumah. Lain waktu, guru yang lain menegurnya 
karena tak rapi memakai jilbab sehingga menampakkan sebagian rambutnya. ”Kalau 
tidak bisa rapi mengenakan jilbab, tinggalkan saja sekolah ini,” kata Saskia 
menirukan peringatan keras sang guru.

Instruksi Wali Kota Padang, 7 Maret 2005, yang mewajibkan Saskia mengenakan 
jilbab. Dalam surat edaran ke sekolah-sekolah, Wali Kota mewajibkan siswa 
beragama Islam semua sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dan yang 
sederajat di wilayahnya mengenakan pakaian muslim. Siswa nonmuslim dianjurkan 
menyesuaikan diri.

Sebetulnya, banyak siswa nonmuslim yang keberatan. Tapi, ketika Tempo menemui 
belasan siswi nonmuslim di kelas III sebuah sekolah menengah atas, mereka 
enggan diwawancarai. Mereka khawatir identitasnya terbuka. Seperti Saskia, 
mereka hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan sekolah dan terlepas dari 
kewajiban berjilbab itu.

Sudarto, Direktur Pusat Studi Antar-Komunitas Beragama, lembaga swadaya 
masyarakat yang mengusung isu pluralisme di Padang, menyayangkan pemerintah 
kota yang mengatur masalah keagamaan secara simbolis. Menurut dia, tidak jadi 
masalah jika Wali Kota agamis secara pribadi. ”Tapi jangan sampai diangkat 
menjadi kebijakan publik,” katanya.

Dalam observasi langsung di beberapa sekolah di Padang bersama Lembaga Survei 
Indonesia, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, serta Jurnal Perempuan, dua 
pekan lalu, Sudarto dan rekan-rekannya menemukan semua siswi nonmuslim di empat 
sekolah yang disambangi mengenakan jilbab saat bersekolah. ”Ketika saya tanya, 
mereka menjawab terpaksa mengikuti aturan sekolah,” ujarnya.

Sebetulnya, peraturan itu hanyalah instruksi wali kota kepada dinas pendidikan, 
dan bukan berbentuk peraturan daerah. ”Apakah instruksi itu sah untuk publik, 
itu yang sedang kami kaji,” kata Sudarto, yang juga anggota Komisi Nasional Hak 
Asasi Manusia Sumatera Barat.

Selama lima tahun terakhir, Pemerintah Kota Padang memang aktif mengeluarkan 
kebijakan yang terkait dengan ibadah Islam. Pada 2003, pemerintah kota 
menerbitkan peraturan daerah yang mewajibkan siswa pandai baca-tulis Al-Quran. 
Berdasarkan peraturan daerah itu, seorang tamatan sekolah dasar tak boleh 
diterima di sekolah menengah pertama jika tak fasih membaca kitab suci.

Wali Kota Padang Fauzi Bahar berusaha berkelit. Menurut dia, perintah yang dia 
keluarkan sejak tiga tahun silam itu hanya bersifat wajib bagi siswi sekolah 
dasar sampai sekolah menengah atas yang beragama Islam. Bagi kalangan 
nonmuslim, sifatnya hanya anjuran menyesuaikan diri, dengan mengenakan baju 
kurung bagi siswi dan baju koko untuk siswa.

Dia juga menyatakan tak pernah mendapat protes dari masyarakat. Bahkan 
kebijakan yang dikeluarkan dengan alasan mengurangi gigitan serangga penyebab 
penyakit serta penyeragaman ini ditanggapi positif oleh kalangan nonmuslim di 
kota dengan sekitar 900 ribu penduduk itu.

Karena sifatnya imbauan, menurut Fauzi, yang menjabat sejak 2004, tak ada 
sanksi bagi mereka yang tak menjalankan aturan ini. ”Tak ada paksaan dan tak 
pernah ada razia jilbab,” kata pemimpin kota yang 90 persen penduduknya 
beragama Islam itu. Fauzi malah menambahkan, jika ada sekolah yang terbukti 
memaksakan pemakaian jilbab terhadap siswa nonmuslim, ia akan menindak tegas. 
”Sebutkan dan akan kami copot kepala sekolahnya,” ucapnya.

Kebijakan ini, kata Fauzi, pernah dibicarakan di sidang kabinet. Tapi, karena 
dianggap tak ada gejolak berarti dari masyarakat, tak pernah ada upaya mencabut 
atau mengkaji ulang. Bahkan, menurut sang Wali Kota, seluruh Provinsi Sumatera 
Barat telah menerapkan kebijakan ini karena dianggap membawa pengaruh positif.

DA Candraningrum, Febrianti (Padang)
       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

Kirim email ke