Jurnal Sairara:
   
   
  PERTANYAAN DARI MAKASSAR
   
   
  Setelah tersiar rencana pemerintah untuk menaikkan lagi harga BBM, berbagai 
kalangan masyarakat yang gelisah akan dampak negatif dari kenaikan itu dalam 
berbagai sektor kehidupan, mulai menyatakan penolakan mereka dengan melancarkan 
aksi-aksi turun-jalan.  Unjuk rasa ini kian menjadi setelah kenaikan tersebut 
resmi diumumkan. Di mana-mana terjadi demo, termasuk para  di Samarinda, 
Kalimantan   Timur. Penangkapan-penangkapan terjadi, bahkan  Universitas 
Nasional di Jakarta diserbu oleh polisi. Yang mungkin luput dari pengetahuanku, 
demo-demo demikian tidak terjadi di Kalimantan Tengah dan Barat, juga  di 
Selatan. Daerah-daerah ini terkesan tenang tenteram, tanpa kegelisahan akan 
dampak negatif kenaikkan harga BBM.
   
   
  Suatu siang, telponku berdering.  Di ujung jauh kudengar suara seorang ibu, 
yang segera kukenal, mantan aktivis pada masa menentang rezim Orde Baru [Orba], 
dan mantan penanggungjawab Front Persatuan Nasional Lombok pada masa 
pemerintahan Soekarno, sedangkan  anak sulungnya adalah aktivis terdepan  dalam 
melawan Orba sampai rezim ini tumbang.  Mereka tinggal di Makassar, Sulawesi 
Selatan. Ibu yang sudah berkepala lima ini dengan asyik penuh semangat 
mengemukakan pandangan-pandangan-pandangannya tentang situasi tanahair yang 
kurasa cukup tajam dan menukik, termasuk kegiatan Amerika Serikat sekarang  di 
Manado, Sulawesi Utara. Gairah dan semangat yang memperlihatkan keprihatinan 
serta kecintaannya pada tanahair yang tak usai-usai dirundung kemelut 
susul-menyusul. Apalagi cinta ini sudah menempuh jalan panjang berliku,, bahkan 
banjir darah, tapi tetap saja tegak gagah di hadapan peristiwa demi peristiwa 
silih berganti. Cintanya pada tanahair dan kehidupan mengingatkan aku
 akan peribahasa Tiongkok Kuno bahwa "daya tahan seekor kuda diuji dalam 
perjalanan jauh".
   
   
  Tahu benar bahwa aku berasal dari Sungai Katingan, Kalimantan Tengah, ibu 
berkepala lima ini, menanyaiku terbuka, kebiasaan kami jika sedang berbicara: 
"Mengapa, Nak, Kalimantan khoq adem-adem dan diem-diem saja, padahal 
daerah-daerah dan pulau-pulau lain bergejolak. Tak pernah ibu baca unjuk rasa 
di Kalimantan mendapat sorotan media massa nasional , kecuali berlangsungnya 
konflik-konflik etnik?".
   
   
  Tersentak juga hatiku mendengar pertanyaan terus-terang dari sang ibu ini? 
Terasa padaku bahwa pertanyaannya menyentuh soal hakiki yang jika dibicarakan 
dan direnungkan akan menyangkut banyak bidang. Yang bisa dilihat dari segi 
sejarah, sosiologi, antropologi, psikhologi, ekonomi dan tentu saja dari segi 
politik. Karena tidak mau gegabah mengetengahkan pendapat, maka aku hanya balik 
bertanya: "Sebagai orang dari luar Kalimantan, bagaimana ibu melihatnya?".  
Karena merasa sudah dekat, maka sang ibu lalu dengan bebas berkomentar, kurang 
lebih sebagai berikut: 
   
   
  "Kalimantan adalah pulau kaya raya. Punya minyak, punya emas, punya hutan, 
punya batubara, punya karet, punya jelutung, punya damar, punya batu-batuan 
berharga,   dan entah apa lagi. Kekayaan ini memanjakan mereka dan berdampak 
pada pola pikir dan mentalitas mereka. Kemelut yang membuntuti kenaikan  BBM 
seperti tidak menggoyahkan kehidupan mereka. Karena itu maka mereka menjadi 
adem-adem dan diem-diem seperti tidak ada angin tidak ada hujan saja apalagi 
badai. Ini dugaan ibu lho, nak. Bagaimana menurut anakku sendiri?". Sang ibu 
tidak membiarkan aku hanya mendengarnya. Karena sadar bahwa jawaban pertanyaan 
mendasar ini akan menjadi panjang-lebar, dilihat tahap demi tahapnya, bisa 
disorot dari berbagai segi, maka aku hanya menjawab bahwa ibu telah 
mengetengahkan soal mendasar bahkan sangat mendasar yaitu apa-siapa dan 
bagaimana manusia Kalimantan, cq, Dayak, hari ini? Pertanyaan yang jika 
menggunakan istilah strateg Tiongkok zaman dahoeloe: "mengenal diri sendiri 
sebelum
 mengenal lawan". Lawan yang bisa dipahami sebagai situasi nyata. 
  Sedangkan "diri sendiri", bisa dipahami sebagai faktor intern, faktor 
kesadaran dan wawasan subyektif manusia sebagai aktor pemberdayaan dan 
pembangunan memanusiawikan diri sendiri, manusia, kehidupan dan masyarakat.   
Faktor ini, adalah faktor "the singer" sedangkan "the song" adalah karya dari 
"the singer", jika meminjam dan memberi varian pada judul sebuah filem Holywod 
zaman dahulu.
   
   
  Pandangan sang ibu ini menyeret kenanganku akan keadaan Kalimantan, terutama 
Kalimantan Tengah di mana aku pernah bekerja di lapangan sampai tahun 2001, 
memulai kegiatan di sini sejak 1991,  dan propinsi-propinsi  lain Kalimantan 
yang kusempatkan mengunjunginya hingga jauh ke hulu. Secara singkat bisa 
kukatakan bahwa Kalimantan sekarang bukan Kalimantan yang dahulu. Dayak 
sekarang bukan Dayak dahoeloe yang Utus Panarung, turunan Panimba Tasik 
[Penimba Samudera], Panetek Gunung [Pemungkas Gunung].  Kalimantan memang kaya, 
tetapi mayoritas penduduknya miskin, masih belum bisa melepaskan diri dari 
"budaya betang lama" dalam menanggapi dan mengapresiasi perkembangan baru yang 
cepat  sekali berkembang.  Kalimantan sekarang adalah pulau sakit sama sakitnya 
dengan Indonesia secara umum. Kalimantan yang sakit, barangkali bisa sehat 
kembali jika ia benar-benar mau sembuh. Kesembuhan yang tuntas hanya bisa 
didapat, jika dilakukan usaha penyembuhan sadar dan jujur mengenal diri
 sendiri terlebih dahulu sebelum mengobah keadaan. Menjadi manusia sadar 
berwawasan manusiawi dahulu, barangkali, merupakan kunci jawaban pertanyaan: 
"Apa yang harus dilakukan" dan  "Dari mana mulai?".  
   
   
  Pertanyaan sang ibu dari Makassar ini barangkali layak kita renungkan untuk 
mengejawantahkan konsep hidup-mati Dayak dahoeloe : "rengan tingang nyanak 
jata" [anak enggang, putera-puteri naga] sebagai tujuan. Barangkali! ***
   
   
  Paris, Mei 2008
  ---------------------
  JJ. Kusni , pekerja biasa pada Koperasi Restoran Indonesia di Paris.

       
---------------------------------

Search. browse and book your hotels and flights through Yahoo! Travel

Kirim email ke