Selesai membaca puisi, bidadari itu langsung melayang tinggi lalu hilang. Tapi 
tak ada tepuk tangan, semua diam… hening… dan tiba-tiba satu per satu mereka 
mulai menangis mengguguk dan akhirnya pecahlah tangis yang riuh rendah, 
memenuhi aula besar hingga suaranya bagaikan koor jerit yang menyayat hati, 
menyesali kehidupan negeri mereka yang bodoh dan biadab.

Dan air mata itu terus menggenang dan mengalir menuju ke selokan surga, terus 
menuju pembuangan dan akhirnya dibuang menjadi hujan deras yang turun ke bumi, 
menjadi hujan yang terasa aneh di bumi, karena hujan ini membawa hawa dingin 
yang menyayat, dan jika turunnya malam hari, hujan itu menyebarkan gairah 
bertobat kepada insan-insan yang suka bangun dan salat malam.

Hujan itu membuat insan-insan itu juga ikut menangis, menangisi negerinya yang 
tak kunjung sembuh dari kebodohan dan kemalangan yang terus-menerus berlangsung 
hampir setiap hari.
Bahkan, wartawan media massa hampir tak pernah ”mencari-cari atau membuat” 
berita, karena berita telah datang sendiri, dan setiap berita musibah amat 
layak tampil di halaman satu atau headlines. 

Malahan, amat sangat sering juga satu hari terdapat lima puluh jenis musibah 
sekaligus, sehingga ada harian Koran KREATIF yang sangat kreatif, dengan 
memperpanjang ukuran halaman satunya hingga lima meter, karena saking banyaknya 
berita musibah.
Musibah itu tentu bukan hanya musibah bencana alam, tetapi juga musibah tahun 
ajaran baru, musibah liburan, musibah belanja, musibah beras, musibah listrik, 
musibah BBM, musibah agama, bahkan hiburan pun menjadi musibah, karena hiburan 
yang ada hampir 99,9% berupa hiburan yang merusak moral bangsa.

Bahkan, sebuah malam amal ”peduli musibah bangsa” pun menjadi musibah bangsa 
juga, karena pada malam amal itu semua jenis pertunjukan diwajibkan yang 
berjenis maksiat, karena budayawan yang menjadi promotor malam amal itu 
berpendapat bahwa ”tak semua musibah harus ditangisi, ada kalanya musibah juga 
harus dirayakan.” Di surga sana, malaikat sudah membocorkan rahasia kepada 
korban-korban tsunami yang sedang menangis dua hari dua malam itu:
”Heii, kuberi tahu yaa… tsunami itu bukan apa-apa, belum seberapa… lihat saja… 
bangsamu masih saja banyak yang bermaksiat kok meski tsunami bagi kaumku, kaum 
malaikat… sudah merupakan musibah yang amat mengerikan…lihat saja…Allah sudah 
mulai menugasi kami menyiapkan superbencana yang pernah membuat kami menangis 
setahun penuh… saking beratnya kami melaksanakan tugas bencana itu…yaitu…KIAMAT 
KUBRO….huaaaaawwww…huaawwwww…..” Malaikat pun menangis sendiri dengan suara 
yang mengguntur dan seluruh tubuhnya bergetar hebat... 

Seorang penyair di bumi mendengar suara tangis itu mengguntur-menggeledek di 
sore hari yang mendung pekat tanggal 19 Januari 2005. Kini penyair itu 
menunggu…hitungan malaikat ”SEGERA” itu apakah sehari lagi, sebulan lagi, 
setahun lagi atau seratus tahun lagi???? Wallahua’lam bissawab.

Raya Ulujami, 19 Januari 2005

 


 

 
 



Copyright © Sinar Harapan 2003 

 




 


















  
  
 

 
 


      

Kirim email ke