Jurnal Sairara Kepada Saudara Taufiq Ismail 20 AFRIKA SELATAN DAN MALAYSIA Dalam respons bagian keduanya Saudara Taufiq Ismail menulis sebagai berikut [ Aku kutip ulang]: TENTANG REKONSILIASI, TENTANG PERDAMAIAN TOTAL Taufiq Ismail 1. Ide rekonsiliasi bagus, tapi saran saya lebih dari itu. Perdamaian total. Dan kenapa mengambil Afrika Selatan sebagai contoh? Kejauhan. Perbandingan konflik antara kulit hitam dan kulit putih tidak sepadan dengan konflik PKI – non-PKI di Indonesia. Kenapa tidak mengambil contoh dekat saja di seberang Selat Malaka? 2. Mari kita melihat lewat jendela ke halaman tetangga kita. Di negeri jiran kita, Malaysia, sesudah 40 tahun (1949-1989) CPM, Communist Party of Malaya, Partai Komunis Malaya pimpinan Chin Peng berontak berkepanjangan melawan pemerintah, dengan basis utama di hutan perbatasan Malaysia-Thailand, mereka berdamai. Berdamai total, sesudah bermusuhan dan berbunuhan selama 40 tahun, dengan korban jiwa rata-rata 100 orang setiap tahun di kedua belah fihak (Nihan:1991). Bayangkanlah itu: EMPAT PULUH TAHUN. 3. Rangkaian perundingan memang sangat alot, tapi berakhir dengan kesepakatan bersama. Kedua belah fihak tidak saling menuntut. Komunis yang makar menurut undang-undang yang berlaku, tidak diadili. Pemerintah yang berkuasa tidak dihujat oleh CPM. Mereka diterima dengan damai di masyarakat, baik di Malaysia maupun di Thailand. CPM membubarkan tentara revolusionernya, memusnahkan senjata dengan disaksikan bersama, dan resmi menghentikan permusuhan dengan Pemerintah Malaysia, 2 Desember 1989. Kedua belah fihak setuju untuk tidak saling mencerca. ALANGKAH SANTUN. 4. Bahwa Marxisme-Leninisme tidak dapat menjadi asas partai politik apa pun di alam demokrasi Malaysia, yaitu tetap terlarang, akhirnya diterima sebagai kenyataan oleh CPM. Kedua belah fihak bersedia bersama-sama melupakan masa lalu, kemudian memandang ke masa depan, bersama membangun negeri. Tema kolektif yang disepakati adalah “biarkan yang sudah lewat itu lewat,“ atau “let the past be the past“ (Ratanachaya: 1996). Kedua belah fihak setuju untuk tidak saling mencerca (Peng: 2001). BETAPA INDAHNYA. 5. Dalam konstelasi kini masa pasca Perang Dingin, cara berdamai yang berlangsung antara Partai Komunis Malaya dengan Pemerintah Malaysia, 1989, secara politis adalah realistis. Dalam konstelasi batin pelaku-pelakunya, cara berdamai demikian (saya tafsirkan sebagai) cara yang lahir dari hati yang ikhlas. 6. Mampukah kita sebagai bangsa mencapai perdamaian dengan tingkat maqam keikhlasan setinggi itu? Ide rekonsiliasi bagus, tapi dengan jalan fikiran ide itu yang terbaca oleh saya, rekonsiliasi akan menjadi semacam audit masa lalu, dalam sebuah prosedur tata buku perusahaan dagang dengan mengisi lajur kiri lajur kanan, akuntansi dengan hasil akhir saldo dendam. 7. Sebuah audit dendam akan berkepanjangan dan tak jelas kesudahannya. Dan dari kuburnya Marx dan Lenin tetap saja mengulurkan rantai kesumat yang di Indonesia ujungnya masih membelit bangsa. Saya menyarankan perdamaian total, lebih maju selangkah ketimbang rekonsiliasi. PERDAMAIAN TOTAL. Rantai dendam yang membelit bangsa itu harus segera dipotong habis.*** “Bangsa yang Waras, Bangsa yang Memotong Rantai Dendam,” Prahara Budaya, edisi V, Mei 2008, [Fragmen] Catatan: Nomor alinea-alinea di atas dari JJ. Kusni dilakukan untuk keperluan praktis tanggapanku. *** Terhadap respons bagian kedua Saudara Taufiq Ismail ini pun, aku mencoba menanggapinya alinea per alinea dan bila perlu kalimat per kalimat walau pun alinea-alinea dan kalimat Saudara Taufiq Ismail terasa bagiku sangat kurang disertai data sehingga sebenarnya bisa diabaikan atau dipandang sebagai sebuah gumam. Tapi gumam dari seorang yang perlu dipandang. Gumam yang lebih banyak banyak menjurus ketujuan tunggal: likwidasi Marxisme, tidak memberikan ruang hidup bagi alur pikir Marxisme di Republik dan Indonesia, yang aku tak tahu persis apa pemahaman Saudara Taufiq Ismail tentang Republik dan Indonesia. Aku mengharapkan penjelasan dari Saudara Taufiq Ismail apa yang ada dalam pemahamannya tentang Republik dan Indonesia yang didirikan, dibela dan dipertahankan oleh semua etnik dan aliran serta pandangan, termasuk oleh golongan Marxis. [Ini jika pemahaman dan bacaan sejarahku benar]. Aku mengharapkan benar agar Saudara Taufiq Ismail sebagai cendekiawan dan sastrawan menjelaskan pandangan-pandangannya secara terbuka, jelas dan berdata. Dan tidak dalam kalimat-kalimat singkat yang sangat lemah seperti yang terdapat dalam respons bagian pertama dan keduanya ini. Penjelasan rinci berdata yang kuharapkan dari Saudara Taufiq Ismail adalah ujud dari tanggungjawab dari seorang cendekiawan dan sastrawan yang bertanggungjawab jawab dan menghargai kata yang berarti menghargai diri sendiri. Aku sangat menunggunya. Apalagi Saudara Taufiq Ismail mengatakan dalam menghadapi diskusi dengan Pram ia sudah menyiapkan diri dengan sekian banyak literatur. Aku ingin diyakinkan oleh Saudara Taufiq Ismail dengan khazanah literaturnya yang bajubel itu, demi mencapai "perdamaian total" yang rasional dan manusiawi yang beliau usulkan. Kukatakan rasional dan manusiawi karena terkesan padaku bahwa ketika mengusulkan "perdamaian total", Saudara Taufiq Ismail masih masih menggelepar-gelepar seperti ikan di jala dendam. Sekarang aku masuki alinea pertama dari respons bagian kedua Saudara Taufiq Ismail yang berbunyi sebagai berikut: "Ide rekonsiliasi bagus, tapi saran saya lebih dari itu. Perdamaian total. Dan kenapa mengambil Afrika Selatan sebagai contoh? Kejauhan. Perbandingan konflik antara kulit hitam dan kulit putih tidak sepadan dengan konflik PKI – non-PKI di Indonesia. Kenapa tidak mengambil contoh dekat saja di seberang Selat Malaka?". Sayangnya, ketika menyebut Afrika Selatan dan negeri jiran kita Malaysia, Saudara Taufiq Ismail tidak memberi penjelasan secara jelas. Kalimat-kalimat beliau dangkal sehingga pembaca awam seperti diriku tak gampang mengerti apa yang beliau maksudkan. Dari kalimat-kalimat di atas, aku sama sekali tidak memahami apa bagaimana Afrika Selatan dan Malaysia dalam menciptakan reksonsiliasi. Apa persamaan dan apa perbedaan antara kedua negeri itu. Apa alasan Saudara Taufiq Ismail sehingga lebih cenderung menggunakan pengalaman Malaysia sebagai acuan dan seakan tidak mengindahkan pengalaman Afrika Selatan? Niscayanya, Saudara Taufiq Ismail memberikan dasar alasan nalar bagi acuan dan kecenderungan pilihannya untuk tercapainya "perdamaian total" secara sederhana di negeri kita. "Perdamaian total" yang beliau sarankan sendiri dengan gagah dan mantap sebagai lebih jauh dari penggalangan "rekonsiliasi". Saran yang perlu kita tagih bukti kongkret dari tindakan beliau sendiri agar saran mulia itu bisa terujud, paling tidak ada sumbungan nyata dari Saudara Taufiq Ismail dalam melaksanakannya. Aku sungguh-sungguh menagih tindakan nyata dari Saudara Taufiq Ismail jika kita masih punya harga diri dan menghargai kata. Tanpa keterangan lebih jauh, tanpa tindakan nyata , jika menggunakan istilah Saudara Taufiq Ismail sendiri, akan "santunkah", "indahkah", "waraskah" "perdamaian total", "memotong rantai dendam"kah, "ikhlas" kah usul Saudara Taufiq Ismail jika hanya tinggal kata-kata? Mengenai Afrika Selatan, apakah dalam pandangan Saudara Taufiq Ismail, masalah Afrika Selatan hanya sebatas masalah konflik antara kulit hitam dan putih? Apakah Saudara Taufiq Ismail tidak menyimak bagaimana orang di Afrika Selatan berusaha menggalang rekonsiliasi nasional? Tidak adakah konsepsi yang layak dipungut dari Afrika Selatan? Tidak adakah terlihat adanya syarat bagaimana rekonsiliasi di Afrika Selatan dilaksanakan dan bisa jadi acuan dalam menggalang ? Katakanlah bahwa masalah apartheid merupakan masalah utama pada suatu periode sejarah Afrika Selatan [lihat :buku-buku sejarah dan novel-novel penulis Afrikaners Afrika Selatan dalam berbagai versi, yang aku yakin juga disimak oleh Saudara Taufiq Ismail sebagai cendekiawan dan sastrawan. Sebagai sastrawan, tentu Saudara Taufiq Ismail mengenal sikap sastrawan-sastrawan Afrikaners] , yang terpenting di sini bagiku adalah bagaimana mereka menanggulangi masalah, apa-bagaimana syarat Afrika Selatan melakukan rekonsiliasi nasional tanpa menyebutnya "perdamaian total. Sekali lagi, dan lagi-lagi, aku sangat ingin mendengar keterangan dari Saudara Taufiq Ismail tentang Afrika Selatan yang beliau pandang terlalu jauh untuk dijadikan acuan dan juga tentang para sastrawan Afrikaniers seperti Nadine Gordimer, Doris Lessing, dua-duanya peraih Nobel Sastra, serta ANC [African National Congres], di mana Nelson Mandela tergabung dan dekat dengan Partai Komunis Afrika Selatan. Keinginan mendapatkan keterangan ini, bertolak dari harapan untuk sama-sama mewujudkan saran Saudara Taufiq Ismail sendiri, yang kukira tulus, guna mengejawantahkan "perdamaian total" di negeri kita. Barangkali dalam hal ini, pengalaman Afrika Selatan dan Malaysia, ada baiknya dipelajari dan dibandingkan. Sayang dan sekali lagi sayang, Saudara Taufiq Ismail tidak mengetengahkannya, tidak membandingkannya dengan jelas, sekali pun secara garis besar dan singkat. Padahal diperlukan untuk orang awam seperti diriku guna memahami alur pikir beliau. Apakah hal ini beliau sengajai? Sebab jika beliau membandingkannya, betapa pun hanya secara singkat dan garis besar maka duduk masalah akan relatif jadi gamblang. Jelas juga mengapa Saudara Taufiq Ismail memilih yang disebut rekonsiliasi model Malaysia. Barangkali.*** Paris, Juni 2009 ---------------------- JJ. Kusni, pekerja biasa para Koperasi Restoran Indonesia di Paris. [Bersambung.....]
Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now! http://sg.toolbar.yahoo.com/