SASTRA
FLP, Kritik, dan Gerakan Literasi

Pada Februari 2005, Musyawarah Nasional I Forum Lingkar Pena (FLP) 
diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta. Para peserta datang dari Aceh hingga 
Ternate. Hal terpenting dari Munas tersebut adalah terjadinya pergantian ketua 
umum. Bagi FLP, pergantian ini merupakan peristiwa penting, karena warna FLP 
diprediksikan akan berubah drastis. Hal ini mengingat ketua umum terganti Helvy 
Tiana Rosa (HTR), adalah patron sekaligus brand image yang begitu kuat bagi 
FLP. HTR adalah FLP, FLP adalah HTR. Sementara, ketua umum pengganti M. Irfan 
Hidayatullah (FLP Jabar), tidaklah demikian.

Berkenaan dengan itu, ada beberapa informasi tambahan. Pertama, sebetulnya 
semua anggota FLP masih menginginkan HTR, namun HTR bersikeras menolaknya. 
Kedua, penggantian itu sendiri bukan tanpa setting. HTR "mengondisikan" agar 
Irfan menjadi ketua, bukan Izzatul Jannah (FLP Jateng) atau Asma Nadia (Pusat), 
yang merupakan patron lain selain HTR. Kedua peristiwa ini diikat oleh satu 
benang merah, yakni bahwa HTR dan beberapa pentolan FLP yang lain menyadari 
betul bahwa patronisme itu berbahaya.

Satu hal lagi yang harus segera saya tambahkan bahwa pada mulanya kepengurusan 
FLP oleh Irfan, dibentuklah Divisi Kritik dan Litbang. Divisi ini dibentuk 
karena Irfan, sebagai akademisi sastra, menyadari bahwa kritik sastra harus 
segera ditradisikan di FLP, dengan harapan gerakan literasi ini akan lebih 
sehat. Untuk menunjang divisi tersebut, kawan-kawan FLP dari kalangan akademisi 
sastra pun direkrut. Sebagai tindak lanjut, divisi ini kemudian menjalin kerja 
sama dengan beberapa majalah Islam, seperti Annida dan Sabili berupa penyediaan 
kolom kritik sastra. Di tingkat daerah, bahkan FLP menjalin kerja sama dengan 
media-media lokal yang warnanya lebih umum, seperti Aceh Magazine, Batam Pos, 
dan Radar Bandung.

Selain itu, untuk menghentikan "pemanjaan" para penulis FLP oleh beberapa 
penerbit Islam, yang menyebabkan minimnya kompetisi dan berujung pada munculnya 
karya-karya religi picisan ala sinetron, FLP juga menggalakkan para anggotanya 
untuk ikut berjibaku dengan para penulis lain demi dimuat di media massa umum 
nasional. Upaya ini mulai dijajaki dan terus dikampanyekan. Hal itu, terbukti 
dengan munculnya semacam "serangan" terhadap media massa nasional selain 
Republika. Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Jawa Pos telah disambangi 
oleh para penulis FLP, seperti Alimudin (Aceh), Ade Efdira (Padang), Fitra Yogi 
(Padang), Palris Jaya (DKI), Zaenal Radar T. (DKI), Denny Prabowo (Depok), dan 
Wildan Nugraha (Bandung). Lebih jauh, diharapkan dari FLP akan muncul 
karya-karya berkualitas, bahkan dapat menjadi kanon bagi dunia kesusastraan di 
Indonesia.

Namun demikian, FLP tetaplah FLP yang dalam istilah Beni R. Budiman (alm.) 
adalah para "mualaf sastra". Artinya, FLP masih sangat perlu belajar dari para 
penulis senior. Maka, sejumlah sastrawan pun diminta untuk turut andil, baik 
intensif maupun insidental. Tersebutlah mereka, Taufik Ikram Jamil, Isbedy 
Stiawan Z.S., Ahmad Tohari, Agus R. Sarjono, Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, 
Ahmadun Yosi Herfanda, Maman S. Mahayana, Joni Ariadinata, Erwan Juhara, Soni 
Farid Maulana, dan banyak lagi.

Informasi ini penting karena masih ada beberapa pihak yang menilai keberadaan 
FLP dan karya-karyanya secara stereotip, bahkan mengarah pada gosip. Mereka 
hanya melihatnya berdasarkan helicoptre view, sehingga menyebabkan luputnya 
detail-detail dan dinamika objek yang dipandangnya.

Penilaian itu, diperparah dengan munculnya pemberitaan yang tidak komprehensif 
dari media sehingga membuat stereotivitas itu semakin kuat. Orang yang tadinya 
berkeyakinan bahwa FLP itu adalah komunitas sastra Islam yang barangkali sesuai 
harapannya, semakin yakin bahwa FLP itu memang demikian (beberapa waktu lampau, 
seorang wartawan senior memetakan dunia sastra Indonesia dengan terlampau 
simplistik, yakni "sastra pengusung moral" (HTR dan FLP) versus "sastra 
penghancur moral" (Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dll.). 

Pun sebaliknya, orang yang tadinya sudah berasumsi bahwa FLP itu mengerucutkan 
sastra Islam, kian yakinlah bahwa FLP memang demikian (milis Mediacare malah 
secara menggelikan menyebut FLP sebagai underbouw PKS). Orang pertama akan 
semakin yakin bahwa FLP adalah satu-satunya komunitas dan karya sastra Islam, 
sementara orang kedua semakin sinis dan gelisah. Keduanya, baik yang senang 
maupun yang gelisah, adalah keliru. Yang tidak keliru adalah menilai FLP dengan 
mekanisme studi, baik studi tentang ke-FLP-annya (historis-ekspresif, meminjam 
terminologi Abrams) maupun kekaryaannya (objektif).

Melani Budianta pernah melakukan studi objektif. Dia membaca beberapa karya 
FLP, kemudian mengkritisinya. Dia mengupas beberapa kekurangan teknis yang 
mendasar dengan menunjukkannya, misalnya membuat komparasi antara logika cerita 
dan fakta. Maman S. Mahayana pernah melakukan studi historis-ekspresif. Ia 
menilai bahwa FLP adalah salah satu bentuk perayaan terhadap komunitas literer 
yang akan turut memberikan sumbangsih pada kemajuan budaya literasi di 
Indonesia karena kemajuan, apa pun namanya dan siapa pun pelakunya, harus 
dicapai dengan langkah-langkah strategis.

Amien Wangsitalaja pernah membuat penilaian yang lebih spesifik dan berimbang. 
Dalam rangka melawan "sastra pizza" yang hendak menghegemonikan "ideologi 
estetika kelas" kaum perempuan yang suka bereksperimen dengan "kelamin" di 
dalamnya, model gerakan FLP sudah pas. Hanya saja, diperlukan gerakan serupa 
dengan perangkat dan modus operandi yang berbeda, komunitas dengan semangat 
serupa tapi mengusung karya universal, yang tidak hanya membidik segolongan 
spesifik pembaca dan tidak berparadigma hitam-putih dalam mendedah persoalan.

Setiap orang memang berhak mengkritik, tetapi setiap orang juga berhak menolak 
kritik karena tidak setiap orang dapat membuat kritik yang baik. 

Kritik

Secara umum, pengertian kritik tergolong pada dua hal, yakni "pengecaman" dan 
"pengupasan". Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 2002) mendefinisikan 
kritik sebagai "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan 
pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb." Kritik yang 
cenderung pada pengecaman adalah pengertian kritik di wilayah umum (pragmatik), 
sedangkan kritik yang cenderung pada pengupasan adalah kritik yang berada di 
wilayah khusus (diskursif).

Kritik di wilayah sastra (kritik sastra), sudah pasti merupakan kritik di 
wilayah diskursif. Maka dari itu, ia mesti bersifat ilmiah. Setidaknya, ia 
harus melewati beberapa tahap, mulai dari pembacaan (apresiasi), pemerian 
(definisi), pemilahan (klasifikasi), pengupasan (analisis), penilaian 
(evaluasi), dan penghakiman (justifikasi). Dalam satu simposium sastra akhir 
60-an tentang kritik dan esai, Gayus Siagian menyebutkan bahwa membuat kritik 
sastra "lebih sulit" daripada membuat esai. Pasalnya, dalam kritik sastra aspek 
ilimiah lebih condong ketimbang kreativitas. Maka, tak perlu heran jika 
nasibnya selalu memusingkan dan menyedihkan.

Selain tahapan-tahapan tersebut, ada satu langkah penting lagi dalam upaya 
membuat kritik sastra, yaitu soal pengolahan teori atau pendekatan. Bakdi C. 
Soemanto pernah mengatakan bahwa pendekatan "pinjaman" yang berasal dari 
kebudayaan yang sudah mantap, tidak bisa diterapkan begitu saja pada karya yang 
kebudayaannya masih belum mantap. Misalnya, semiotika Pierce tidak bisa begitu 
saja digunakan, untuk mengkritisi sajak-sajak Linus Suryadi A.G. atau Darmanto 
Jatman. Barangkali, karena itu pula, ketika ditanya tentang pendekatan apa yang 
digunakan untuk menganalisis aspek-aspek mistik dalam cerita-cerita klasik 
Sunda Si Kabayan, Jakob Sumardjo menyebutkan "semiotika lokal"; ia tidak berani 
menyebut semiotika Pierce atau Lotman. 

Bagaimana pula jika teori-teori "pinjaman" itu diterapkan pada karya-karya 
populer? Tentu butuh upaya yang lebih berdarah-darah lagi, untuk mengolah teori 
tersebut. Penerapan langsung teori terhadap karya-karya yang dinilai dari segi 
apa pun, masih jauh dari mantap itu hanya akan melahirkan kritik yang mentah, 
tidak mengena, jauh panggang dari api.

Estetika Resepsi a la Jaus akan terlampau mengawang jika diterapkan pada Ketika 
Mas Gagah Pergi. Kritik Sastra Feminis a la Spivak akan terlampau mengangkasa 
jika diterapkan pada Aisyah Putri. Kritik Sastra Marxis a la Adorno terlampau 
melangit jika diterapkan pada Ayat-Ayat Cinta. Oleh karenanya, jangankan 
terjadi penerapan, sekadar bersentuhan pun tidak.

Antikritik?

Dalam tulisan saya yang berjudul "FLP, Sastra Islam, dan Seni Rendah" 
("Khazanah", 15/12/07) yang ditujukan untuk menanggapi tulisan Kurniasih, 
"Wajah Sastra Islam" ("Khazanah", 3/11/07), saya menulis "alangkah lebih 
baiknya jika Anda mengkritisinya dengan penuh tanggung jawab dan apresiatif, 
yang tentu akan lebih berguna bagi si pengarangnya, sehingga di hari kemudian 
ia akan menghasilkan karya yang lebih baik lagi". Saya kira, Kurniasih dapat 
menangkap maksud saya dengan jelas, yaitu karya-karya FLP membutuhkan satu 
kritik yang berdasarkan metode, yang apresiatif, konstruktif. Maka saya sungguh 
heran, dalam tulisan yang ditujukan untuk menanggap-balik tulisan saya, "FLP 
dan Pendidikan Sastra" ("Khazanah", 26/01/08), Kurniasih malah menuduh saya dan 
FLP sebagai antikritik.

Lebih jauh, Kurniasih menuding kami sebagai bagian dari masyarakat kapitalistik 
yang materialis. Jika diakumulasikan dengan tuduhannya dalam "Wajah Sastra 
Islam", ia juga menyebut kami sebagai pihak yang telah mereduksi nilai-nilai 
Islam dan membodohi kaum muda Islam. Saya tidak tahu, sudah sejauh mana 
Kurniasih melakukan studi terhadap FLP, baik historis-ekspresif maupun 
objektif. Saya tidak tahu, sudah seberapa banyak informasi tentang keberadaan 
dan dinamika FLP yang didapatnya dan sudah sebanyak apa karya-karya FLP yang 
dibacanya. Sudahkah ia melakukan studi tentang pengaruh karya-karya tersebut 
terhadap masyarakat pembacanya (pragmatik)? Jika tidak, apakah tidak wajar 
kalau saya menyebut tudingan-tudingan yang disebutnya sebagai "kritik" itu 
sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab?

Kembali menyoal "Wajah Sastra Islam", Kurniasih 'mengkritik' Ayat-Ayat Cinta 
sebagai gerakan industrialisasi. Bukan soal terima atau tidak terima untuk 
dikritik yang saya masalahkan, melainkan metode kritik itu sendiri. Saya 
melihat Kurniasih banyak mencomot "Maklumat Sastra Profetik" Kuntowijoyo. 
Kemudian, dia mengutip secuil pemikiran Adorno. Terakhir, dia menggunakan 
istilah milik Hawe Setiawan untuk menghakimi. 

Saya tidak melihat satu pun argumentasi atau alasan Kurniasih dalam tulisan 
tersebut, karena semuanya adalah "pinjaman". Saya pun tidak melihat adanya 
apresiasi ataupun pengolahan teori. Saya tidak melihat tulisan Kurniasih 
sebagai kritik sastra. Saya tidak melihatnya seperti Sapardi menulis tentang 
sajak-sajak Rendra, tidak seperti B. Rahmanto membahas novel-novel Y.B. 
Mangunwijaya, Yudiono K.S. mengupas Ahmad Tohari, Samuel Taylor Coleridge 
mengkritisi puisi-puisi William Wordsworth, atau Lytton Strachey menganalisis 
drama-drama Shakespeare dan Homer (mungkin juga tidak seperti Chinua Achebe 
menjabarkan Heart of Darkness Joseph Conrad).

Namun, dalam kondisi tulisannya yang seperti itu, Kurniasih masih begitu 
percaya diri menyebutnya sebagai "kritik" dan "pemikiran yang mendalam". 
Padahal, saya tidak melihat adanya upaya yang berdarah-darah di dalamnya. 
Jangankan berdarah-darah, sekadar berkeringat pun tidak. Daripada menimbulkan 
pemerkosaan terhadap teori dan penilaian yang timpang, kritik yang mentah 
sebaiknya tidak dulu dipublikasikan!

Tidak ada yang meremehkan chiklit dan teenlit. Tidak ada! Saya jelas-jelas 
menyebutkan bahwa "chiklit dan teenlit itu perlu `dilawan` karena.". Artinya, 
saya dan kawan-kawan di FLP sama sekali tidak menganggap remeh, justru 
sebaliknya (kalau remeh, untuk apa dilawan?). Toh kehadiran karya-karya FLP 
tidak akan sampai menggeser, apalagi mengeliminasi, karya-karya Icha Rachmanti, 
Raditya Dika, Agnes Jessica, Fira Basuki, Alberthiene Endah, atau Clara Ng. 
Jadi, tak perlu sungkan untuk mengonsumsinya tanpa perlu merasa terganggu oleh 
"cangkokannya". 

Siapa pula yang terganggu oleh hierarki? Tuhan mengabarkan dalam Alquran dan 
telah terverifikasi secara eksak bahwa langit dan bumi itu terdiri atas tujuh 
lapisan. Tak hanya yang eksak, perkara gaib pun demikian: surga dan neraka 
terdiri atas tujuh tingkatan. Saya juga bekerja di salah satu perusahaan yang 
sistemik dan terdiri atas hierarki-hierarki. Sebagai makhluk Tuhan yang teramat 
rendah dan sebagai karyawan biasa, tentu saya sadar hierarki itu ada dan tidak 
perlu merasa terganggu olehnya. Saya merasa terganggu jika ada pihak yang satu 
mengkritisi pihak lain secara tidak berimbang, di mana pun itu (saya tak lagi 
menggunakan istilah "elite" karena sangat mudah dimanipulasi). 

Gerakan literasi

Seperti halnya Kurniasih mengibaratkan sastra Islam, sebagai satu wajah, saya 
pun dapat mengumpamakan FLP demikian. FLP adalah satu wajah di antara 
wajah-wajah komunitas literer lainnya. Dalam konsep wajah menurut 
Konfusianisme, wajah (mianzi) memiliki empat sifat dasar, yakni relasional, 
komunal/sosial, hierarkis, dan moral. Dalam konteks komunal, wajah adalah 
perisai yang dapat melindungi seseorang dari berbagai kemungkinan "serangan" 
dan cercaan warga masyarakat lainnya terhadap perilaku pemiliknya. Bagaimana 
pun kondisinya, orang tidak boleh kehilangan wajahnya. Jadi, bersikap defensif 
adalah sesuatu yang teramat wajar dan tidak lantas dicap antikritik. 

Benar apa yang dikatakan Kurniasih bahwa dunia literasi kita tengah terpuruk. 
Maka, sebagai sesama pecinta dunia literasi Indonesia, mari kita bersinergi 
membenahinya sedikit demi sedikit. Mari kita berjalan beriringan walau tidak di 
jalan yang sama tanpa saling menggelisahkan satu sama lain. Mari kita saling 
mengkritisi dalam kerangka studi, tidak sekadar pada kecaman.

Terlepas dari standar estetik yang masih rendah dan kapitalisasi yang masih 
membayanginya, Forum Lingkar Pena telah berhasil menjadi gerakan literasi dari 
kota-kota besar hingga ke pelosok-pelosok Nusantara, yang sebagian besar 
penduduknya merupakan masyarakat praliterasi. Untuk memperluas dan memperkaya 
gerakan tersebut, mampukah forum yang lain melakukan --meminjam istilah Amien 
Wangsitalaja-- "gerakan serupa, namun dengan modus operandi yang berbeda" 
sehingga kemajuan dunia literasi Indonesia tidak sekadar angan-angan yang 
diperpanjang tanpa langkah-langkah strategis? Kita tunggu saja.***

Topik Mulyana
Pegiat FLP Bandung, 
editor di Penerbit Sygma Examedia Arkanleema

Penulis: 
Back 

http://newspaper.pikiran-rakyat.co.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=12981

Kirim email ke