Setelah 20 tahun lebih meninggalkan gelanggan teater, kini Teater
Dinasti mencoba memabngun serpihan-serpihan semangat yang masih
tersisa. Ditandai dengan Pntas kebahgiaan keluarga teater Dinasti
yang mementasakan 'Tikungan Iblis' karya Emha Ainun Nadjib, keluarga
teater Dinas juga ingin mengumpulkan kembali anggotanya yang telah
berserak dimana-mana. Acara yang diberi tajuk 'KUMPULE BALUNG PISAH'
akan diselenggarakan pada :
Hari/Tanggal : Jum'at, 22 Agustus 2008
Tempat       : Lobby Concer Hall Taman Budaya Yogyakarta
Acara        : Reuni warga teater Dinasti
(acara ini terbuka bagi siapa saja yang pernah/belum punya interaksi
budaya dengan Teater Dinasti. 
Konfirmasi bisa kepada GODOR WIDODO 085643189218)


Ikut Menggundang
- Fajar Suharno
- Fauzi Rijal
- Emha Ainun Nadjib
- Halim HD
- Indra Tranggono


Teater Dinasti penting untuk dibicarakan dalam konteks pertumbuhan
dunia teater di Yogyakarta. Teater yang lahir pada tahun 1977 ini
memiliki beberapa karakter khas dan unik.Bagi Teater Dinasti, manusia
adalah makhluk yang memiliki berbagai kemungkinan untuk dikembangkan.
Potensi manusia akan muncul jika manusia memiliki kepribadian. Maka
mengolah kepribadian menjadi sangat penting dan mendasar. Pengolahan
kepribadian akan mengantar manusia kepada inti-inti nilai kehidupan:
tanggung jawab, kemandirian, kejujuran, ketulusan, kerja keras,
integritas, kecerdasan intelektual/spiritual, sikap sosial, kritis,
sikap objektif, toleransi, idealisme dan lainnya. Semuanya itu menjadi
modal penting bagi manusia dalam memasuki proses 'menjadi' (to be)
sesuatu (dari nothing ke something).
Di sinilah pentingnya Teater Dinasti: teater disikapi menjadi sekolah
kehidupan atau workshop (bengkel kerja) kehidupan di mana jiwa,
mental, pikiran dan kesadaran manusia dibangkitkan dari kondisi dan
situasi yang dipenuhi hal-hal yang artifisial (semu), penuh tipu daya,
dekaden, disoriented, tak berdaya dan lainnya. Saya kira, prinsip dan
metode pengolahan ini masih relevan untuk dikembangkan hingga kini
dalam jagat teater, bahwa ada nilai signifikan dan mendasar yang
diperjuangkan dalam berteater. Yakni human dignity (martabat manusia);
sebuah persoalan yang menjadi tema besar sejak masa pergerakan,  masa
kemerdekaan, hingga awal tahun 1980-an, baik dalam sastra, teater,
politik maupun bidang kehidupan lainnya.
Kedua, dalam hal orientasi budaya dan estetis. Dinasti memilih
nilai-nilai budaya tradisi (Jawa) yang direvitalisasi. Artinya,
Dinasti tidak mencomot begitu saja budaya tradisi dari laci masa
silam, melainkan melakukan tafsir ulang sekaligus memberi daya hidup
'baru' sehingga selalu aktual.
Orientasi pada budaya tradisi Dinasti turut mempengaruhi perkembangan
teater berikutnya, misalnya dalam bentuk teater sampakan (istilah
penyair Kirjomulyo) antara lain lewat Gandrik yang ditulangpunggungi
oleh beberapa anggota Dinasti: Jujuk Prabowo, Novi Budianto, Butet
Kartaredjasa, Saptaria Handayaningsih (almarhumah) dan Neneng
Suryaningsih, selain beberapa teaterawan yang bukan anggota Dinasti:
Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Djaduk Ferianto, Sepnu dan lainnya.
Sadar atau tidak, keterlibatan Jujuk, Novi, Butet dalam Dinasti ikut
mempengaruhi pertumbuhan Gandrik. Dan hal ini sangat wajar. Apalagi,
pada masa  awal Gandrik berdiri, Fajar Suharno (sutradara Dinasti)
terlibat di dalamnya, antara lain sebagai penulis naskah.
Ketiga, dalam muatan nilai, Dinasti memilih tema-tema sosial, budaya
dan politik yang menjadi persoalan kehidupan masyarakat (baca:
membumikan teater). Upaya ini tercermin pada pilihan lakon-lakon yang
dipanggungkan, antara lain Dinasti Mataram (karya Fajar Suharno),
Raden Gendrek Sapu Jagat (Gajah Abiyoso dan Fajar Suharno), Geger Wong
Ngoyak Macan (karya Emha, Fajar dan Gadjah Abiyoso), Patung Kekasih
(Emha, Fajar dan Simon Hate), Topeng Kayu (Kuntowijoyo) dan
Umang-umang (Arifin C Noer), Sepatu Nomer Satu (Agus Istianto dan
Simon Hate). Pementasan Dinasti selalu sarat kritik sosial. Sehingga
sempat mengalami pelarangan pentas di Yogyakarta pada tahun 1980-an
(Patung Kekasih dan Sepatu Nomer Satu). Pelarangan ini menimbulkan
protes keras dari para budayawan, antara lain Mochtar Lubis.

Kirim email ke