Arief Zulkornen, Tukang
Jahit Kitab dari Kampung Mercon

 

Tetap Bertahan Melestarikan
Tradisi Penjilidan Manual

 

JOMBANG – Di tengah industri
penjilidan ala modern, sosok Arief Zulkornen merupakan keajaiban kecil di
tengah gemuruh industri di Jombang yang umumnya berorientasi pada keuntungan
besar. “Saya hanya melakoni wasiat abah saya untuk terus melanjutkan usaha
penjilidan ini,” demikian tuturnya, pada Senin sore, 25 Agustus 2008. Bapaknya,
Pak Zulkornen yang kelahiran 1956 di Rembang itu, semula nyantri di Pondok
Tebuireng pada jaman Gus Kholik (kakak Kiai Yusuf Hasyim), putra KH. Hasyim
Asy’ari. Kemudian ia menikah dan menetap Kampung Keras, Desa Keras, Kecamatan
Diwek.

 

“Sebelumnya, bapak saya belajar
pada Pak Halimi. Tapi orang yang paling awal memulai penjilidan manual ini
adalah Pak Dawam, santrinya Mbah Hasyim,” tambah Arief yang menekuni bidang
unik ini sejak 1993, di usia 17 tahun. Usaha bapaknya dimulai tahun 70-an
sampai 2005. Order Pak Zul, semula dirintis dari pondok ke pondok, karena relasi
belum luas. Seperti dari Pondok Gontor sampai Mojokerto, Lirboyo hingga hampir
pelanggannya pernah dari seluruh Jawa Timur. Waktu itu ia sempat dibantu
adiknya, Kamaluddin. “Dulu pernah abah punya 4 karyawan, setelah dapat order
dari Kiai Zainal dari sebuah pesantren di Ngoro, dengan orderan sekitar 100
jilidan sebulan, mulai tahun 80-an sampai 1997. Mereka pesan nyetak Al-Qur’an
ke Penerbit Toha Putra dalam bentuk sudah jahitan, lalu diserahkan pada kami
untuk dijilid,” kenang Arief sembari memandangi foto abahnya di dinding ruang
tamunya. Sementara order jilidan terbanyak dari para santri di sekitar
Tebuireng.

 

Usaha ini kemudian agak merosot di
tahun 1995 hingga 1997, ketika penjilidan modern mulai berkembang pesat.
Terlebih pada 2005, saat Pak Zul meninggal dan Arief musti meneruskan amanatnya
tersebut.

 

Proses penjilidan manual ini
kelihatannya sederhana. Tapi hasilnya cukup memuaskan. Jahitan manual dapat
diuji dan lebih kuat serta tahan lama puluhan tahun dibanding hasil jilidan
pada umumnya. Juga cara penyampulan dan pengelemannya. Yang pasti hasil
kerjanya lebih indah dan cantik serta membikin pembaca kian mencintai buku yang
sebelumnya robek-robek atau mbrodol.
Arief melayani mulai dari penjilidan buku, kitab, majalah, dan koran. Caranya 
pertama: diurutkan
nomornya, dijahit, dilem, dikeringkan, dipotong, lalu dirapikan. Rincian
bahannya: karton, kertas, lem rajawali, benang bol, dan lem latex. Sementara
alat-alat yang digunakannya berupa gunting kuno, pres besi lawas, penjepit
antik, gaman pemotong, bor baja pilihan, pisau penghalus, dan jarum penjahit.

 

Saat ini langganan yang terbilang
tetap ada dua: H. Syafiq Munawwar (dari Perpustakaan Darul Ilmi Ponpes
Al-Munawwar Sidayu Gresik); Perpustakaan Ponpes Wahid Hasyim Tebuireng yang
sejak 20-an tahun lalu dipasrah-kelolakan pada Pak Zainal dan dibantu oleh Mas
Tamrin. “Pernah ada juga yang njilid ke sini, sekitar tahun 1998, yaitu 
perpustakaan
KUA Kertosono. Karena, kata mereka, hasilnya bagus sekali. Terbukti kemudian, 
KUA
ini memeroleh juara tingkat karesidenan Kediri.
Hingga kepala KUA-nya saat itu di-haji-kan. Sejak itu, hampir seluruh KUA Kota 
Kediri juga njilid ke
sini,” papar Arief.

 

Harga penjilidan tergantung
ukurannya. Rata-rata, untuk ukuran koran 20 ribu, majalah 15 ribu, dan buku 13
ribu. Ketika ditanya kenapa ia masih berkeyakinan untuk tetap meneruskan usaha
ini, ia menjawab, “Jilid-menjilid itu merupakan karya seni. Nilai artistiknya
ya pasti kepuasan yang susah diungkapkan. Dari sesutu yang amburadul menjadi
rapi kembali. Pelanggan puas, saya bahagia. Intinya, memuaskan orang itu kan 
juga berpahala.”

 

Ia juga pembaca berat semua jenis
buku. Bahwa yang njilid di tempatnya berasal dari berbagai macam orang dalam
bentuk jenis buku yang berbeda-beda pula. Ia bercerita soal pengalaman abahnya,
“Pas jamannya abah, ada orang suruhan Kiai Syamsuri dari Tebuireng untuk
menjilidkan kitabnya. Beberapa jilid kitab kuning, cetakan Penerbit Beirut,
lawas sekali. Isinya tentang tafsir, seingat saya. Kitab tersebut katanya waktu
itu seharga seekor kambing.”

 

Pengalaman Arief yang paling
berkesan adalah ketika datang order jilidan berupa akte nikah dari jaman
Belanda, ejaan lama, dari kantor KUA Kertosono. “Masya Allah, susahnya 
amit-amit,
saya keringetan pas njilidnya. Soalnya kan
kertasnya sudah sangat tua. Jadi motongnya harus hati-hati sekali,” ceritanya
bersemangat sambil menyruput kopi-jahe panasnya. Dalam lima bulan belakangan ia 
menerima order cukup
menumpuk dari seorang penulis asal Mojokuripan berupa buku-buku sastra lawas,
naskah Jawa kuno, komik-komik, dan cerita silat. Uniknya, penulis ini, saking
salutnya, seringkali langsung bayar sebelum jilidannya selesai.

 

Ia berharap dapat terus ngopeni penjilidan ini, entah sampai
kapan. Ia pun membayangkan usahanya dapat lebih maju dan berkembang plus
bertambah langganan. “Sebenarnya butuh rekan satu atau dua. Tapi saya belum
bisa bayar secara pantas. Dan keterampilan ini kan butuh kesabaran dan 
ketelatenan. Jadi
jarang ada yang mau gabung. Yang belum bisa saya punya cuma mesin potong besar.
Ya, agar tidak riwa-riwi ke kota Jombang untuk motong,”
begitu pungkasnya.  

(Liputan: Fahrudin Nasrulloh,
Komunitas sastra Lembah pring, Jombang, 081 57 81 77 671, email:
[EMAIL PROTECTED])

 




      

Kirim email ke