Cak
Sampirin : Pelawak Ludruk dari Jombang Wafat

 

Ramadan yang meriah seolah tiba-tiba
langit bermendung dan derai tangis melantun ritmis, saat tersiar kabar bahwa
Cak Sampirin, pelawak ludruk dari Jombang itu, meninggal pada Rabu, 23
September 2008. Di hari yang terik itu, sekitar pukul 1 siang, ia mengembuskan
nafas terakhirnya setelah berhari-hari tak kuasa bertahan dari sesak napas dan
liver yang dideritanya. Ia dimakamkan hari itu juga pada pukul 5 sore di Dusun
Kendil Wesi. 

 

Siapakah Cak Sampirin? Orang-orang lebih
akrab mengenalnya dengan sebutan Cak Worin. Ia lahir pada 3 Mei 1955, di Dusun
Kendil Wesi, Desa Pulorejo, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Perjalanan
karirnya di dunia ludruk diawali ketika ia bergabung di grup ludruk Masa Baru 
pada
era 70-an. Kemudian bergabung di Kartika Jaya tahun 80-an. Sempat mendirikan
grup ludruk Mustika Jaya dan Mustika Putih bersama Cak Wito Kantot. Pernah juga
ia nobong bareng dengan grup Warna Jaya Jombang. 

 

Menurut Cak Jamil (seorang seniman ludruk
Jombang yang kerap berperan sebagai aktor laga) ketika diwawancarai Tim
Banyumili Networks, ia mengungkapkan kesedihannya, “Kami benar-benar sangat
kehilangan beliau. Bagi kami beliau itu panutan. Sesepuh. Ia adalah pelawak
ludruk dari Jombang yang pantas dihargai dan dikenang dedikasinya. Yang selalu
saya ingat waktu ia nglawak adalah: ia paling sering ngepur (keluar
pertama saat ndagel). Tidak semua pelawak yang ngepur punya kepiawaian
dalam membuka gojegan sebelum njedul pelawak lainnya. Dan gaya ngidung cengkokan
(lirik)-nya itu merupakan ciri khas beliau.”

 

Kenangan yang terus berjejak tiada putus
dari Cak Worin yang terkenal adalah bahwa setiap pentas yang isi ceritanya ada
acara kendurenan (hajatan), ia pasti yang ditunjuk sebagai kamituo
(sesepuh kampung) yang memberi uro-uro (nasihat bijak) yang diplesetkan.
Seperti: Lha menika kajate tuan rumah dipun tujoaken dumateng cikal bakale
sing mbaurekso deso niki, nggih sing biasane ngakali bakul cikalan niku
(Lha ini adalah hajatnya tuan rumah yang ditujukan pada orang yang pertama kali
membuka pemukiman desa ini, yaitu orang yang biasanya mencurangi tukang jualan
kelapa itu). Demikian kenang Cak Supali, meski ia belum pernah nglawak
bersamanya.

 

Abdurrahman, sebagai anak mantu Cak Worin,
merasa bangga dan mendukung sang mertua dalam berkesenian ludruk. Ia
mengisahkan kesannya saat suatu hari ia diceritai secuplik pengalaman dari sang
mertua, “Saya agak lupa kapan peristiwa ini terjadi. Mungkin sekitar tahun
70-an. Alkisah, pada waktu mau nglawak bareng dengan Cak Bari (dari Kabuh), Cak
Worin kebelet berak. Kebetulan di sekitar panggung pertunjukan ada
sungai yang lumayan besar arusnya. Ia pun pamit tergesa-gesa. Selesai berak, ia
balik ke panggung untuk bersiap-siap mentas. Tak tahu kiranya, saat itu
Cak Worin kelihatan bengong sambil nyangkluk (mengalungkan) sarungnya.
Cak Bari spontan nyemprot (menegur) padanya karena penonton sudah
berteriak-teriak bahwa Cak Worin nggak nongol-nongol juga. Cak Bari
mendekatinya sambil mendelik, ia bersungut-sungut seperti tiba-tiba kerasukan
bau tak sedap. ‘Kamu sudah berak apa belum sih?’ tanya Cak Bari dengan berang.
‘Sudah! Tuntas pol,’ jawab Cak Worin lega seraya membenahi celana kolornya yang
kedodoran. Jebule (ternyata), setelah manggung, konco-konco Cak Worin
pada muntah-muntah campur mumet (pusing) sehabis menemukan sekepal tahi nyantol
(tersangkut) di balik gulungan sarung Cak Worin. Sejak itu, cerita ‘tahi
nyantol sarung’ ini jadi riwayat tutur yang melekat erat dalam ingatan kaum
seniman ludruk Jombang.” Cerita ini, sambung Abddurrahman, dituturkan Cak Worin
pada tahun 2000. Cak Supali pun membubuhi bahwa cerita itu lama sudah menyebar
di grup-grup seniman tradisional di kawasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.

 

Cak Worin memang dikenal di kalangan
seniman dan pelawak Jombang memiliki kepribadian yang low profile,
bijaksana, sederhana, ngemong, guyub, dan dianggap sebagai salah satu
sesepuh atau senior seniman ludruk di Jombang. 

 

Selain cengkokan-nya yang menjadi
ciri khasnya kala ngidung, gagasan-gagasan Cak Worin demi memajukan dunia
perludrukan juga patut dicatat dan menjadi bahan renungan bersama.
Kepribadiannya yang ngemong konco (mengarahkan pada hal-hal yang baik),
supel meski pendiam, ia juga menularkan semacam laku hidup bagi oran g-orang
yang benar-benar menekuni seni ludruk agar tidak gampang menyerah, terus
mengolah kreatifitas, sabar, dan tidak tergoda untuk mengejar publisitas dengan
cara serampangan dan tidak bermartabat. Ia juga bermimpi setiap grup ludruk
yang akan pentas tidak lagi uyel-uyelan (berdesak-desakan) di bak truk,
tapi ia berharap grup ludruk suatu saat punya transportasi sendiri yang layak,
semisal bis mini, sehingga konsentrasi di kala manggung dapat terjaga
kualitasnya.

 

Tentulah, meninggalnya Cak Worin akan
menyisakan tilas kenangan panjang yang berliku, baik yang pahit maupun yang
manis, bagi para seniman ludruk, terutama seniman ludruk Jombang yang di saat
wafatnya hampir semuanya bertakziah. Bahkan yang dari luar Jombang pun juga
banyak yang berdatangan. Ia meninggalkan seorang istri (Bu Nurul), 2 laki-laki,
1 perempuan, dan seorang cucu. 

 

Ia dimakamkan kira-kira 200-an meter di
sebelah utara rumahnya, di sebidang tanah bergunduk tinggi miliknya sendiri di
mana makam itu termasuk area persawahan kampung Kendil Wesi. Semoga jasa-jasanya
senantiasa bisa dikenang, dan segala pengabdiannya pada Tuhan dan di dunia
perludrukan mendapatkan balasan yang sepadan dan berlipat. Amin! Selamat jalan
Cak Worin!  

Liputan:Jabbar Abdullah




      

Kirim email ke