JAWA POS Jum'at, 03 Oktober 2008 
 

  



  




  Opini 




[ Jum'at, 03 Oktober 2008 ] 
Bangkitlah Bangsa Berbudaya 
Tinggi 

Oleh Viddy A.D. Daery * 


SAYA akan ke Malaysia lagi, memenuhi undangan Dewan Bahasa 
dan Pustaka (DBP) Malaysia untuk mengikuti Seminar Internasional Pantun dan 
Syair Tradisional. Kalau kita perhatikan, Malaysia terlalu sering mengadakan 
seminar internasional, apalagi nasional, yang membahas (dalam rangka 
menguri-uri) kebudayaan tradisional mereka.

Bandingkan dengan 
Indonesia yang justru 99 persen sering menyelenggarakan seminar politik dan 
hukum serta hanya 1 persen menghelat seminar kebudayaan. Itu pun kebanyakan 
kebudayaan modern yang cenderung dipengaruhi oleh paham neoliberalisme 
Barat.

Tragedi Arca Kuya 

Karena itu, sampai saat ini, 
apalagi zaman reformasi yang dekaden, Indonesia menjadi kisruh oleh perdebatan 
hukum dan perkelahian politik. Sebab, bagi masyarakat Indonesia, faktor 
kebudayaan dianggap barang usang yang tak berharga atau cuma dihargai sebagai 
benda rombeng murahan. 

Karena itu, tragedi terbesar justru baru saja 
terjadi. Yakni, dicurinya batu purbakala peninggalan Kerajaan Tarumanegara abad 
IV atau V Masehi seberat 6 ton secara terang-terangan dari lokasi situsnya di 
hutan lindung Haur Bentes, Desa Pasir Madang, Kecamatan Sukajaya, 
KabupatenBogor, Jawa Barat. Batu yang dikenal dengan nama Batu Kuya tersebut 
diangkut 
menggunakan kontainer dan ditonton oleh masyarakat. 

Itu tragedi bangsa 
paling menohok akal sehat di samping ribuan tragedi lainnya yang berlangsung 
tiap hari di Indonesia.

Padahal, dunia menghargai dan menghormati 
Indonesia bukan karena prestasi ekonomi, olahraga, apalagi politik, melainkan 
kekayaan budaya yang adiluhung alias masterpiece.

UNESCO 
memasukkan wayang dan keris Indonesia sebagai masterpiece dunia atau 
intangible cultural heritage atau warisan budaya 
nonbenda. Konvensi untuk melindungi warisan budaya tak benda oleh UNESCO 
kemudian diratifikasi Indonesia menjadi PP No 78/2007. Terhitung sejak 15 
Januari 2008, Indonesia berhak menjadi negara anggota badan PBB tersebut. 
Termasuk, berhak menominasikan mata budaya untuk dicantumkan dalam daftar 
warisan budaya yang membutuhkan bantuan UNESCO. 

Kini, batik 
Indonesia juga sedang diajukan untuk diakui oleh UNESCO sebagai warisan 
masterpiece dunia. Namun, di pasar grosir terbesar Indonesia, Tanah 
Abang, Jakarta, telah beredar batik kodian bikinan Tiongkok!

Namun, 
sampai detik ini, selain langkah meratifikasi penghargaan UNESCO, pemerintah 
maupun masyarakat Indonesia malah terkesan kurang menghargai kekayaan budaya 
sendiri dalam arti seluas-luasnya, selain hanya memanfaatkan kebudayaan sebagai 
barang dagangan dan objek pemerasan devisa.

Departemen Kebudayaan dan 
Pariwisata (Depbudpar) tak mengurangi keluhan masyarakat yang peduli budaya 
terhadap kenyataan telantarnya banyak sekali warisan budaya di seluruh tanah 
air. Pada gilirannya, ketika negara lain justru memanfaatkan berbagai seni 
budaya yang ditelantarkan tersebut, barulah masyarakat Indonesia 
meradang.

Bahkan, RUU Pajak Penghasilan (PPh) yang sedang digodok oleh 
DPR bersama pemerintah tidak sudi memasukkan unsur budaya sebagai bidang yang 
layak mendapatkan insentif pajak.

Di tengah suasana suwung (kosong, 
hampa) yang dirasakan oleh bangsa Indonesia karena telantarnya kebudayaan 
Indonesia, yang diperlukan adalah penyegaran pola pikir dan sikap hidup. Sebab, 
peran unsur budaya sangat besar. Sayang, hal-hal tentang budaya sejauh ini 
tidak 
tertangani dengan baik. Karena itu, dibutuhkan upaya lebih serius untuk 
mengelolanya.

LSM Kebudayaan

Maka, dalam Sarasehan 
Budaya untuk memperingati Kongres Kebudayaan Pertama di Sala pada 5 Juli 1918, 
yang diselenggarakan oleh Paguyuban Puspo Budoyo dan Sekar Budaya Nusantara 
bekerja sama dengan RRI di Studio B RRI Jakarta Sabtu 5 Juli 2008, 
muncul ide bahwa LSM nasional yang memperjuangkan harkat dan derajat kebudayaan 
Indonesia yang adiluhung sudah amat mendesak untuk dibentuk. Akhirnya, 
disetujui 
pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia atau FKI atau Forbud.

Sejumlah 
pembicara dari berbagai latar belakang mengangkat seriusnya kemunduran atau 
kekurangan bangsa Indonesia. Ketua Lembaga Studi Kapasitas Nasional Hartojo 
Wignjowijoto mencetuskan istilah "suasana suwung" yang menyiratkan tiadanya 
nyawa atau perasaan di tengah bangsa ini.

Dalam sarasehan yang dipandu 
Parni Hadi tersebut, ikut pula menyampaikan pandangan Men PAN Taufiq Effendi 
yang menyebutkan pentingnya pembangunan karakter bangsa. Menurut Men PAN, kalau 
karakter yang menjadi modal dasar itu buruk, ibaratnya membuat hidangan, sulit 
membikin kue yang enak karena tepungnya apek dan santannya basi. Dia 
menyebutkan 
contoh budaya (kebiasaan) buruk, seperti suka menyalahkan pihak lain dan susah 
melihat orang lain senang.

"FKI itu semacam KONI di olahraga, bukan 
partisan, nirlaba, swadaya masyarakat, namun menjadi mitra pemerintah untuk 
menyinergikan potensi dan aktivitas budaya di masyarakat tanpa menghilangkan 
identitas atau keberadaan organisasi budaya yang bersangkutan," kata Luluk yang 
sehari-hari merupakan petinggi Departemen Energi dan Sumber Daya 
Mineral.

Meski sempat dipertanyakan efektivitasnya oleh tokoh budaya 
Betawi Ridwan Saidi, rancangan deklarasi pendirian forum tersebut akhirnya 
ditandatangani oleh sebagian besar peserta.

Konsepnya, FKI merupakan 
forum bersama untuk seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki kesadaran akan 
kekayaan kebudayaan Indonesia yang tak ternilai. FKI bertujuan menghimpun 
segenap potensi budaya Indonesia. Pada gilirannya, forum itu akan mampu secara 
positif dan konstruktif mendorong kemajuan kebudayaan Indonesia dengan segenap 
aspek peningkatan dan kesatupaduan dalam khazanah keindonesiaan.

*. 
Viddy A.D. Daery , tim ahli analis media di Depkominfo. 





      
___________________________________________________________________________
Dapatkan situs lowongan kerja - Yahoo! Indonesia Search.
http://id.search.yahoo.com/search?p=lowongan+kerja&cs=bz&fr=fp-top

Kirim email ke