Radar Tulungagung [ Rabu, 29 Oktober 2008 ] Kerajinan Ekspor Orok-Orok Kota Blitar, Hadapi Badai Krisis Global Bermodal Kepercayaan, Minta Showroom Penarik Wisatawan
Krisis finansial yang dialami negara maju, juga membawa dampak kekhawatiran bagi perajin orok-orok atau kendang mini di Kota Blitar. Pasalnya, kerajinan ini pemasarannya sudah tembus pasaran luar negeri. Aziz Wahyudi, Radar Blitar ------------ Menelusuri kampung Kelurahan Ngadirejo, Kecamatan Kepanjenkidul, terasa beda. Mayoritas warga yang memiliki sisa ruang di teras rumah dipenuhi dengan tumpukan kayu. Potongan kayu berukuran paha orang dewasa tersebut ditata rapi secara bolak balik. Ada yang sudah dipolitur, ada juga yang masih berupa kayu utuhan. Kayu tersebut merupakan bahan kerajinan orok-orok. Disebut orok-orok karena ketika dibunyikan berbunyi seperti orok-orok. Bentuknya seperti kendang kecil dan di tengahnya dipasang tali. Untuk memainkannya dengan cara diputar. Andri Susanto merupakan pemuda yang kreatif. Dia bersama dengan pamannya, Solikin, mencoba memanfaatkan kayu menjadi barang berharga. Bahkan, diakuinya produksinya sudah tembus pasar Eropa dan Jepang. Orok-orok digunakan sebagai souvenir dan hiasan ruang tamu. Awal bisnis ini dijalani ketika mendapati kampungnya banyak mahoni. Hampir sebagian warga yang memiliki pekarangan ditanami mahoni. "Di sini kan perbatasan dengan Kabupaten Blitar, atau Nglegok. Makanya banyak tanaman mahoni," kata pria berusia 32 tahun ini. Mengapa dirinya memilih orok-orok dibanding dengan kendang? Dia bersama Solikin yakin kalau prospeksnya sangat bagus. Usaha semakin berkembang ketika ada distributor yang bersedia membeli hasil karyanya. Akhirnya, berbekal modal utang, Solikin mulai membuat orok-orok. Cara pembuatannya pun mudah. Kayu mahoni yang sudah dibentuk dibor listrik. Selanjutnya dihaluskan dan dilubangi seukuran pulpen. Sementara penempelan kulit atau kendang dipercayakan kepada temannya. Rata-rata sebulan bisa memproduksi hingga 10 ribu buah lebih. "Butuh ketelatenan untuk membuat orok-orok," katanya lagi. Untuk satu orok-orok dihargai Rp 500. Padahal kalau sudah dijual di Bali harganya bisa sampai Rp 3 ribu, bahkan Rp 5 ribu. Sementara di luar negeri dijual Rp 20 ribu. Beberapa waktu lalu, Solikin sempat ketir-ketir. Itu karena terjadi iklim ekonomi yang melanda sebagian Eropa atau yang lebih dikenal dengan krisis global. Untungnya, berkat kepercayaan produk kerajinannya berusaha tetap eksis. Pesanan pun tetap mengalir. "Modalnya kepercayaan itu saja," tambahnya lagi. Sebenarnya dia menginginkan usahanya lebih besar lagi. Terlebih jika melongok hasil karyanya ketika dipoles lebih bagus lagi harganya bisa berlipat. Keterbatasan modal serta minimnya pengetahuan pemasaran menjadi permasalahan. "Dari dulu ya cuma membuat saja," keluhnya. Dia berharap produk-produk asli Kota Blitar dipajang di tempat atau lokasi khusus seperti showroom. Harapannya, agar menarik wisatawan datang langsung ke Kota Blitar. (*/cam) ___________________________________________________________________________ Nama baru untuk Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. Cepat sebelum diambil orang lain! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/