4.

S u n g a i

Linda Christanty

                                                                     

BELUM lama ini ia mendengar sungai itu akan ditimbun. Sebuah permukiman baru 
akan dibangun di atasnya. Pendayung rakit akan kehilangan pekerjaan. Air akan 
kehilangan salah satu alirannya. Banjir akan menggenangi lebih banyak daratan. 
Masa silamnya juga akan terkubur di bawah sana. 

 

Sungai itu mengalir di muka rumah masa kanak-kanaknya. Airnya tampak tenang 
kehijauan. Riak hanya muncul ketika rakit melaju. Tapi di musim hujan, air 
sungai keruh kecoklatan. Arus menderas. Gemuruhnya menembus dinding-dinding 
rumah yang terbuat dari anyaman bambu. 

 

Ia sering duduk di ambang pintu yang terbuka, menghadap ke arah sungai itu. 
Kaki-kakinya yang mungil menjejak tangga kayu yang hitam berlumut. Ia 
memandangi apa yang setiap hari hadir di saat ia terjaga maupun lelap, yang 
sama sekali tak menyuguhkan hal-hal ajaib dan luar biasa. 

 

Namun, ia senang dan takjub memandang wujud sungai di saat tenang maupun 
gelisah. Di musim kemarau, amis lumpur yang bangkit dan dibawa angin dari tubuh 
sungai itu terasa hangat di penciumannya. Ia jadi merindukan apa yang ia sama 
sekali tak tahu, ketika sesuatu yang sunyi di dalam dirinya tiba-tiba menjelma 
rasa sedih. 

 

Suatu hari, selagi ia menikmati pemandangan ini, Fatima mondar-mandir di 
belakangnya sambil menggendong Mina. Semula ia masih mendengar bujukan-bujukan 
manis Fatima agar putrinya segera tidur. Setelah itu senandung-senandung. 
Ketika rengek Mina tak lagi terdengar, Fatima mulai menghiburnya dengan dongeng 
dan cerita. Dan ia tak pernah bosan mendengar kisah yang sama. Ia memang tak 
punya hiburan lain.

 

Tiap pagi Fatima menyeberangi sungai ini dengan rakit sewaan. Ia mencuci 
pakaian para penghuni rumah-rumah besar di seberang sungai dan memperoleh upah 
setiap minggu. Kadangkala ia membantu memasak untuk pesta-pesta mereka dan 
membawa pulang sedikit makanan ke rumah. 

 

Sebelum bekerja, Fatima menitipkan ia dan Mina pada tetangga mereka, seorang 
perempuan paruh baya. Sebelah mata perempuan itu buta. Bola mata kirinya yang 
putih pernah mengejar-ngejarnya dalam mimpi. Namun, ia tak pernah menceritakan 
mimpi-mimpinya kepada Fatima. Ia merasa bersalah dan takut. Perempuan itu baik 
sekali, selalu memberi kue-kue yang dibelinya dari penjual keliling. Onde-onde, 
nagasari, atau kue lapis. Semua yang ia suka. 

 

Suatu kali perempuan itu memperlihatkan kepadanya sebilah keris yang sudah 
berkarat. "Ini bekas-bekas darah. Peninggalan embah saya, untuk keselamatan. 
Dulu ia tentara Kerajaan Mataram," katanya, bangga, tertawa dan memamerkan 
gusinya yang merah karena gambir sirih. Sesudah itu, keris pun disimpan kembali 
di bawah kasur tipis, yang di atasnya Mina biasa tidur nyenyak setelah lelah 
mengobrak-abrik seisi kamar perempuan tersebut dengan riang. 

 

Ketika ia dewasa, ia menjadi iba kepada perempuan itu. Mataram yang 
dbayangkannya bukan masa silam yang menyenangkan. Salah seorang sultan bahkan 
membunuh musuhnya dengan cara mencekik si musuh sampai mati dengan tangannya 
sendiri. Dan kematian bisa datang dari perasaan curiga, bukan bukti-bukti. 

 

                                                **

Saat ia belajar di sekolah dasar, tiap pagi ia dan Fatima berangkat bersama ke 
seberang sungai. Kadang-kadang, ia takut rakit terbalik dan seluruh penumpang 
di atasnya tenggelam. Di pagi hari rakit begitu sesak dari sisi ke sisi. 
Keteledoran kecil bisa menyebabkan malapetaka. Ia tak bisa berenang dan karena 
itu, ia sangat cemas. 

 

Dulu pernah ada rakit terbalik. Ia mengetahui kemalangan tadi dari cerita 
Fatima. Seorang nenek meninggal, karena tak bisa berenang. Orang-orang gagal 
menyelamatkan nenek itu, karena sungai begitu keruh dan arus begitu deras 
sehabis banjir. Berjam-jam kemudian seorang perenang hebat dari kampungnya 
berhasil menemukan tubuh nenek yang telah menggembung dan bersalut lumpur. 
Orang-orang membicarakan kecelakaan ini berhari-hari, lalu keadaan kembali 
seperti semula. Orang-orang mulai kurang berhati-hati. Rakit tetap penuh di 
pagi atau sore hari, di saat arus tenang maupun deras. 

 

Namun, selain rasa cemas yang kadang-kadang muncul, ia merasa senang meluncur 
di atas rakit. Seperti berada di atas sesuatu dan akan menaklukkan sesuatu. Di 
sekolah ia tak pernah diperlakukan ramah oleh teman-teman sekelasnya yang 
tinggal di rumah-rumah besar itu, tetapi di atas rakit ini ia mempunyai 
dunianya sendiri. Ia merasa seperti seorang laksmana yang memimpin sebuah 
armada dan pendayung rakit adalah salah satu prajuritnya. 

 

Sesekali Fatima pulang bersamanya bila pekerjaan tak banyak. Tapi di atas rakit 
mereka jarang bicara. Mereka jadi dua orang yang tak saling kenal. Fatima asyik 
melamun, sedangkan ia tertegun-tegun memandangi air.

 

Rakit menyibak air, sementara ikan sapu-sapu yang menguasai sungai tampak 
berenang-renang mengikuti rakit. Ia membayangkan dirinya sebagai seekor ikan. 
Berenang, lalu menyelam. makin jauh dan makin jauh ke dasar yang dingin. 

 

"Dulu sungai ini pernah berwarna merah, Nak," cetus Fatima, suatu kali, dan 
tiba-tiba.

 

Ternyata sungai ini pernah punya warna lain, pikirnya. 

 

Sebuah truk masuk kampung di malam hari. Orang-orang berseragam datang. Mereka 
mengerahkan pemuda-pemuda masjid membasmi siapa saja yang tak percaya kepada 
Tuhan. Keesokan harinya sungai memiliki warna lain untuk pertama kali. 

 

Sejak mendengar cerita Fatima itu,  ia tak lagi merasa nyaman tiap naik rakit. 
Ia takut tiba-tiba warna sungai berubah merah. Di malam hari ia seolah-olah 
mendengar suara truk di seberang sana, derit roda-rodanya yang berhenti di tepi 
sungai, lalu suara gaduh karena sejumlah orang mendorong seluruh muatan di bak 
belakang truk ke sungai itu.

 

Kisah-kisah Fatima tak ada yang indah, baik itu dongeng maupun kejadian nyata.  
Namun, sekali lagi, ia tak punya hiburan lain.

 

"Ibumu melahirkan kamu di sel dan dia meninggal waktu kamu masih dua bulan. 
Ayahmu hilang. Tapi gara-gara dia, kakakku mati. Dia mengajak ibumu ikut 
rapat-rapat. Aku ikut kena getahnya, dipecat jadi bidan rumah sakit 
pemerintah," tutur Fatima, yang selalu mengulang-ngulang cerita ini.

 

Ia diam saja dan merasa tidak dihendaki siapa pun. Namun, biasanya setelah itu 
Fatima akan memeluknya dan mencium-cium pipinya dengan wajah penuh penyesalan.

 

"Mina ini suatu kesalahan. Harusnya aku tidak usah sampai punya anak sama si 
Tohir itu. Kabur entah ke mana dia sekarang," kata Fatima, bersungut-sungut, 
tiap Mina rewel atau demam. 

 

Ia sama sekali tidak mengerti soal Tohir. Lagipula ia masih terlalu kecil untuk 
mengerti masalah orang dewasa. 

 

Dulu Fatima pernah memuji-muji lelaki itu, karena mencarikan pekerjaan untuk 
dirinya. Kata Fatima, Tohir juga yang membuat mereka berdua tidak harus makan 
daging tikus lagi hampir tiap hari. 

 

Kepala-kepala tikus berserak dekat sungai di muka rumah mereka. Darah di 
mana-mana. Hanya itu saja yang ia ingat. Fatima telah mengajarinya bagaimana 
bertahan hidup. Kini ia jadi bergidik mengenang semuanya. Dulu hal itu 
merupakan peristiwa biasa. 

 

Kadangkala, peristiwa lama begitu jelas. Tapi sebagian lagi, samar. Ada juga 
yang sirna. Ada yang terlepas-lepas, seperti halaman-halaman sebuah buku. Atau 
seperti buku yang tengah disunting. penuh kalimat ganjil dan belum selesai. 
Dalam ingatan.

 

Tapi ia masih selalu ingat wujud sungai itu sampai ia dewasa. Wujudnya di masa 
lalu.*** 

 

.

Kirim email ke