Kampung Kebun Pisang

Yonathan Rahardjo

 

KEBUN pisang yang permai. Di sini kita saling pandang dengan damai. Di sela 
pohon-pohon pisang yang memberi kenyamanan hati, kita saling tatap mata tanpa 
mengharap lain tersemai. 

Rani.., kita adalah sebuah teka-teki berada di tempat ini. Kita kesatuan 
berpadu dengan bisik-bisik daun, dahan dan batang pisang yang tegak berpadan 
dengan kata tak terucap. Hati kita saling sapa mengisyaratkan bagian dari 
mereka, alam yang senantiasa mengelukan undangan persahabatan.. 

Di sini, kita berdiri berpelukan terlindungi pohon-pohon ramah memagar dengan 
kenyamanan. Tidak ada mata yang sanggup menembus dan memandang bahkan untuk 
mengintip. 

Kebun pisang yang luas, di sini kita dapat menambahkan hari-hari makin panjang. 
Sayang petang keburu datang. Akankah kita tetap di sini untuk menusuk malam 
dengan percumbuan? 

Tidak, kita harus segera pulang. Makhluk penunggu kebun pisang ini akan datang, 
tidak rela kediamannya kita rebut dari dingin malam. Ia masih butuh malam 
gelap, senyap dan sunyi. Sedang kita pun mesti berangkat mengaji.

Dalam gelap kita berjingkat, menyusuri tanah berserak daun kering. Gemerisiknya 
adalah musik menawan, sebuah simfoni bila kita tetap melangkah tanpa takut 
dengan tubuh saling memeluk. Entah mengapa, kita melihat pohon-pohon ini 
merupakan bayangan menakutkan. Gemeresak daun yang membelai dahan dan batang 
memperingatkan supaya kita lebih cepat angkat kaki. 

Ayo cepat, ayo cepat, ada sesuatu terpendam yang akan muncul di tanah ini. 
Sebuah irama yang tidak dapat dimengerti, segera menjadi kenyataan tak 
terbantahkan. 

                                                         **

Kami segera berlari keluar dari kebun pisang, bergandeng tangan mempercepat 
langkah. Kadang kami hampir menabrak pohon pisang yang tak tampak ketika kami 
saling pandang untuk saling memastikan. 

Langkah kami makin cepat, daun kering di atas tanah memberi irama lain, 
sedangkan yang paling kuat bunyi daun di dahan. Kami tidak dapat menahan diri 
bahwa telinga kami menjadi penampungan dari orkestra tanda-tanda bahaya, agar 
kami terus berlari... 

Di depan sana adalah kampung di mana Rani tinggal setiap hari. Malam ini  
kampung itu begitu menjadi dekat di hati. Kami ingin segera sampai. Namun 
sayang sekali kaki tak cepat sampai menjejaki. 

Aku dan Rani terus berlari. Dahan pohon dengan daun-daunnya tiba-tiba 
melambai-lambai kencang. Kami terus berlari dan berlari menjauh dari lambaian. 
Serupa tangan-tangan saling bertautan, mereka memeluk kami. Kami meronta-ronta 
melawan tarikan pelukan mereka. 

Kami kalah. Pada saat yang sama pohon-pohon pisang roboh, tertuju pada aku dan 
Rani. Kami tertimbuni. Namun kami terhisap daun kering yang membusuk menyatu 
dengan tanah basah akibat air hujan. Kami terhisap masuk tanah. Gelap.

 

                                               **

 

Dalam gelap aku melihat Rani di sampingku. Ia bercahaya terang, kontras dengan 
kegelapan kami. Rani menjadi lebih cantik, berkilau laksana permata dunia yang 
satu-satunya pernah kulihat di depan mata. Mempesona. Putih seperti salju, 
terang bagai matahari. Ia bukan lagi Rani yang setiap hari kucumbui, namun Rani 
yang berpuluh kali lebih jelita. 

Aku tahu ia adalah Rani-ku yang kukenal selama ini, namun kini sudah menjadi 
bidadari. Bidadari cantik ini menatapku dengan lembut, tersenyum. Aku 
terpesona, tidak berdaya oleh kesempurnaannya. Ia terlalu mempesona. Aku hanya 
sanggup menatapnya dengan tergeming. 

Kehangatan senyum sorga Rani tidak memengaruhiku untuk mendapatkan kehangatan 
mengusir dingin menjalar... Bergetar seluruh tubuhku, menggigil. Aku tak 
sanggup lagi harus mendekat padanya dan memberi salam manis seperti biasa dan 
kecupan cinta. Aku terpaku membeku di depan Rani-ku sendiri. Rani yang denganku 
saling menyayangi dalam hari-hariku. Rani yang terjerembab dalam hisapan kebun 
pisang bersama-sama dengan tubuhku, sudah menjelma menjadi begitu luar biasa, 
sedang aku... 

Aku tak sanggup lagi mengidentifikasi seperti apa wujudku... Aku alihkan 
perhatianku dari Rani sebagai matahari di depanku, menuju tangan dan lenganku 
sendiri... Hitam... Lumut tumbuh di sana-sini. Badan... Juga tumbuh lumut. 
Hitam, coklat, hijau... Tumbuh saling membelit, berkelindan, lembab, basah. Aku 
tak sanggup lagi mengenali diri sendiri. 

Rani telah menjadi bidadari, sedang aku.. Kuraba wajahku dengan kedua tanganku 
yang gemetar. Darah, nanah busuk,..  bau sangat menyengat. aku muntah. Pingsan. 
Gelap.

                                              **

 

Dalam gelap aku hanya sanggup berteriak-teriak tanpa suara. Mulut tersekap, 
lidah kelu, kerongkongan tersekat. Aku hidup dalam gelap. Tak lagi sanggup 
melihat sedikit gurat cahaya. Kekosongan hitam menguasai. Aku tak sanggup 
berdefinisi, tanpa cahaya penerang, aku berada di bawah timbunan gunung tanah, 
jelmaan pohon pisang sebagai daratan kuat dan liat. 

Aku tidak tahu lagi hendak apa. Cuma satu yang aku rasakan, kebahagiaan. Aneh, 
kebahagiaan. Sebab, Rani-ku menjadi bidadari, dan hidup abadi. Biar aku seperti 
ini, asal Rani-ku seperti itu. Kami yang setiap hari bersatu dalam suka dan 
sedih, kini dipisahkan oleh keadaan yang sungguh membuatku tak sanggup lagi 
merintih. Beku. Aku gelap. Ia terang. 

Dalam dingin dan beku, aku tidak tahu-menahu lagi apa-apa tentang duniaku. 
Bahkan dalam terang yang melingkupi Rani dengan segala kemuliaan. aku hanya 
tahu, aku tak lagi ada. Rani pun tak lagi menyapa. Aku menggapai-gapaikan 
tangan untuk mendapat uluran tangannya... Sia-sia.

                                                   **

Kampung halaman lengang. Udara dingin menyelinap masuk membuat seorang penduduk 
terjaga, diikuti langkah terburu-buru menyadari dia tidak menjumpai anaknya 
semalaman. 

"Rani. Rani. di mana kamu?" ia tergopoh-gopoh membuka kelambu pintu kamar tidur 
anak gadisnya. Kosong. Rani tidak ada.. Si petani tidak dapat menahan rasa 
panik. 

"Salahku sendiri, semalam langsung tidur tanpa memeriksa keberadaan Rani..." Ia 
cari di setiap sudut dan ruang dalam rumah, tidak ada Rani. 

Anak gadis satu-satunya lenyap dari rumah. Sedangkan seingatnya, sore kemarin 
ia masih melihat anak peninggalan istrinya almarhumah ini. Datangnya seorang 
tamu pada malam itu, sesudah ia berangkat tidur, tidak ia ketahui. Ia hanya 
bisa berharap, Rani di halaman rumah. Ditelusuri di setiap tempat halaman itu. 
Lengang. 

"Rani hilang! Rani hilang!!!" Ia bangunkan tetangga sekampung. Ia kabarkan 
tentang hilangnya anak perempuannya. Penduduk satu demi satu bangun dari 
istirahat malam. Pagi itu menjadi perhelatan gelisah, mereka sama mendesah 
mencari tahu di mana Rani... Saling tanya, tanpa kepastian. 

Mereka pun mencari dan mencari barangkali Rani dapat diketemui. Hingga mereka 
mendapati keanehan pada kebun pisang di pinggir kampung mereka. Tidak lagi 
berwujud kebun, namun sudah menjadi sebuah pusara, pemakaman orang mati yang 
sangat besar. Batu nisan besar menjulang tinggi melebihi pohon asam yang paling 
tinggi dan tua di kampung itu. 

Ada apa ini? Kebun pisang telah menjelma menjadi pusara dengan gundukan tanah 
tempat penimbunan mayat. Penduduk terperangah, dengan segera memahami, Rani ada 
di dalam kuburan itu. Namun, kuburan ini begitu besar... cukup untuk memakamkan 
orang sekampung. 

Keheranan penduduk diikuti tindakan-tindakan untuk tahu isi kuburan raksasa. 
Mereka kerahkan seluruh laki-laki untuk membuka isi kuburan. Segala peralatan 
penggalian digunakan. Perempuan-perempuan menyediakan makanan dan minuman. 

Para lelaki bercucur keringat menggali kuburan. Cuma tanah dan tanah! Kuburan 
digali lebih dalam. Hari panjang melibatkan seluruh penduduk bahkan tetangga 
kampung kiri-kanan bahkan sampai ibu kota kecamatan. Buldozer pun didatangkan. 
Menggali dan menggali. Tidak ada satu batang pisang pun di tempat itu, padahal 
jelas-jelas tanah gundukan kuburan ini adalah tempat kebun pisang. Penggalian 
terus dilakukan... Terik matahari dilawan. 

Akhir penggalian menuai hasil. Pada kedalaman sepuluh meter didapati satu sosok 
gadis yang hampir saja penduduk gagal mengenali. Gadis ini tampak putih seperti 
salju, terang seperti matahari, berpakaian putih cemerlang bidadari. Matanya 
menutup, rambut tertata sempurna, pakaian begitu rapi tanpa kisut apalagi kotor 
tanah penimbun tubuh.

Diamati lebih teliti, akhirnya mereka berhasil mengenali, memang ia: Rani. 
Namun kecantikannya tidak seperti Rani yang mereka kenal sehari-hari, juga 
sungguh jauh di atas rata-rata wajah gadis biasa. Aneh. Bapak Rani mendekat dan 
menangis, meski anaknya dalam kondisi sempurna, jelas Rani sudah tidak 
bernyawa. 

Bagaimana semua keanehan ini terjadi?... Aku yang sedari tadi tak berdaya 
dengan kondisi buruk dan busuk, sepertinya mendengar semua keluh kesah mereka. 
Telinga siapa yang kupakai? Rasanya aku telah melihat perubahan dalam diri 
Rani... kini menjadi lebih terguncang dan terheran-heran lantaran sanggup 
mengetahui, apa sesungguhnya yang terjadi pada penduduk dan Rani sendiri. 

Rani, rupanya tidur dengan tenang sebagai bidadari, sedang aku telah menjadi 
tanah, yang menimbuninya. Dengan busuknya tubuh berdarah bernanah, dimakan 
ulat-ulat dan belatung, membuatku begitu cepat menjadi tanah. Tanah dari 
tubuhku begitu cepat berlipat, menimbuni tubuh Rani tanpa mengotori apalagi 
melukai, bertimbun-timbun meninggi, menjadi makam seluas kebun pisang yang 
dipatok oleh Malaikat Penjaga Kuburan. 

Sebagai tanah aku menempel pada kaki-kaki penduduk yang menjejak dan menggali 
tanah kuburan raksasa kami. Sebagai tanah aku punya telinga dapat mendengar 
pembicaraan seorang berpakaian hijau loreng, kaca mata hitam, berkacak 
pinggang, dan berkata pelan pada bapak Rani... 

"Pak Parmin, anak Bapak telah menjadi tumbal penghilang dendam korban 
pembunuhan massal kita." 

Mulut orang tua Rani menganga, pandangan matanya penuh ketidakpercayaan. 

Tentara itu melanjutkan tegas, "Anak Bapak betul-betul telah menjadi bidadari 
penghapus dendam sejarah bangsa yang tak pernah terselesaikan."

Kepala kampung yang mendengar perkataan itu tak mampu menahan diri terhadap 
sikap heran yang ditunjukkan bapak Rani. "Jadi, korban-korban pembunuhan yang 
dikubur secara massal di sini sekarang sudah ikhlas terhadap perlakuan yang 
Bapak perintahkan?" tanyanya.

"Ya, sekaligus mengingatkan bahwa sebetulnya tindakan yang kita lakukan dulu 
itu adalah benar. Perintah yang kuberikan untuk membebaskan bangsa dan negara 
kita dari pembantaian lebih keji dibenarkan oleh tanda-tanda ini."

"Membenarkan kesalahan pembantaian massal?"

"Pembantaian massal itu tidak disalahkan oleh mereka. Mereka ikhlas 
diperlakukan demikian karena memang mereka salah. Justru tindakan kita yang 
benar yang mengampuni dan melupakan kesalahan mereka. Untuk itu mereka kini 
betul-betul ikhlas dibunuh saat itu," jawab perwira angkatan darat yang datang 
dari ibu kota kecamatan itu. 

Ah, betulkah itu? Pemutarbalikan fakta macam apa lagi ini? Bukankah pembunuhan 
besar-besaran yang makan korban berjuta-juta orang di negeri ini termasuk orang 
sekampung ini, semua dilakukan tanpa ada pengadilan untuk memeriksa 
salah-benarnya?

Siapa orang itu? Ia berpakaian tentara, tapi sudah kelihatan sangat tua. 
Bukankah perawakan dan wajahnya sangat mirip malaikat penjaga kuburan raksasa 
ini? Ia Malaikat Penjaga Kuburan yang mematok kuburan ini? Oh.., bukankah ia 
bapakku sendiri? Mengapa aku hampir tidak mengenalnya lagi? 

Aku masih bertanya mengapa dalam penglihatanku, Bapak angkatku menjadi malaikat 
penjaga kuburan raksasa Kampung Kebun Pisang. Sepertinya aku melihat Bapak atau 
Malaikat Penjaga Kuburan itu mengusir semua dendam mayat-mayat korban 
pembunuhan massal yang dibantai begitu saja di lubang besar ini. Tapi, mengapa 
caranya seperti itu? Begitu mudah membolak-balikkan fakta dengan bersilat kata! 
Tanpa pernah menghidupkan kembali mayat mereka, untuk dilakukan pengadilan yang 
semasa hidupnya tidak pernah terjadi!

Ternyata mayat-mayat korban pembunuhan massal-lah, pohon pisang yang menimbuni 
aku dan Rani. Berpuluh-puluh tahun lalu, setelah orang-orang itu dipenggal 
kepalanya dan tubuh tanpa kepala itu ditimbun di lubang besar, kuburan massal 
ini ditimbuni tanah lalu ditanami pohon-pohon pisang, sehingga kampung di 
pinggir kebun pisang ini terkenal disebut sebagai Kampung Kebun Pisang. 

Aku adalah anak salah satu korban pembunuhan besar-besaran itu, namun diangkat 
sebagai anak oleh perwira angkatan darat itu. Aku tidak tahu harus bertindak 
mengikuti siapa. Mengikuti orang tua kandungku yang dikubur secara kejam di 
bawah kebun pisang, ataukah mengikuti bapak, perwira tentara orang tua 
angkatku. 

Rani adalah anak dari kelompok orang tua kandungku yang dicap sebagai 
pemberontak, namun terbebas dari pembunuhan massal lantaran membocorkan 
informasi siapa-siapa dari kelompoknya yang patut ditembak mati. 

Aku baru tahu bahwa aku adalah bagian dari darah keluarga korban dan Rani 
adalah anak dari pengkhianat korban, setelah aku sudah tidak hidup lagi. ***

 

Kirim email ke