Jurnal Toddopuli: SASTRAWAN-SENIMAN MAKASSAR DI FORUM SASTRA INTERNASIONAL PARIS Maison des Cultures du Monde [MCM, Griya Budaya Dunia], tingkat dua, 111 Boulevard Raspail, 75006 Paris, merupakan sebuah Lembaga yang sejak bertahun-tahun menangani kerjasama kebudayaan antara Perancis dengan negeri-negeri lain di dunia. Melalui kebudayaan, MCM berharap bisa menanam-tumbuhkan saling pengertian, persahabatan, saling belajar antara bangsa-bangsa di dunia. Di dalam sejarah usahanya mengejawantahkan visi dan misi ini, MCM telah mengundang beberapa kali rombongan-rombongan kesenian dari Indonesia, seperti dari Bali, Jawa, dan Sumatera. Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia "Pasar Malam" yang menterapkan pendekatan serupa, pada tanggal 07 Desember 2008 kemarin, telah melangsungkan acara sastra akhir tahunnya: "Sepuluh Jam Untuk Sastra Indonesia" Griya Budaya Dunia ini. Untuk acara ini, dari Indonesia hadir Sitor Situmorang, Laksmi Pamuntjak, Lily Yulianti dan Luna Vidya. Dua seniman yang terakhir ini merupakan sastrawan-seniman pertama dari Makassar, Indonesia Timur yang diundang oleh "Pasar Malam" ke acara-acara sastra internasionalnya. Kehadiran Lily dan Luna mengisyaratkan bahwa "Pasar Malam" -- sebuah lembaga dengan pendekatan kebudayaan -- mulai menaruh perhatian pada perkembangan sstra-seni di luar pusat-pusat tradisional sastra-seni Indonesia seperti di Jawa-Bali. Paris mulai melemparkan pandang ke pulau-pulau luar Jawa. Untuk membuktikan eksistensi sastra-seni di pulau-pulau luar Jawa, Lily Yulianti dan Luna Vidya telah menggelarkan karya-karya sastra dari Makassar dan Aceh bersama-sama display buku-buku dari KITLV dan penerbit-penerbit berbagai negeri lain tentang Indonesia. Di antara karya-karya sastra dari Makassar dan Aceh, digelarkan juga kaset vcd monolog Luna Vidya. Pada kesempatan ini, "Pasar Malam" juga telah memberikan kesempatan khusus kepada dua sastrawan-seniman dari Makassar ini untuk tampil di panggung, memperkenalkan diri, menuturkan secara singkat tentang kehidupan sastra-seni di Makassar dan proyek Makkunrai [bahasa Bugis: perempuan]. Kehadiran dua seniman Makassar ini menarik perhatian khusus antropolog Perancis yang memang peneliti tentang Perancis, Christian Pelras dan para peserta.Kehadiran Lily Yulianti dan Luna Vidya ditambah dengan nama-nama seperti Sitor Situmorang asal Tapianuli dan Laksmi Pamuntjak, berdarah Minang,secara tersirat mengungkapkan keluasan dan kebhinnekaan sastra-seni Indonesia dan keindonesiaan.Sayangnya, tidak seperti rencana, Richard Oh dan Djenar Maesa Ayu, akhirnya berhalangan hadir. Djenar hanya tampil melalui filemnya "Mereka Bilang, Saya Monyet!", yang digelarkan sebagai acara bahasan penutup. Apabila kedua seniman terakhir ini bisa hadir, maka kebhinnekaan yang hanayalah nama lain dari keterbukaan dan keluasan Inonesia secara geografis dan wacana, akan menjadi lebih nampak dan berwarna. Kehadiran Lily Yulianti dan Luna Vidya, bagiku juga sekaligus memperlihatkan potensi dan daya hidup "sastra-seni kepulauan". Sastra-seni kepulauan pada galibnya adalah sari dari sastra-seni Indonesia. Sastra-seni pulau-pulau dan daerah bukanlah sastra-seni periferik atau pinggiran. Ia bahkan sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia sebagai negara berdiri. Sudah ada dan berkembang jauh sebelum sastra berbahasa Indonesia berkembang seperti sekarang. Ia hanya dipinggirkan oleh tafsiran dan pelaksanaan konsep NKRI yang memberi tekanan pada sentrilisasi dan menganggap desentralisasi sebagai padanan dari separatisme. Saya khawatir, jika memandang sastra-seni kepulauan sebagai wacana dan nama lain dari sastra-seni Indonesia yang bhinneka tunggal ika, sebagai sastra- seni pinggiran, merupakan sisa dari pikiran bahwa NKRI padanan dari sistem sentralisme dengan segala dampaknya yang buruk, seperti penjajahan bangsa oleh bangsa sendiri sehingga menjadi berkebalikan dengan rangkaian nilai republiken dan berkeindonesiaan. Kalau pada pengejawantahan sastra-seni kepulauan terdapat kesulitan dan masalah, kesulitan dan masalah, saya kira tidak terletak pada kekeliruan wacana tapi terdapat pada pelaksanaan. Masalah justru akan menjadi akan lebih serius terdapat pada wacana sastra periferik. Kesalahan wacana justru bisa berdampak lebih serius daripada kesulitan dalam pengejawantahan wacana. Wacana adalah suatu orientasi. Wacana budaya kita adalah wacana republiken dan berkeindonesiaan. Bhinneka tunggal ika, bukan sastra-seni pinggiran dan pusat. "Budaya itu majemuk, kemanusiaan itu tunggal" jika meminjam istilah filosof Perancis Paul Ricoeur. Saya lebih melihat lebih banyak bahaya pada wacana sastra periferik daripada sastra-seni kepulauan. Bahayanya?. Pusat akan bisa bertindak sesuka-hati dan daerah serta pulau-pulau jadi terpinggir dari jati diri serta warna dan soal-soal lokal yang nyata.Padahal niscayanya, pusat adalah rumusan dari sari keragaman lokal dan pulau. Apakah karya-karya sastra dan monolog Luna lebih rendah dari yang terdapat di luar yang disebut periferik? Ekspresi Luna sangat kuat, tidak kala dari ekspresi aktor-aktris diluar yang disebut periferik? Apakah antologi-antologi puisi Aan Mansyur seperti "Hujan Rintigh-rintih" atau "Aku Hendak Pindah Rumah", puisi pinggiran yang kadarnya jauh lebih rnedah dari yang ditulis oleh para penyair di pusat? Mengapa kita merendahkan diri dengan menyebut diri sebagai orang pinggiran dengan karya-karya "pinggiran" dalam pengertian kelas rendahan? Apakah berada di pusat sudah merupakan jaminan mutu bagi suatu karya? Menyaksikan kebahagiaan "Pasar Malam dan para peserta forum sastra internasional ini ketika menyambut kehadiran Lily Yulianti dan Luna Vidya, saya melihat bahwa kebahagiaan ini muncul ketika tahu bahwa Indonesia itu di depan mata, merupakan budaya dan negeri sangat beragam. Indonesia bukan hanya Jawa. Bukan hanya pusat-pusat tradisional yang ditonjolkan oleh politik budaya dan wacana selama ini. Jua bukan hanya yang disebut "pusat-pusat legalisasi". Apabila yang dsebut "pusat-pusat legalisasi", koran-kiran dan majalah yang terbit di pusat, termasuk para pengamat atau kritikus sastra-seni di pusat atau di mana pun, tidak memperhatikan daerah-daerah dan pulau, saya malah melihat, jika benar demikian, sebagai suatu kepincangan dan krabunan memandang kenyataan. Bisa dibayangkan hasil jenis apa yang dipikirkan dan ditulis oleh yang bermata rabun. Kehadiran Dubes RI Paris dan rombongannya pada acara sastra "Pasar Malam" kali ini merupakan sesuatu yang sangat membesarkan. Kehadiran mereka merupakan pelaksanaan juklak diplomasi nomor pertama dari Kementerian Luar Negeri yang saya sering sebut sebagai diplomasi kerakyatan.Diplomasi yang bersandar pada rakyat dan memobilisasi semua potensi yang ada di negeri terkait untuk mencapai tujuan diplomasi Republik Indonesia. Bukan diplomasi pengucilan diri dan tutup pintu. Di Perancis, potensi ini cukup besar. Diplomasi kerakyatan tidak lain dari diplomasi yang republiken dan berkeindonesiaan juga. Lily Yulianti akan kembali ke Tokio pada tanggal 10 Desember 2008 dari Paris.Sedangkan Luna Vidya masih akan mengadakan pertunjukan monolognya di Paris pada perayaan ulangtahun ke-26 Koperasi Restoran Indonesia yang berlangsung pada 15 Desember 2008 mendatang. Koperasi Restoran Indonesia merupakan salah satu patner kerjasama "Pasar Malam" dalam kegiatan-kegiatannya. Pada acara ulta ke-26 ini akan diselenggarakan juga pameran foto dan bedah buku Patrick Blanche, seorang fotografer Perancis tentang Indonesia. "Di masa mendatang, kita akan organisir pengiriman keluar daerah dan pulau, sastrawan-seniman baru potensial dari Sulawesi Selatan atau Aceh keluar", ujar Lily Yulianti dalam pembicaraan kami saat jeda. Sulawesi Selatan , khususnya Makassar memang penuh kemungkinan. Kegembiraan menghangi diri saya mendengar pandangan ke depan Lily Yulianti yang mengasuh Komunitas Panyingkul ini bersama Luna Vidya dan lain-lain. Panyingkul yang berarti jalan simpang di mana wacana menjadi sangat mendesak untuk menentukan jalan apa. Yang saya paling khawatirkan penyelenggara negara kita yang berada di panyingkul alias jalan simpang dan tidak berpikir panjang menetapkan jalan mana yang ditempuh. Sementara perjalanan Lily dan Luna ke Eropa Barat saya anggap tidak lain dari perjalanan suatu wacana dan mimpi tak bertepi tentang tanahair dan kemanusiaan yang tunggal. Karena barangkali tanahair sesungguhnya bagi sastra-seni itu tidak lain "desa kecil dunia" kita dan kemanusiaan juga adanya.**** Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008 ------------------------------------------------- JJ. Kusni Keterangan foto: Lily Yulianti dan Luna Vidya di panggung Maison des Cultures du Monde, 111 Boulevard Raspail 75008 Paris bersama dua penterjermah Perancis-Indonesia dari Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia "Pasar Malam" sedang diperkenalkan ke publik. Pada kesempatan ini juga secara bergiliran, Lily Yuliantan dan Luna Vidya secara singkat memperkenalkan diri masing-masing dan sepintas kehidupan sastra-seni di Makasssar. Foto ketiga:Jacquline CAMUS sedang membahas filem Djenar Mahesa Ayu: "Mereka Bilang, Saya Moonyet". [Dari Dokumen dan foto: JJ. Kusni].
Yahoo! Toolbar is now powered with Search Assist.Download it now! http://sg.toolbar.yahoo.com/