saya kiri pernyataan saya tentang kanan dan kiri adalh sebuah contoh bagaimana selama ini para intelektual dan "budayawan" telah terjebak dalam iklim parokhial yang sangat parah. Ketika membicarakan sebuah kongres kebudayaan persoalan terpenting yang menggangu "kepentingan nasional" yaitu homogenisasi pola pikir tidak diangkat. Bahkan dianggap semata-mata persoalan kesenian. Lepas dari apakah persoalan kebudayaan akan bicara tentang banyak hal, akan tetapi keheningan para pelaku dan penggiat kongres kebudayaan tentang UU pornografi dan hadirnya hukum berdasar salah satu agama tertentu, dan jelas-jelas tidak sejalan dengan "kepentingan nasional" (negara indonesia berdasarkan atas keberagaman) menyisakan pertanyaan besar.
Mengapa ketika kepentingan akan indonesia yang beragam diusik tidak ada satu rekomendasipun mengenai hal itu? Mengapa justru yang muncul rekomendasi tentang tahun kebudayaan? Apakah panitia dan peserta tidak bisa memilih mana yang urgent dan mana yang tidak? Kalau itu tak terjawab jangan-jangan kita para budayawan dan intelektual kampus tak lebih dari budak-budak kepentingan orang lain (pemilik modal, teknokrat pemerintah, politisi busuk dan lain sebagainya). Tolong pertanyaan yang terus saya persoalankan dijawab; bagaimana respon resmi dari kongres kebudayaan tentang homogenisasi indonesia melalui cara-cara pemberlakuan hukum yang bertentangan dengan tujuan dan kepentinga nasional? kalau itu tidak terjawab mengapa kita harus mendukung tahun kebudayaan 2009? agung kurniawan --- On Wed, 12/17/08, mangoenpoerojo roch basoeki <elrob...@yahoo.com> wrote: From: mangoenpoerojo roch basoeki <elrob...@yahoo.com> Subject: [ac-i] BUDAYA SALAH KAPRAH To: "budaya art" <artculture-indonesia@yahoogroups.com> Cc: "artculture-indonesia moderator" <artculture-indonesia-ow...@yahoogroups.com> Date: Wednesday, December 17, 2008, 12:15 AM Sekaligus menanggapi seluruh komentar tentang "perlunya tahun kebudayaan" yang dilempar oleh mas Luluk Suniarso. 1. mari kita akhiri budaya saling menyalahkan dengan menyadari bahwa semua kesalahan yang sedang berjalan (berkenaan dengan penyelenggaraan negara) adalah SALAH KAPRAH yang membudaya. Siapapun yang memimpin negeri ini akan terjebak oleh kesalah-kaprahan itu. Kita ingin perubahan tanpa tahu apa yang mau diubah, diubah menjadi seperti apa, dan dimulai dari mana. 2. menurut saya, dari segi pola pikir, harus dimulai dari pola "penggunaan ilmu pengetahuan" (lihat saran mas profesor bambang hidayat). Ilmu pengetahuan yang semakin spesialissasi, hendaknya tidak digunakan untuk memaksakan perilaku masyarakat agar melakukan sesuatu sesuai tuntutan spesialis. IP hendaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dalam arti kemampuan dan tuntutan dari masyarakat yang senyata-nyatanya. So, dengan IP itu kita harus berupaya dulu untuk tahu sebenar-benarnya kemampuan masyarakat kita yang tidak banyak tuntutan itu. Ilmu manakah yang harus kita gunakan..... (menurut pengembaraan saya, antropologi adalah ilmu utama untuk masyarakat kita). 3. Dari segi politik (agar tidak terjebak akan issue KIRI VS KANAN, mas Agung), kita harus bersepakat tentang TUJUAN NASIONAL. Untuk kita sadari bahwa kita sebagai sebuah bangsa yang katanya besar, ternyata tidak punya tujuan (makanya sering kita dengar "mau kemana negara ini"). Mari kita baca baik-baik apa kata pendiri negara "kenapa kita harus merdeka" di dalam Pembukaan UUD. 4. Akibat dari tidak punya tujuan nasional adlah TIDAK PUNYA "KEPENTINGAN NASIONAL". Dalam segala kasus, kita dihadapkan pada tarik-menarik kekuatan antar sesama. Contohnya, demokrasi dan HAM apakah benar-benar merupakan kepentingan nasional. Pemihakan pada pemilik modal dalam kasus krisi global, apakah kepentingan nasional? OK, contoh yang tidak berkonotasi politik yaitu soal ROKOK. Asap rokok adalah racun kehidupan manusia perokok maupun non-perokok ; tetapi industri rokok juga menghidupi jutaan keluarga manusia dan negara (pajak). Bagaimanakah negara ini bersikap terhadap rokok, manakah yang disebut KEPENTINGAN NASIONAL? Begitulah sekedar masukan. salam, robama.