Agenda Pentas Studi
mahasiswa Prodi Pendidikan bahasa Indonesia Angkatan 2006, 

STKIP PGRI Jombang:

 

OPERA IKAN ASIN

Karya : Bertold Brech-
Disadur N. Riantiarno; 

Sutradara Aulia Memet

Plaza Theatre, Jl. Wachid
Hasyim, Jombang, Jumat,9 Januari 2008

Perunjukan 1 pukul 15.00

Pertunjukan 2 pukul 19.30

 

T U K

Karya : Bambang Widoyo SP

Sutradara : Faisol

Plaza Thetre, Jl. Wachid
Hasyim, Jombang ,Sabtu,10 Januari 2009

Pertunjukan 1 : Pkl.
15.00

Pertunjukan 2 : Pkl.
19.30

 

MEGA MEGA

Karya : Arifin C. Noer

Sutradara: Yayuk N. dan
Lukiati

Plaza Theatre, Jl. Wachid
Hasyim, Jombang , Minggu,11 januari 2009

Pertunjukan 1 ; Pkl.
10.00

Pertunjukan 2 : Pkl.
15.00

 

sikap kasar terhadap kaum
marginal

(pengantar apresiasi dari
imam ghozali Ar.)

                                         


Ada tiga reportoar yang akan digelar oleh Mahasiswa
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Angkatan 2006), STKIP
PGRI Jombang. Ketiga reportoar tersebut adalah Opera Ikan Asin (Bertold Brech
disadur oleh N. Riantiarno), TUK (Bambang
widoyo SP.), Mega Mega (Arifin C. Noer). Pertunjukan yang berlangsung pada
tanggal 9-11 Januari 2009 ini sebenarnya sebuah pentas studi matakuliah Seni
Drama.

***

the treepenny opera (Die
Dreigoroschenoper) karya Eugene Bertold Friederich Brecht (1898 -1956)
sebenarnya merupakan saduran dari The Beggar’s Opera (1728) karya John Gay,
seorang dramawan dan penyair Inggris. Opera Ikan Asin ini. Selanjutnya, The
Threepenny Opera-nya Brech disadur oleh N. Riantiarno dengan bantuan Tjie Tjin
Siang menjadi Opera Ikan Asin ( .... ) dengan setting kota Batavia, tahun 1925
– 1930. 

Pemakaian “Ikan Asin”
mengacu pada sesuatu yang murah meriah, disukai banyak orang, berkonotasi
jelata, punya aroma yang tajam dan menyengat, dan merupakan simbol masyarakat
kelas bawah. Namun, jika masyarakat ini sudah kehilangan kesabaran karena
seringnya didzalimi mereka akan berubah menjadi sebuah kekuatan yang dasyat. 

Reportoar ini merupakan
kisah yang membidik dan mencibir lingkungannya, terutama kaum berjuasi, yakni
golongan bangsawan dan penguasa. Sebentuk satire getir yang yang menyindir
realita dengan ragam rupa kritik sosial. Brecht hendak mengejek 
kemapanan. Bila dicermati, reportoar ini memang berkesan ugal-ugalan dan
konfliknya antara kebaikan versus kejahatan. Ironisnya, sesuatu yang jahat itu
keluar sebagai pemenangnya. Hal ini mengingatkan kita terhadap ramalannya
Ronggowarsita, dlam kitab Kalatidha, sebuah zaman yang bernama Zaman Edan.
Selain itu, reportoar ini mengingatkan kepada puisinya Sindhunata yang berjudul
Zaman Edan, yang terbukukan dalam antologi Air Kata Kata.  

***

tuk adalah sebuah potret
keresahan masyarakat urban di perkotaan yang padat dan kumuh. Di perantauan
itu, mereka hidup secara magersaen  ( baca: hidup menumpang ) di
pekarangan Den Darsa, seorang duda kaya nan dermawan. Di pekarangan itulah,
mereka lantas beranak-pinak, hidup turun-temurun. Harmoni dan solidaritas
sosial yang telah lama mapan itu tiba-tiba terkoyak ketika muncul isyu akan
datangnya investor properti yang  bermaksud membangun supermarket di
lokasi tersebut.

Reportoar ini merupakan
sikap empati dan advokasi Bambang Widoyo SP kepada kaum pendatang tak berdaya
 yang selalu digusar-gusur oleh beragam kepentingan dan kedigdayaan kuasa
uang. Kebakaran atau pembakaran nyaris sama dengan penggempuran buldozer, yang
sering  kita saksikan di tayangan stasiun-stasiun televisi yang hasilnya
adalah: puisi ratapan yang kehilangan harap.

Problem-problem sosial
berkelebatan, termasuk benturan budaya akibat kuatnya pengaruh modernisasi,
selalu menjadi fokus diskusi lewat tujuh reportoarnya yang telah ditulis oleh
bambang Widoyo SP., yakni Brug (1982), Stup atawa Suk-suk Peng (1983), Rol
(1983), Leng (1985), Reh (1986/1987), dan Dom (1990). 

Bagi Bambang Widoyo SP,
kaum marginal diletakkan dalam world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai
mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah
pandangan yang diwakili tokoh perempuan tua, Mbah Kawit ketika memperlakukan
keberadaan sumur sebagai ikon sumber kehidupan. Dengan bekal ilmu klenik Jawa
yang kental, ia menghubung-hubungkankan “kejadian-kejadian” yang tak normal
sebagai pertanda akan datangnya disharmoni.

***

Sementara di mega mega,
tokoh Mae yang mandul itu adalah inti dari derita orang kecil yang ditampilkan
Arifin C. Noer. Mae memang tidak sendiri. Di sekelilingnya ada Retno, pelacur
yang ditinggal suaminya; Panut, pencopet kelas teri; Koyal, pemuda gila yang
selalu bermimpi menang lotere; dan Tukijan, pekerja kasar yang mengidam-idamkan
menjadi petani kaya. Semuanya berangkat dengan persoalan yang sama yaitu:
ekonomi yang menindih, yang menunjukkan hidup dan kehidupan wong cilik yang
merupakan sebuah labirin impian yang tak berujung. Mae, Retno, Tukijan, Panut,
dan Hamung memang mewujudkan cita-citanya namun hanya dalam dunia impian. ''Di
sini kita melamun bisa sempurna," kata Hamung. Dan mereka bermimpi
 menang lotere sehingga bisa makan-minum yang tak terbatas, tamasya ke
Parangtritis, dan melaksanakan perjalanan ke “mega-mega”. Dan nasib wong cilik
itu berangkat dari  mimpi yang berakhir dengan kesepian, ''Saya kesepian.
Saya sungguh-sungguh kesepian sebagai perempuan. Saya mulai menyangsikan
semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau tidak ada," katanya. Di langit
bulan bulat. Angin bersilir. Beringin tua menghitam oleh usia. Beringin itu
tinggal dongkelnya saja. Lantas, apa maknanya? Maka, disinilah Mega Mega yang
bicara persoalan sosial yang keras dengan subtil yang menjadi kekuatan Arifin
untuk mempersoalkan pertentangan kelas sosial  tanpa menjadikan penonton
terbakar. 

Dalam reportoar ini,
Arifin seolah berhasil membungkus Karl Marx dengan puisi-puisi T.S. Eliot.
Dalam Mega Mega dialog tentang bulan, rumput, kabut, dan bau dupa seakan
berbaur dengan realitas pahit yang menyekap wong cilik dengan cerocosan orang
pintar yang fasih mengeluh dengan bahasa yang puitis dan filosofis.

***

Membaca ketiga reportoar
ini, selanjutnya ada dua catatan yang perlu saya sampaikan. Pertama, ketiga
reportoar ini  merupakan reportoar teater untuk rakyat (?). Artinya
reportoar untuk media penyadaran manusia terhadap perubahan nasibnya.Jikalau
kita melakukan pembacaan terhadap ketiga reportoar ini, penonton akan digiring
untuk melakukan evaluasi terhadap dampak sosial ekonomi terhadap dirinya
sendiri, sehingga natinya diharapkan ada sebuah “gerakan kebudayaan” untuk
mengubah kondisi sosial yang sekaligus melakukan perubahan yang sesuai dengan
kondisi mereka. 

Kedua, Verfremdungseffekt
sengaja disorong ke publik penonton melalui pemisahan penonton dengan peristiwa
panggung. Hal ini dengan maksud agar penonton dapat  melihat panggung
secara kritis. “Panggung” ditawarkan sebagai “media” penyelidikan kemanusiaan
yang dapat merangsang dan menggalakkan sikap kritis penonton. Maka seharusnya,
tidak pada tempatnya kalau “pertunjukan ini” digunakan untuk menghipnotis
penonton lewat penekanan-penekanan spektakel yang syarat keglamouran  yang
dapat mengkerdilkan sikap kritis penonton,  justru yang  ditawarkan
adalah artikulasi  nyanyian dan musik yang menjadi unsur teateral
 yang sangat penting. Selamat menyaksikan!

 

jombang, 18 Desember 2008

 

 

Kontak person:

Imam Ghozali AR

STKIP PGRI Jombang

Jl Patimura III/200
Jombang

Telp 0321-861319,
Fax.0321-872365

081 234 0 333 11

Email:
igar.tea...@yahoo.co.id

 




      

Kirim email ke