Isi dari yang Kosong


  D h a n d h a n g g u l a :
  Ana pandhita akarya wangsit
  mindha kombang angajab ing tawang 
  susuh angin ngendi nggone
  lawan galihing kangkung
  wekasane langit jaladri
  isining wuluh wungwang
  lan gigiring punglu
  tapaking kuntul nglayang
  manuk mber uluking ngungkuli langit
  kusuma njrah ing tawang

  (Kidung Darmawedha)


  Saya pernah mengunjungi sebuah rumah, bahkan sempat
  tinggal beberapa hari di rumah tersebut, dan saya melihat
  di dalam rumah tersebut hampir tak tersisa sedikitpun
  ruang kosong. Di segenap sudut ruangan, di atas kulkas, di
  atas lemari, di kolong tempat tidur, di rak-rak di bawah
  meja, di sekitar komputer, bahkan di atas televisi, selalu
  saja ada pernak-pernik barang yang ditaruh di situ: mainan
  anak-anak, kertas-kertas, koran-koran dan majalah,
  tas-tas, buku-buku, alat ini-itu, bunga-bungaan plastik,
  kaset-kaset CD, selotip, toples segala bentuk dan ukuran,
  kabel-kabel, tisu, makanan burung… rumah itu penuh sesak
  dengan segala macam aneka barang. Hampir barang apapun
  yang dapat kita bayangkan dapat kita temukan di sana.
  Satu-satunya yang tak dapat aku temukan di dalam rumah
  tersebut adalah: ruang atau space yang kosong. Rumah itu
  jadi terasa sumpek karena penuh sesak dengan barang-barang
  yang kebanyakan tidak terlalu kita butuhkan. Pelajaran
  yang aku dapatkan dari sana adalah: betapa pentingnya
  ruang kosong, bahwa di samping 'yang isi', kita juga
  membutuhkan 'yang kosong'. Jika kita hanya menimbun ‘yang
  isi’ dan melupakan perlunya ‘ruang kosong’, rumah kita
  atau mungkin hidup kita akan terasa sumpek, ruwet dan
  hanya akan jadi beban.

  Karena itu di dalam Tao diajarkan tentang perlunya
  Kekosongan. Cangkir dapat dipakai karena terdapat ruang
  kosong di dalamnya, pintu dapat dilewati karena memiliki
  celah yang kosong, dan pohon bambu memiliki begitu banyak
  fungsi bahkan bisa dibentuk menjadi apa saja - hampir
  semua peralatan rumah tangga dapat dibuat dari bambu -
  karena bambu memiliki ruang kosong di dalamnya. “Isi
  adalah kosong, kosong adalah isi,” begitu kata Bikshu
  Thong dalam serial Kera Sakti.

  Berlawanan dengan rumah yang saya ceritakan di atas, saya
  teringat sebuah film yang pernah saya tonton, judulnya
  Little Budha, berkisah tentang pencarian akan seorang anak
  yang dipercaya sebagai titisan seorang lama dari Tibet.
  Anak tersebut tinggal di dalam sebuah keluarga yang
  modern, dengan bangunan rumah yang modern pula. Yang
  menarik dari rumah tersebut adalah tatanan ruang tamunya:
  kosong, tidak ada apa-apa di situ, kecuali sebuah meja
  kecil di tengah ruangan. Bahkan tidak terdapat kursi-kursi
  di ruang tamu, sehingga tamu-tamu yang datang harus duduk
  lesehan mengitari meja kecil, seperti gaya rumah-rumah
  klasik di Jepang. Si pemilik rumah dalam film tersebut
  mengatakan bahwa dia suka dengan tatanan ruang seperti itu
  justru karena kekosongannya: begitu simple dan lapang…
  hanya yang basic saja, tanpa banyak aksesoris yang tidak
  perlu.

  Kenyataannya makin banyak aksesoris yang kita timbun, akan
  makin ruwet jadinya. Konon, Socrates pernah mengajak
  murid-muridnya berjalan-jalan di sebuah pasar. Mereka
  berhenti di depan sebuah kios, dan Socrates memperhatikan
  lama-lama barang-barang apa saja yang dipajang di kios
  tersebut, kemudian dengan suara lantang dia berseru pada
  murid-muridanya, “Betapa banyak barang yang tidak aku
  perlukan!” Dari peristiwa tersebut, seorang muridnya,
  Diogenes (yang kemudian dikenal sebagai filosof tong),
  mengambil langkah ekstrim: dia hanya mau memiliki
  barang-barang yang benar-benar ia perlukan dalam hidupnya:
  tong untuk tidur, mantel untuk musim dingin, mangkok untuk
  makan, dan sebatang tongkat.

  Dan suatu ketika seorang raja agung dalam perjalanannya
  mampir di rumah, maksud saya di tong yang dihuni Diogenes,
  yang waktu itu sedang asyik menikmati hangatnya sinar
  matahari pagi. Sang raja tersebut bertanya adakah yang
  dapat ia perbuat untuk membantunya, karena menurutnya
  Diogenes hidup dalam kekurangan. Dan Diogenes menjawab,

  ”Ya, Paduka, bergeserlah sedikit, karena Paduka
  menghalangi sinar matahari.”

  Tentu saya tidak bermaksud menganjurkan siapapun untuk
  hidup di dalam tong, tapi benang merahnya adalah: ambillah
  yang basic, dan tinggalkan aksesoris… saya rasa hidup akan
  menjadi lebih simple dan mudah.

  www.catatanrenungan.blogspot.com

Kirim email ke