saya berpikir saat ini lah waktu nya bagi kita untuk bersama sama
bergerak bersama sama untuk memilah mana yang racun mana yang obat..
ini seperti sungguh harus bener bener ber hati hati kita meliat nya
dalam kaca wilayah di indonesia ini, klo saya pikir tempat tinggal
penulis tidak mewakili antropoli dan sosiologi wilayah dari nusantara
cara pemakain bahasa yg terlalu subyektif, sudah hilangkah akal
berfikir kita. atau duri dalam tulang kah yang selama ini melumpuhkan
kaki dan membutakan mata serta memekan telinga kita. sehingga kita
sudah tak dapat lagi memisahkan mana racun dan mana obat selama itu
juga kita menunggu satu persatu tubuh kita terpisahkan serti nya kusta
telah mengerogi suatu penyakit yang membinasa kan suatu kaum pada
jaman nabi dan rasul. baik dan buruk setiap manusia pasti memiliki.
dengan itu lah manusia hidup seperti ya dan tidak, tapi ada rasa lain
dalam hidup dan ke hidupan ini seperti senang sedih suka dan duka
senantiasa klo di urai satu persatu pola yang melingkari kehidupan itu
sendiri tiada yang terliat hanya terang. sesekali seberkas warna hijau
di sudut mata.


Bagian 3. PERTENTANGAN

Pada Matematika dan Ilmu Alam rendahan, ya dan tidak itu tak langsung
berupa pertentangan yang terang, melainkan mula-mula berupa timbul
atau hilang. Baru pada kedua perkataan timbul dan hilang ini (weden
und vergehen) kata Engels, dia berupa pertentangan. Tetapi pada Ilmu
Masyarakat berdasarkan Komunisme, ya dan tidak itu langsung dan nyata
berdasarkan pertentangan.

Pencaharian Arab di daerah tempat saya menulis Madilog ini, yakni
daerah Jakarta, terutama sekali memperbungakan uang umum dipasar-pasar
dipinjamkan Arab pada Indonesia R 1,- dengan bunga 5 sen sehari.

Berupa kecil, tetapi menurut perhitungan Matematika bunga semacam itu
dan 1,825% setahun. Ini menurut Logika, menurut hitungan bunga
berbunga pula (samengestelde interest). Dengan kerja semacam itu dari
turunan keterurunan, mereka menjadi kaya, ada kaya raya mempunyai
tanah dan rumah. Tentulah bukan satu kali hal yang kita tuliskan
dibawah ini sebagai contoh, yang terjadi semenjak bangsa ini
meninggalkan Tanah Suci dan mencemarkan kaki pada tanah kita yang
dianggap tidak suci ini.

Sebagai misal: Seorang tuan tanah Arab, kita namakan saja Halal bin
Fulus, sudah lama meminjamkan uang pada seorang petani Indonesia.
Petani menanggungkan tanah dan rumahnya atas pinjaman itu. Dia tak
bisa melunaskan hutangnya, sebaliknya membeli makanan dan pakaian dan
membayar pajak pada pemertintah Belanda saja, sebetulnya tak bisa
ditutup dengan hasil tanahnya yang sebidang kecil itu. Keperluan luar
biasa pada umat Islam, seperti menyunat dan mengawinkan anak dan
merayakan Hari Besar Islam, Lebaran, menuntut ongkos luar biasa yang
bagaimana juga rajinnya dia bekerja tak bisa dipenuhi lagi. Terpaksa
ia meminjam uang lagi kepada tuan Halal bin Fulus dari Tanah Suci yang
seagama dengan dia. Melunaskan hutang dan bunganya yang makin lama
bertambah-tambah itu. Tuan Halal bin Fulus tahu pula akan sifatnya
petani Indonesia, het zachte volk der aarde, itu bangsa yang
semanis-manisnya. Gula Arabpun manis, dan tuan Fulus tak keberatan
melebihi harga tanggungan. Tetapi pada satu ketika harga tanah
pekarangan dan rumah petani sampai menjadi kurang atau hampir saja
dengan hutang bunganya. Disini tuan Fulus baru sekarang petani ada
semacam tikus di dalam cengkeraman kucing. Seagama atau tidak, dengan
manis atau suara keras, namun hutang mesti dibayar.

Kalau kebetulan petani ada mempunyai anak perawan yang cocok sama
perasaan tuan Fulus, suka atau tak suka si perawan, karena petani
kebuntuan jalan, perkara hutang mungkin dihabiskan dengan perdamaian
diantara tuan Fulus dengan petani Indonesia berdua saja. Tetapi kalau
petani kebetulan punya anak bujang saja, atau kalau ada perawan yang
cantik tetapi jika si ayah meskipun kemauan anaknya yang tak mau
dikawinkan dengan tuan Fulus yang sudah tua dan beberapa kali kawin
itu, maka disini timbullah percekcokan. Tuan Halal bin Fulus kita
andaikan marah dan pergi mengadu ke Pengadilan.

Perkara diperiksa. Kalau perlu tuan Fulus mencari advokad yang pintar;
arief bisaksana, yang tentu akan berusaha keras, menurut nilai
pembayarannya. Dalam 99 diantara 100 perkara semacam itu, tentulah
tuan Halal bin Fulus berasal dari tanah Suci, yang menang. Petani yang
tak kuasa membeli beras atau sehelai pakaian buat anak bini masa
Lebaran, kalau tak meminjam lebih dahulu pada tuan Fulus, manakah bisa
bayar advokat. Pengadilan umpamanya memutuskan, bahwa si-tani mesti
menjual tanah, pekarangan, rumah dan perabotan kalau ada; sapi atau
ayampun kalau ada, buat membayar hutangnya.

Sedikit kepanjangan buat contoh, tetapi kependekan buat hal yang
banyak sekali terjadi di pulau Jawa dan penting buat kehidupan orang
Indonesia. Sekarang kita bertanya : Adilkah putusan Hakim Pengadilan
tadi? Inilah salah satu dari pertanyaan yang tiada boleh dijawab
dengan ya, dan tidak saja. Karena pertanyaan itu berkenaan dengan
perkara yang berhubungan dengan masyarakat yang bertentangan diantara:
Yang berpunya dengan Tak berpunya.

Tuan Fulus Muslimin yang Berpunya, sebagian besar dari kaum Ulama dan
Pemerintah berdasar "kepunyaan sendiri", tentulah 100% membenarkan
putusan itu. Petani berhutang dan hutang mesti dibayar. Ini cocok
dengan semua Undang kemodalan dan cocok dengan semua Agama.

Sebaliknya filsafat kaum Tak Berpunya atau Undang kaum Tak berpunya
(dimana kaum Tak berpunya menguasai Negara) 100 % pula akan memutuskan
bahwa putusan Hakim "tidak" adil.
Kalau penulis ini umpamanya berkuasa mengambil putusan, maka penulis
akan menyuruh pilih saja satu dari dua putusan. Pertama, karena tuan
Halal bin Fulus bukan bangsa Indonesia, supaya pulang kembali ke Tanah
Suci denga diizinkan membawa sekedarnya dari harta bendanya, atau
kedua: boleh tinggal disini, tetapi mesti mengembalikan semua hartanya
pada Negara Indonesia. Dalam hal kedua dia lebih dahulu mesti
dijadikan "manusia yang berguna buat masyarakat Indonesia", yaitu
dengan menukar dia sebagai paraciet, shylock, lintah-darat, menjadi
"pekerja" sekurangnya 13 tahun. Sesudah itu baru boleh diterima
menjadi penduduk yang sama haknya dnegan "pekerja" yang lain-lain.

Pendeknya dalam perkara diantara dua pokok yang bertentangan, kita
tidak bisa menjawab dengan ya atau  tidak (benar atau salah, adil atau
dhalim), sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana
kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu
pihak, berarti tak adil dipandang dari pihak yang lain, dan
sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain,
atau sebaliknya inilah artinya menentukan POINT OF VIEW. Dari salah
satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.

yang saya ambil
http://id.wikisource.org/wiki/Madilog/Bab5

Kirim email ke