Saat saya menulis surat terbuka untuk Irwandi, seorang teman
berkomentar "Aku suka sama tulisan kee ni Win, tapi siapa yang bisa
menjamin tulisan kee ni bisa sampe ke Meja Irwandi?". begitu kata
teman saya ini. Intinya, sebenarnya teman saya ini ingin mengatakan 
'ngapain susah-susah nulis kalau sudah tahu hasilnya tidak terlalu
bisa diharapkan'.

Dulu saat saya juga mulai menulis segala macam argumen untuk menolak
ide pendirian provinsi ALA, seorang teman lain juga mengatakan hal
yang kurang lebih sama, "buat apa kee susah-susah menolak, sementara
orang-orang yang ingin mendirikan Provinsi ALA sudah terkonsolidasi
sedemikian kuatnya, sudah membangun jaringan yang sangat kuat baik di
pusat maupun di Gayo sendiri. Sudah begitu mereka didukung oleh dana
yang kuat pula". Pokoknya si teman ini ingin mengatakan kalau apa yang
saya lakukan itu adalah sesuatu yang sia-sia.

Menurut saya sendiri, apa yang dikatakan oleh kedua teman saya ini
adalah bagian dari cara pandang keduanya dalam melihat dunia. Cara
pandang yang berbeda dengan cara pandang saya sendiri. Kedua teman
saya ini memandang dunia dengan cara pandang mainstream yang berlaku
di dunia modern saat ini yang sangat dipengaruhi oleh filsafat
pragmatisme-nya Amerika. Setiap usaha yang dilakukan harus mendapatkan
hasil yang setimpal.

Sementara saya sendiri sudah lama sekali meninggalkan cara pandang
seperti itu. Ketika berbuat sesuatu, saya sudah tidak pernah lagi
memikirkan apa hasil dari usaha yang saya lakukan itu nantinya. Dalam
melakukan sesuatu, bagi saya yang penting adalah apa yang saya lakukan
itu BENAR menurut kriteria saya. Dan apa yang saya anggap benar itu
akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya dan saya nikmati prosesnya.
Soal hasil, terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya, banyak dari
faktor-faktor itu yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Jadi
soal hasil saya terbiasa menyerahkan kepada takdir saja. Soal proses,
baru itu urusan saya.

Dalam membesarkan anak misalnya. Saya sama sekali tidak peduli nanti
sudah besar anak saya mau jadi apa. Yang terpenting bagi saya saat ini
adalah memberikan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik buat dia.
Apakah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik itu
nantinya anak saya pasti jadi lebih baik dari anak-anak lain yang
mendapatkan pendidikan dan kasih sayang tidak sebaik dia?...tidak ada
yang menjamin. Sayapun tidak pernah mempedulikan itu, yang jelas tugas
saya saat ini memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik buat dia,
soal hasil nanti biar takdir yang menetukannya.

Saat menulis surat terbuka terhadap Irwandi atau ketika saya
menyatakan penentangan secara terbuka terhadap ide pembentukan
provinsi ALA. Saya juga didasari oleh cara pandang yang sama. Saya
hanya melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Soal hasil
saya tidak mempedulikan. 

Soal ini, Logika yang saya anut berbeda seratus delapan puluh derajat
dengan logika yang digunakan kedua teman saya.  Jika mereka mengatakan
buat apa menulis dan capek-capek menentang kalau sudah tau akan gagal.
Saya berpikir, kalau sudah berbuat saja sudah hampir pasti gagal
apalagi kalau kita diam menunggu nasib dan tidak berbuat apa-apa.

Jadi ketika menulis surat terbuka pada Irwandi, saya tahu persis kalau
adalah tidak mungkin surat itu bisa mengubah langsung cara pandang
Irwandi yang makin lama makin kelihatan mental inlandernya yang minder
terhadap orang asing berkulit putih dan berambut pirang. Yang setiap
titahnya dituruti oleh Irwandi dengan takzimnya seperti titah para
dewa. Irwandi jelas tidak pernah menyadari kalau para bule
penasehatnya itu cuma bisa berpikir dalam batas pengalaman mereka
sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional.

Bule-bule di sekitar Irwandi itu sebenarnya sama seperti para Ekonom
IMF ketika mereka membuat teori ekonomi, teori yang mereka buat jelas
tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya
khas dan sangat situasional. Pengalaman yang khas ini menggantung di
belakang pikiran mereka, terproyeksi keluar melalui teorinya
seolah-olah situasi pengalaman itu sendiri sifatnya 'universal'. Orang
Amerika misalnya, rata-rata taat hukum dan katakan saja punya sikap
ABC terhadap bisnis; jadi waktu orang Amerika berpikir ekonomi, tanpa
sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'taat hukum' &
'sikap ABC'tadi MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Kedua sikap
itu adalah sikap masyarakat Amerika sana yang sudah begitu dari dulu
secara terberi.

Ketika Irwandi menggunakan kecerdasan para penasehat asingnya itu
dalam soal pengelolaan hutanpun ya sama saja. Ketika para penasehat
Irwandi membuat teori kehutanan, teori kehutanan yang mereka buat
jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang
sebetulnya khas dan sangat situasional. Dalam pikiran mereka mana
terpikir orang di pinggir hutan yang hidup dari menebang satu dua
batang kayu, dalam pikiran mereka tidak terbayangkan kalau satu batang
pohonpun tidak boleh ditebang, akan banyak orang yang hidup di sekitar
hutan yang keparan. Jadi waktu orang asing penasehat Irwandi berpikir
soal hutan, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap
'kesadaran atas global warming', 'hutan tropis adalah paru-paru dunia'
& 'sikap ABC lainnya' yang MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya.
Sebenarnya itu adalah sikap masyarakat mereka di negerinya sana yang
sudah begitu secara terberi.

Karena itulah banyak kebijakan Irwandi yang tidak membumi, dan konsep
Aceh Green-nya ditertawakan orang di kanan-kiri.

Sama dengan teori-teori yang dipakai para pegiat ALA di Jakarta sana.
Ketika membayangkan penyelesaian seperti apa yang cocok untuk
diterapkan di Aceh. Mereka yang sejenis dengan Kosasih yang membuat
teori-teori itu, tidak pernah benar-benar merasakan apa yang terjadi
di Aceh. Inilah yang mendasari keluarnya teori 'PERANG BODOH' yang
legendaris itu. Itu terjadi karena tanpa sadar mereka mendasarkan
segala teorinya pada sikap dan kesadaran masyarakat di Jakarta dan
pulau jawa sana, yang memang sudah begitu dari dulu secara terberi.
Karena itu pulalah segala macam argumen dan teori mereka tidak membumi.

Masalahnya orang-orang yang berpikiran seperti inilah yang mayoritas
memegang kendali di negeri ini. Orang-orang waras yang bisa menilai
segala sesuatu dengan jernih, sebisa mungkin dijauhkan dari sekitar
mereka, karena keberadaan orang-orang seperti ini akan merusak rencana
yang mereka pikir baik dan mereka pikir sudah sama sekali tidak ada
cacat celanya.

Tapi meskipun sudah begitu keadaannya, tidak ada alasan buat saya
untuk berhenti menyampaikan ide dan pemikiran saya. Tidak ada alasan
bagi saya untuk berhenti melawan mereka, meski saya tahu peluang saya
untuk menang kecil sekali. 

Bagi saya, meskipun saya gagal kali ini. Itu sama sekali bukan masalah
besar. Yang penting saya tidak tinggal diam melihat proses kehancuran
suku dan bangsa saya. Kalaupun kali ini saya tidak berhasil, paling
tidak nanti saya bisa memperlihatkan pada anak dan cucu saya. Kalau
dalam proses kehancuran yang dialami oleh suku dan bangsanya itu saya
tidak tinggal diam saja. Saya sudah berusaha. Dan mudah-mudahan nanti
anak cucu saya bisa terinspirasi dan melanjutkan apa yang sudah saya
lakukan hari ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com
www.winwannur.blogspot.com


Reply via email to