[HALAMAN GANJIL]

Sederhana Seperti Apa?
----------------------
--Anwar Holid


Sederhana itu tricky.
--Budi Warsito



Ada dua buku yang secara khusus membicarakan sederhana. Pertama ialah The 7 
Laws of Happiness (Arvan Pradiansyah) dan Simplify Your Working Life (Fergus 
O'Connell). Kedua orang itu menggunakan sederhana sebagai hukum, bahkan 
merupakan ajaran moral yang sepatutnya dipatuhi, karena dari sanalah hakikat 
masalah bisa dilihat. Ibaratnya, sederhana adalah atom, inti sesuatu--minus 
penemuan bahwa atom pun ternyata masih punya unsur lagi. 

Arvan Pradiansyah dengan tegas menyatakan bahwa sederhana ialah kemampuan 
menemukan inti masalah; sementara Fergus O'Connell--terutama dalam konteks 
kerja dan karir--menekankan bahwa yang pertama-tama harus dilakukan untuk 
bekerja cerdas ialah orang harus menemukan cara kerja paling sederhana. Menurut 
Tujuh Hukum Bahagia Arvan, sederhana merupakan poin ketiga rahasia mencapai 
hidup bahagia. Penulis lain, Jack Foster dalam buku Ideaship juga mengamini 
pendirian seperti itu, baik dalam konteks karir maupun kepuasan pribadi.

Di dunia seni, ada aliran kubisme dan abstrak ekspresionisme yang sangat 
menjunjung luhur-luhur makna sederhana. Bagi penganutnya, alam ini bisa 
diabstraksi menjadi garis, bujur sangkar, lingkaran, segi tiga, dan 
bentuk-bentuk dasar lain, sehingga itulah yang mereka geluti. Bila kita 
perhatikan dari lukisan Pablo Picasso atau Piet Mondrian, bentuk-bentuk dasar 
itu begitu dominan, meski setelah jadi, di tangan mereka lukisan itu menjadi 
sesuatu yang kompleks, harmonis, sekaligus kabur dan penuh luapan perasaan.

Di dunia arsitektur (Ludwig Mies van der Rohe) dan sastra (Robert Browning) 
sama-sama punya adagium yang membuat mereka begitu terkemuka, yaitu: Less is 
more (sedikit itu lebih bagus.) Di ranah ekonomi juga begitu; E. F. Schumacher 
(1911 - 1977), pemikir ekonomi Inggris kelahiran Jerman, sangat sering dikutip 
pemikir ekonomi Indonesia karena menulis buku dengan judul sangat provokatif: 
Small is Beautiful (kecil itu indah.)

Di dunia gerakan, filsafat, apalagi agama, begitu banyak orang yang mati-matian 
menekankan pentingnya sederhana. Perhatikan gerakan sederhana dan damai yang 
dilakukan Gandhi, Martin Luther King, Jr., Mandela, Aung San Suu Kyi, juga Lech 
Walesa. Jangan lupa juga dengan tokoh bersahaja yang datang lebih dulu: Henry 
David Thoreau, Isa Al-Masih, Francis Assisi, dan lain-lain. Orang Muslim 
biasanya suka mengagung-agungkan kesederhanaan pahlawan mereka--antara lain 
Muhammd Saw, Ali bin Abi Thalib, Imam Khomeini, dan sekarang Ahmed 
Dinejad--sebagai orang yang betul-betul sederhana.

Sekarang, anggaplah kita beriktikad kuat mau melakukan hal serupa karena kita 
sudah lama terpesona oleh kesederhanaan. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pertama-tama, mungkin kita langsung berpendapat bahwa sederhana berbeda dengan 
miskin. Baiklah, saya setuju. Semua orang yang paling kaya pun konon bisa 
sederhana--katakanlah seperti Warren Buffett. Boleh jadi pendapat kita tentang 
sederhana sebenarnya menunjukkan bahwa kita keberatan dengan hidup sederhana 
versi Isa Al-masih dan Gandhi. Kita ingin sederhana versi Buffett atau Bill 
Gates. Kita ingin sederhana yang kaya, bukan sederhana yang kere. Kita ingin 
meneladani sederhana yang mungkin lebih tepat dan kontekstual dengan dunia kini 
yang berkembang karena kapitalisme dan diikuti budaya konsumerisme.

Jadi, silakan definisikan sederhana Anda masing-masing, biar nanti kita bisa 
melanjutkan diskusi.

Saya sendiri masih sulit mendefinisikan dengan persis sederhana yang ideal. 
Meski saya beriktikad sederhana, toh saya gagal berhenti mengumpulkan banyak 
barang yang boleh jadi tak saya butuhkan. Saya punya masih puluhan kaset, CD, 
bahkan ribuan buku, belasan potong baju dan celana. Dari sisi itu saja, saya 
jelas tidak sederhana, alias berlebihan. Untuk apa saya punya puluhan kaset, 
bila sebenarnya saya tidak menyetel kaset itu tiap saat? Untuk apa saya punya 
belasan potong baju dan celana, padahal kita bisa cukup punya 2 potong baju dan 
celana? Yaitu satu dipakai dan satunya lagi jadi cadangan? Kenapa harus punya 
cadangan belasan potong?

Dalam beberapa hal barangkali saya boleh dibilang sederhana. Misalnya, saya 
punya satu istri. Itu masih cukup. Kacamata saya juga cuma satu. HP saya satu, 
begitu juga dengan rumah, televisi, rapido, earphone, dan kulkas. Dulu saya 
punya cd player dan walkman; tapi sekarang sudah dijual. Dulu saya hanya punya 
satu flash disk; tapi akhirnya dihadiahi 2 flash disk oleh dua institusi, kini 
saya jadi punya tiga. 

Karena tidak punya mobil, motor dan ipod; bolehkah saya mengklaim diri saya 
sederhana? Mungkin Anda langsung protes, eits, tunggu dulu.

Ternyata dengan contoh saya saja, sungguh sulit menyatakan dan melakoni hidup 
sederhana. Bila saya bersikeras mengatakan hidup sederhana dengan makan di 
warteg murahan, mungkin orang-orang akan tertawa sinis. Itu bukan sederhana, 
itu pelit dan cari penyakit. Perhatikan dong bahan makanannya, cara memasaknya, 
zat-zat yang digunakannya, kualitas bumbu yang mereka cecerkan. Alih-alih 
sederhana, kamu akan lebih cepat mati dan penyakitan.

Setahu saya, orang sederhana nggak takut mati. 

Bila tiba waktunya--entah karena sudah waktunya atau karena jotosan 
preman--orang pasti melepas nyawa. 

Kini ibu-ibu pada ramai menggunakan bahan makanan organik, yang menurut saya 
harganya lebih mahal. Kalau saya bilang, sederhana saja, pilihlah yang lebih 
murah, mereka akan berkata sengit: "Yang organik itu lebih sehat, akan bikin 
kita lebih panjang umur, tambah fit, mencegah penyakit, dan segudang khasiat 
lain." Segera saya bingung, bukankah yang sederhana itu lebih baik? Kalau kamu 
ditakdirkan sehat dan panjang umur, mungkin dengan makan akar-akaran dari hutan 
juga kamu tetap sehat wal afiat.

Kegagalan melaksanakan hidup sederhana membuat saya berani menyatakan bahwa 
saya mengidap penyakit bernama: Didera Serba Kekurangan (DSK), dan entah 
bagaimana cara menyembuhkan atau menerapinya. Saya bahkan menganggap gejala 
penyakit ini malah harus dimaklumi alih-alih diperiksa. Buktinya ialah bahwa 
saya ternyata lebih bersemangat mengejar kekurangan tersebut, alih-alih 
mengurangi kebutuhan atau meminimalkan maupun terus-terus berperilaku dan 
memilih hidup bersahaja.

Katakanlah saya ingin merayakan satu dekade pernikahan dan ingin 
melangsungkannya dengan sederhana; apa yang seharusnya saya lakukan? Merayakan 
syukuran sendiri, dengan doa, atau memilih mengajak anak-istri ke warteg paling 
murahan di dekat rumah, atau ke restoran eksklusif yang hanya dikunjungi bila 
keuangan kita berlebihan atau pikiran sedang nggak waras? Semua jawaban tampak 
salah.

Semua orang saya yakin akan bilang, "Sederhana itu tidak berarti kamu harus 
merayakan hari pernikahan di warteg. Pilihan di restoran steak terkemuka malah 
lebih baik, karena itu hari istimewa kamu! Kalau kamu merayakan di warteg, 
ketahuan betapa pelit kamu pada keluarga!" Entah kenapa jawaban itu membuat 
saya merasa gagal jadi orang sederhana. Saya pikir, apa bedanya makan di warteg 
dan restoran, kalau kita bisa merasakan nikmat dan kenyang dengan kualitas 
setara? Orang-orang yang tahu apa arti bahan makanan bagi tubuh dan selera 
jelas menolak jawaban ini.

Iktikad hidup sederhana makin tambah runyam, mendapat tantangan dan ledekan 
karena kita kini mengenal hasrat bernama konsumerisme. Baru-baru ini saya 
sekeluarga membela terus-menerus belanja di satu pasar swalayan karena bila 
belanja dengan nilai tertentu akan mendapat satu kupon yang setelah berjumlah 
45 lembar bisa ditukar dengan boneka anjing atau kucing. Bayangkan! Hancur 
sudah niat sederhana saya karena menuruti iming-iming konsumerisme. Saya 
membelanjakan uang bukan demi kebutuhan yang benar-benar sulit dihindari, 
melainkan karena ada pamrih lain di sana. Ternyata cukup mudah menipu keinginan 
massa. Kelakuan saya itu persis Ilalang (anak saya) yang selalu mengambil snack 
atau barang lain disertai hadiah di dalamnya.

Karena sederhana beda-beda bentuknya, kita akhirnya bingung akan memilih model 
mana atau akan membentuk sendiri citra sederhana seperti apa; dan akibatnya 
sederhana itu makin jauh dari diri kita, makin sulit diikuti, dan 
perlahan-lahan gantinya kita dipeluk makin erat oleh kebutuhan yang makin 
banyak dan menumpuk. Kata Arvan, kita makin kerepotan oleh hal remeh-temeh, 
tetek-bengek, trivia, alih-alih mencari yang hakikat. Persoalannya, bagaimana 
kita bisa menemukan yang hakikat bila kita kehilangan tujuan dan persoalan yang 
sebenarnya? Lama-lama sederhana menjadi sesuatu yang eksotik; ia indah, ideal, 
tapi terlalu jauh dan sukar untuk diraih dan dilaksanakan. Kenapa? Karena kita 
menganggap sederhana itu terlalu jauh dan sulit berkompromi dengan sebagian 
besar aspek hidup kita. 

Akibatnya bisa diduga: gerakan hidup sederhana yang sejati kehilangan penganut, 
atau pelakunya terlalu sederhana untuk jadi orang terkemuka dan jadi panutan. 
Orang-orang yang boleh jadi sudah cukup kaya--katakanlah saya--masih saja 
mengeluh kekurangan, berkampanye hidup sederhana tetapi sulit membedakan mana 
hawa nafsu dan mana memenuhi kebutuhan paling dasar. Habis dia ketakutan bahwa 
hidup sederhana akan menghalanginya bisa menikmati espresso dan kopi Aroma.

Sederhana mungkin makin sulit berkenan di hati kita semua, apalagi sekarang 
orang senantiasa menargetkan segala hal serba luar biasa, grandiose, harus 
semakin hebat. Cobalah kalau perusahaan tempat Anda menargetkan misi makin 
sederhana dan bos Anda meminta capaian lebih sederhana; mungkin Anda akan 
segera merasa masuk tempat ibadah, tempat para penceramah tiap Jumat atau 
Minggu meminta orang hidup tambah sederhana, jangan sampai terlena dunia, 
bersedekah lebih banyak--biar amplop yang dia terima tambah tebal. (Aih, 
Wartax, kayaknya kamu mudah berburuk sangka!)

Ternyata sederhana beda-beda bentuknya, walaupun hakikatnya boleh jadi sama. 
Cerita-cerita hikmah tentang sederhana bisa berwujud sesuatu yang mengejutkan 
kita. Orang silakan saja bilang tentang gaya hidup sederhana namun toh itu tak 
menghalanginya menyelenggarakan perkawinan anaknya dengan biaya milyaran 
rupiah. Dengan begitu, sederhana seorang pejabat tinggi negara jelas beda 
dengan sederhana seorang pekerja out source; meskipun mereka sama-sama bisa 
berangkat kerja dengan sepeda atau jalan kaki. Baiklah, asal hakikatnya mereka 
temukan bersama. 

Kalau Anda membuka pintu rumah saya dan mendapati ruang tamu kami melompong 
tanpa meja-kursi--diganti hanya hamparan karpet abjad--mungkin Anda akan 
terkesan betapa sederhana rumah kami, sampai beberapa tamu terus-terusan 
berdiri karena merasa bingung harus duduk bagaimana. Boleh jadi kami sedang 
mempraktikkan less is more atau mode interior dengan furnitur minimalis; meski 
kenyataannya kami masih saja gagal mencari perabot yang pas, baik dengan bujet 
maupun kecilnya ruangan. Bandingkan bila Anda masuk ke Rumah Buku, tempat di 
sana terdapat sejumlah rak yang asli hanya berupa tumpukan batu-bata mengapit 
bilah papan (contoh gambar ada di halaman situs mereka), tanpa plesteran. 
Sangat sederhana dan alamiah. 

Lantas bandingkan dengan mode interior minimalis yang mungkin jadi pilihan 
kantor Anda atau rumah kenalan Anda, yang malah memancarkan sifat mewah, mahal, 
elegan namun tak terjangkau oleh orang dengan penghasilan sederhana. Anda masih 
mau bersikukuh bahwa itu semua benar-benar bentuk hidup sederhana? Ayolah, Anda 
harus berani bilang bahwa itu sudah melewati kodrat kesederhanaan, itu sudah 
berlebihan. Itu adalah bentuk "usaha keras agar sederhana" yang hasilnya justru 
luapan kemewahan berbalut pemborosan.

Begitu dengan para politisi kita yang sedang kampanye ingin terpilih jadi 
anggota DPR-RI/D maupun pemimpin pemerintahan. Bagaimana cara kita--orang-orang 
yang terkadang terlampau sengit memandang politik--meminta agar sederhana di 
tengah tuntutan belanja kampanye yang begitu mahal? Bagaimana memberi esensi 
sederhana pada mereka? Kalau esensi menjadi politisi ialah bernegosiasi dengan 
orang jahat, memelihara perdamaian; maukah mereka mengalihkan dana kampanye 
yang jelas nggak tersalurkan pada orang miskin dan papa, untuk kesejahteraan 
sosial bersama-sama? Mari kita tantang mereka: Maukah kamu membagikan dana 
kampanye itu buat membangun fasilitas umum, membersihkan poster-poster dan 
spanduk vandal yang mereka pasang sendiri, yang mengotori tempat di mana-mana 
dan jadi sampah?

Akhirnya kita capek diskusi tentang sederhana, sebab munculnya malah debat 
seperti apa sederhana itu. Kita menyaksikan menemukan atau merumuskan sederhana 
ternyata persoalan besar; padahal boleh jadi kita tahu persis arti sederhana 
dalam persoalan ini. Kita cukup yakin bahwa sederhana bisa meningkatkan 
kualitas hidup, mengantarkan kita pada sesuatu yang lebih hakiki. Bahkan cukup 
yakin, siapa tahu sederhana mampu menghapus perbedaan yang terlalu mencolok 
antara orang kaya dan miskin, gaji yang begitu besar dan orang ngos-ngosan. 
Mungkin sederhana bisa menghilangkan rumah mewah, apartemen eksklusif, hotel 
berbintang sekaligus menghilangkan kawasan kumuh, slum, miskin, kotor, dan 
menjijikkan. Mungkin sederhana bisa mengurungkan niat orang bikin vila di 
pinggir pantai atau ujung tebing gunung perawan, dan mengalihkannya bagi 
gelandangan. Kalau sistem ekonomi kita sederhana, tentu perusahaan raksasa tak 
perlu menjalankan CSR, sebab mereka sudah bisa dengan
waras membagi penghasilan kepada kaum miskin. 

Hidup sederhana menghasilkan orang seperti Muhammad Yunus, film Not One Less, 
lagu Yellow, lukisan abstrak ekspresionisme, orang yang memilih sendal jepit. 
Bahkan mungkin, teknologi canggih yang kita gunakan muncul dari ide sederhana. 
Bahkan lahir puisi karya Sapardi Djoko Damono dengan bait pertama sangat kuat: 
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana."

Sederhana itu sublim. 

Kalau begitu, memang tugas kita harus menemukan sederhana sendiri-sendiri, 
yakni sederhana yang polos,  meskipun boleh jadi tricky.[]

Anwar Holid, trying hard to be simple. Dia eksponen TEXTOUR, Rumah Buku 
Bandung. Bekerja sebagai editor, penulis, dan publisis. Blogger @ 
http://halamanganjil.blogspot.com.

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141



      

Kirim email ke