Rekonsiliasi: Tidak
Perdamaian total: Tidak
Anti Komunis: Ya
Kolaborasi: Ya
Dendam:  Taufik: Ya
                 JJKusi: tidak
Pemenang: Taufik Ismail
Hina dina : JJ Kusni

Rasa mewakili: Lekra: 0 persen
                           Manikebu: 100 persen




Peluk-pelukan: homosexuil: 99 persen
                          proforma    : 1 persen
Rasa malu:    Taufik: 0
                       Kusni: 0,0
Motivasi: ingin menonjolkan diri: Taufik: 100 persen
                                                         Kusni:  100 persen
                 ingin mengawetkan nama: Taufik: 100 persen
                                                              Kusni: 100 persen

Biro Statistik Bisai
                     




----- Original Message ----- 
From: Yonathan Rahardjo 
To: sastra-pembeba...@yahoogroups.com 
Sent: Monday, February 23, 2009 12:45 PM
Subject: #sastra-pembebasan# Cerita Mata Tentang Garis Lurus Taufiq Ismail, 
Ikranagara dan JJ Kusni


Jumlah mata yang menetap mereka begitu susah dihitung, dalam ruang
yang sore itu menjadi sempit. Ikranagara duduk di tengah diapit Taufiq
Ismail di sisi kanannya sedang JJ Kusni di sisi kirinya. Mereka yang
duduk di kursi bermeja laksana sebujur roti manis dikerumuni
semut-semut yang serentak diam ketika M Guntur Romli mengatakan dengan
pengeras, acara akan dimulai. Dan, bermainlah Ikranagara dengan
perannya sebagai moderator. JJ Kusni dipersilakan memulai, dan orang
yang dibilang benak hadirin mewakili Lekra (Lembaga Kebudayaan
Kebudayaan rakyat) ini pun memilih berdiri, karena bicara sambil duduk
membuatnya merasa tertekan. lain halnya dengan Taufiq Ismail yang pada
gilirannya bicara nanti bicara ia memilih duduk dengan berkata,
"Kedudukan itu enak."

Dari pembicaraan mereka plus tanya jawab dengan hadirin, JJ Kusni dan
Taufiq mengakui, buku Kusni yang dibahas sore itu memang bermula dari
surat Taufiq Ismail kepada JJ Kusni merupakan respon dari pembacaan
Taufiq atas tulisan Kusni yang tentang pertemuan dengan Sitor
Situmorang di Paris bagian 5. Respon itu berupa tulisan taufiq yang
dipresentasikan di depan mahasiswa UI saat dialog dengan Pramoedya
Ananta Toer pada 2000, dan satunya lagi saya lupa. Respon Taufiq pun
dibalas dengan banyak tulisan JJ Kusni, yang kesemuanya menjadi
bab-bab dalam buku yang dibahas sore itu plus tulisan Kusni di Jurnal
HAM dan Demokrasi Habibie Center. Sayangnya, tak ada penjualan buku
tersebut pada acara itu sehingga nyaris seluruh hadirin tidak membaca
dan mendapatkan buku terbitan Ultimus itu sore itu.

Dalam pertemuan itu, intinya JJ Kusni menegaskan bahwa di situ ia
tidak mewakili Lekra, meski ia orang Lekra. Apalagi, di antara hadirin
Martin Aleida dengan berang mengatakan bahwa JJ Kusni sebagai
sastrawan di jajaran Lekra tidaklah ada apa-apanya, menyitir
pernyataan SMS Saut Sitomorang yang disebut juga oleh Martin sore itu.
JJ Kusni yang doktor sejarah, dianggap Martin tidak pas bicara tentang
sejarah Lekra; meski doktor sejarah yang keberadaannya secara
subyektif mengurangi keobyektifan sudut pandang menyeluruh tentang
Lekra. Penegasan Kusni bahwa ia hanya mewakili dirinya sendiri,
memuncakkan sandiwara sore itu dengan kekuatan pribadi: minimal ada
seorang JJ Kusni dan seorang Taufiq Ismail yang 'bersalaman bahkan
berangkulan' untuk sebuah peramaian total (istilah Taufiq) atau
rekonsiliasi (istilah Ikra).

Di sisi Taufiq Ismail, tak pernah reda (tampak sekali dari caranya
bicara dan dari statement-statemennya yang tertuang dalam makalah yang
dibacakan pada sore hari itu) dendam kesumatnya terhadap ideologi
komunis yang dengan nyata dikaitkan dengan keberadaan Lekra dan tentu
saja JJ Kusni yang dianggap orang mewakili Lekra pada acara dialog
yang diselenggarakan oleh Teater Utan Kayu, Rabu minggu ini. Dendam
Taufiq dengan memojokkan komunisme ditambah dengan
pernyataan-pernyataabn tentang Ada sebuah jalinan antara Jakarta
dengan benua darat kala itu. Entah apa yang menyebabkan jalinan itu
begitu terasa. Dendam sang penyair terhadap lawan politiknya
mengedepankan kebangkitan dari kubur para pendiri paham yang keras
berkokoh pada keyakinan. Bahkan dari dalam kubur di London dan Moskow
dibangkitkannya mereka, Karl Marx dan Lenin, dengan rantai panjang
yang disulurkan dari kegelapan masa silam yang membelenggu pengikutnya
hingga masa kini.

Namun dengan lihainya, Taufiq malah menunjukkan dan mengatakan betapa
dendam itu dimiliki oleh para pengikut Marx dan Lenin, dan dia sedih
karenanya. Tidak seperti yang dilakoni Malaysia yang menghapuskan
diskriminasi partai komunia malaysia dan Afrika Selatan yang mampu
menyelenggarakan rekonsiliasi nasional, Taufiq menyesali, mengapa
Indonesia negerinya ini tidak mampu lepas dari denam itu. Yang
anehnya, Taufiq mengatakan, dendam ini adalah pada kaum kiri. Dan dia
menggempur dengan pernyataan mestinya kaum ini mau melupakan dendam
itu dan sedia menciptakan perdamaian total dengan kelompoknya.

Taufiq yang bukan korban kebiadaban pembantaian berjuta-juta orang PKI
dan yang dianggap kelompoknya, malah minta para 'orang kalah' dalam
pertarungan di bawah Orde Baru itu untuk melupakan dendam dan mau
berdamai dalam perdamaian total. Namun tampak betul, semua sikapnya
dan emosi nada bicara, sekali lagi sangat tampak justru dialah yang
dendam. Sebuah dendam yang sangat aneh bagi sebagian besar orang yang
hadir sore itu. "Bukankah Taufiq bukan orang yang kalah dan menderita
dan terampas hak-hak azasinya selama puluhan tahun seperti halnya
orang-orang Lekra? Apa alasan utama Taufiq harus menunjukkan rasa
dendam dengan menunjukkan tangan ke orang-orang itu?"

Seorang anak muda yang duduk di dekat para pembicara terhormat itu pun
menyeletuk, "Taufiq pendendam!" Angin dendam macam itu pun menjadi
nyawa-nyawa yang telah binasa namun bergentayangan mencari kebenaran.
Seorang hadirin pun menanggapi presentasi dua orang plus seorang
moderator yang menurut penyelenggara malah menjadi pembicara ke tiga
itu. "Rekonsiliasi yang ditawarkan merupakan hal yang sangat
terlambat," katanya, "Sebab hal itu sudah dilakukan sejak lama." Putu
Oka Sukanta, orang itu, pun menceritakan kisah terlunta-luntanya ia
mencari harkat dan mengadakan perdamaian dengan berbagai kalangan yang
dulu menganiayanya. Bahkan, penganiayaan itu pun baru berkurang tahun
lalu, soal kepemilikan KTP seumur hidup bagi orang seumurnya yang baru
didapat setahun silam.

Ikranagara selaku moderator pun mengatakan rekonsiliasi sebetulnya
sudah berlangsung bertahun-tahun silam, seperti terjadi di Taman
Ismail Marzuki (TIM) di mana para seniman bebas untuk berkarya bersama
tanpa memandang dia aliran kiri atau kanan; Lekrais ataupun
Manikebuis. Beberapa penanggap pun menyatakan hal senada soal
perdamaian total atau rekonsiliasi itu. Di antaranya memintakan untuk
rekonsiliasi tentulah pihak-pihak yang berdamai mempunyai kesamaan
kedudukan secara hukum. Sungguh aneh bilamana dalam rekonsiliasi satu
pihak, Lekra, masih saja dirampas hak-haknya setidaknya hak secara
hukum dihapuskan dari cap bersalah dan terlarang, sebagaimana sampai
sekarang belum dihapusnya Tap MPRS No XXV tahun 1966 tentang
pembubaran dan pelarang PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Lekra yang
dicap juga sebagai underbouw PKI.

Adapun Taufiq Ismail menginginkan perdamaian total yang ditawarkan
adalah perdamaian tanpa mengaudit laksana perusahaan. Tentu saja dalam
hal ini tidak ada audit di sisi Lekra, dan di sisi lain tidak ada
audit pula bagi Manikebu. Beberapa hadirin yang menguatarakan
pendapatnya tampak sepakat tentang ketidakadilan dalam tawaran
perdamaian macam ini. Sungguh aneh bila yang berkuasa menuntut
perdamaian bagi sang pesakitan dan terhukum tanpa ada saling
mendudukkan perkara. Padahal yang disebutkan sebagai contoh Taufiq
adalah rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan, di mana sejatinya
sebelum rekonsiliasi nasional Pemerintah telah lebih dulu mengadakan
pengadilan secara hukum. Taufiq pun memberi contoh yang dianggapnya
paling dekat, Partai Komunis Malaya yang melakukan perdamaian nasional
tanpa prasyarat apapun dengan pemerintah Malaysia. Di buku yang
ditulis oleh JJ Kusni, terjawab segala kejanggalan tawaran Taufiq ini,
termasuk soal perdamaian di negeri jiran ini.

Memang, di buku JJ Kusni yang kemudian saya baca, tampak dengan rendah
hati JJ Kusni memberikan jawaban mendalam dan berprinsip terhadap
pernyataan-pernyataan Taufiq yang sejatinya pernyataan-pernyataan
permukaan dan tendensius. Posisi-posisi Kusni sebagai orang yang
bergaul pertama kali di kalangan seniman Jogjakarta adalah dengan
seniman yang kemudian menjadi Manikebuis namun hati nuraninya lebih
terpanggil ajaran Lekra, membawa Kusni menjadi bagian tak terpisahkan
dengan Lekra teristimewa dia adalah orang pertama di Lekra Jogjakarta
pada masanya, bersama saksi-saksi hidup di antara teman-temannya
termasuk Putu Oka Sukanta yang kemudian menjadi korban kekuasaan
sebagai tapol selama belasan tahun di Pulau Buru.

Para pelaku sejarah yang sore itu tersihir oleh undangan M Guntur
Romli yang melabel acara sebagai rekonsiliasi tampaknya merasa
terkecoh dengan kenyataan apa yang terjadi selama diskusi. Di sisi
Taufiq Ismail, ia tetap tanpa basa-basi melakukan penindasan
intelektual terhadap ideologi komunis yang sudah dibumihanguskan
penguasa, sementara selama tiga puluh dua tahun ia menjadi bagian
integral dari kekuasaan Soeharto, hingga setelah reformasi ini pun tak
juga ia terketuk hatinya untuk berkata secara lebih moderat seperti
yang diungkapkan Goenawan Mohamad yang secara tiba-tiba nongol dari
tempat tersembunyi dan ikut berbicara di akhir acara. Tak juga,
Taufiq, seperti Ikranagara ---yang juga penandatangan Manikebu
sebagaimana Taufiq dan Goenawan---- menyisakan sebuah pencarian baru
guna menjembatani Indonesia menuju masa depan dengan masalah kekinian
yang diberi tawaran Ikra mesti menggunakan ideologi posmoderen.

Taufiq masih anti komunis, dan menuntut kaum yang memahami dan
meyakini Marxisme-Leninisme ini membuang jauh-jauh ideologinya untuk
berjabat tangan dengan kelompoknya --- entah kelompok yang mana---
dalam suatu perdamaian total. Lantaran, dianggapnya komunisme sudah
gagal total sejak kelahiran Republik Proletariat pertama Uni Soviet
pada 1917 hingga keruntuhannya 1991. Dia pun menyalahkan komunisme tak
mampu menjawab tantangan jaman guna menyejahterakan dan memanusiakan
manusia. Sedangkan ia pun tak memberi jalannya, kalau pun jalannya
adalah keyakinannya, kita pun melihat apakah memang betul ideologinya
mampu menjawab apa yang tak mampu ---menurut Taufiq--- menjawab
tantangan jaman itu.

Pendeknya, sore itu, Taufiq adalah seorang anti komunis yang
menganggap JJ Kusni dan Lekra adalah komunis. JJ Kusni mengakui Lekra
bukan PKI, dengan demikian kekomunisannya pun dipertanyakan, meski
secara teori JJ Kusni mengaku Marxis dan dari bacaan di bukunya
tersirat varian Marxis yang macam apakah dia. Ikranagara di awal
pembicaraan jelas-jelas mengaku tak tahu menahu apa-apa soal
pertentangan Lekra Manikebu itu lantaran saat parahara dulu itu ia
masih SMP, dan tahu kemudian dari berbagai macam bacaan dan pergaulan.
dari perbincangan mereka di sini, sesungguhnya tidak ada apa-apanya
bagi Lekra dan Manikebu yang jelas-jelas dinyatakan keduanya tidak
mereka wakili. Mereka hanya mewakili diri sendiri.

Setidaknya tampak gambaran, Taufiq adalah pendandatangan Manikebu yang
belum berubah, jauh ketinggalan di banding para rekannya seperti
Goenawan Mohamad, Arief Budiman, apalagi Sanento Yuliman almarhum yang
mengaku betul-betul menyesal telah ikut menandatangani Manikebu
setelah tahu ada militer di belakangnya, hal yang membuat WS Rendra
tidak mau hadir dalam acara penandatangan Manifes itu. JJ Kusni adalah
anggota Lekra dan pengurus Lekra Daerah yang keyakinanannya terhadap
Marxisme mengalami perkembangan sesuai dengan varian yang ada.
Ikranagara merupakan cerminan pencarian lebih moderen dari modernisme.
Masing-masing mewakili dirinya sendiri, syukur-syukur ada banyak orang
yang seperti mereka. Kebetulan, ketiganya sepakat untuk berjabat
tangan bahkan berangkulan, terserah siapapun memaknai.

Yang juga perlu diperhatikan lagi sore hari itu adalah begitu banyak
mahasiswa dan mahasiswi ---yang di kemudian waktu diketahui berasal
dari salah satu universitas negeri di Jakarta--- yang dengan tekun
menyimak dan mencatat segenap 'cerita'-nya. Sedangkan bagi yang sudah
tahu duduk perkara semua hal ini, semakin mengokohkan betapa kosongnya
jargon-jargon dendam tanpa pembelajaran itu bila dilepas dari apa dan
siapa dan bagaimana di balik semua itu.

Selebihnya, pembacaan terhadap buku JJ Kusni akan menjawab sejauh mana
keyakinan terhadap perjuangan untuk anti penindasan dan anti
penghisapan dapat mewujudkan cita-cita bersama dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang pada saat perjuangan dan
pendiriannya segala kelompok tak peduli golongannya bahu membahu
membebaskan bangsa dan negeri ini dari penindasan dan penghisapan
kolonial dengan kolonialisme saat itu yang akan terus menyilih rupa
dalam berbagai wujud, sesudah itu, kini dan entah kapan lagi.
Mestinya, perbedaan ideologi itu tak menyebabkan pertikaian; namun
dalam front bersama, kesemua ideologi mampu duduk bersama menghadapi
tantangan bersama macam ini. (yonathanrahardjo)


Reply via email to