Maaf sekedar menyampaikan semoga berguna
 
 
 
   Salam TAPIAN 
( Edisi Maret 2009 ) 
 
Hari Perempuan Internasional diperingati di seluruh dunia pada tanggal 8 Maret. 
Sepanjang sejarah rezim Orde Baru Suharto yang 32 tahun, perempuan Indonesia 
dibungkam, tidak diperbolehkan merayakan Hari tersebut. Ini tidak saja 
mendurhakai kebebasan kaum perempuan untuk merayakan kemenangan mereka. Tetapi, 
juga ”meludahi” Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana Indonesia menjadi salah 
satu anggotanya, karena sudah menjadi keputusan badan dunia itu untuk 
memperingati Hari tersebut. Rezim Suharto dengan enteng menuduh Hari itu 
mendapat ilham dari kaum komunis internasional.
            Lagi-lagi perempuan Indonesia menjadi korban phobia negara. Hari 
Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret merupakan kulminasi 
dari keberhasilan kaum perempuan dalam mengangkat martabat mereka. Bukan karena 
hasil perjuangan seseorang. Gagasan mengenai perlunya satu hari untuk merayakan 
keberhasilan perempuan mulai menggema saat memasuki abad ke-20, ketika 
gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi kapitalistis menyebabkan 
munculnya protes-protes terhadap kondisi kerja (kaum perempuan). Sejarah 
mencatat kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist di New York tahun 1911 yang 
menyebabkan 140 perempuan tewas. Pada 8 Maret 1857, lagi-lagi di New York, 
buruh garmen memprotes kondisi kerja dan gaji yang rendah. 
            Tak ada bau komunisme yang menjadi musuh utama Orde Baru tercium 
dalam rangkaian penderitaan dan perlawanan perempuan itu. Agaknya, para 
penasihat Suharto mencap Hari Perempuan Internasional itu diilhami komunis, 
hanya karena Clara Zetkin, seorang sosialis Jerman, pejuang hak-hak perempuan, 
yang mula-mula mengusulkan diperingatinya Hari Perempuan Internasional pada 8 
Maret 1911.
            Setelah jatuhnya Suharto, dan bangkitnya kaum feminis, 8 Maret 
dirayakan dengan gairah yang besar. Layaknya hak yang sudah kembali. TAPIAN pun 
merayakan kegairahan yang sama. Gairah agar terus membuka tirai peringatan Hari 
itu sebagai pintu masuk untuk membahas sejauh mana perempuan di negeri ini 
sudah menemukan haknya untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang 
ditimpakan pada mereka, kaum yang ditakdirkan untuk melahirkan dan mengayomi.
            Banyak tulisan di majalah ini yang terkait secara langsung mengenai 
perempuan di bulan Maret ini. Dalam Sudut Pandang tulisan memang kami sengaja 
untuk menggali kembali ingatan kita kala berlangsungnya Tragedi Mei 1998. 
Tragedi pemerkosaan massal yang dikabarkan juga sistemik kepada etnis yang 
sering dianggap dan diperlakukan sebagai minoritas. Tragedi yang pada akhirnya 
mendorong para perempuan mendatangi Istana Negara menemui petinggi di Republik 
ini. Hingga keluarlah Komnas Perempuan. Tulisan di Sudut Pandang yang berjudul 
“Perjuangan Panjang Untuk Martabat Perempuan” ini juga berisikan hasil dari In 
depth interview dengan Saparinah Sadli dan Mely G Tan. Selain juga ada hasil 
transkrip wawancara dengan mantan first lady di republik ini yaitu Shinta 
Nuriyah Wahid yang juga berkomentar, “Kalau Sudah Emosi Tak Ingat 
Undang-Undang.” Yenny Wijaya selaku Koordinator Divisi Penelitian dan 
Pengembangan Komnas Perempuan juga
 menuliskan “Sepuluh Tahun Komnas Perempuan ”.  
Kali ini sengaja tak hanya cukup di satu rubrik saja, selanjutnya dalam Kritik 
Betty Sitanggang selaku Asisten koordinator divisi pemantauan Komnas Perempuan 
juga menyumbangkan tulisan “Perempuan dan Kekerasan yang Dalam Rumah Tangga.” 
Sosok di bulan ini juga mengangkat Kamala Chandrakirana yang hingga kini dalam 
masa akhir menggawangi lembaga Komnas Perempuan. Dia mengatakan bahwa selama 
ini ”Dialog Yang Menjaga Saya.” Hingga Spiritualitas pun masih terkait dengan 
perempuan. Pendeta Sylvana Apituley pengajar di STT Jakarta melakukan otokritik 
dengan tulisan ”(Ber)Teologi Keadilan Dari Perspektif Perempuan Korban 
Kekerasan.” Herankah Anda kalau pelecehan seksual juga terjadi di gereja? Dan 
bahwa karena gereja adalah tempat yang suci maka pelecehan terhadap perempuan 
dianggap otomatis tidak ada. Uraian seorang pendeta Sylvana Apituley ini 
mempersoalkan sejauh mana peran gereja dalam melindungi hak dan martabat 
perempuan. Semoga ini semua bisa
 menyemati kembali Perjuangan Panjang Martabat Perempuan dengan momentum Hari 
Perempuan Internasional di bulan ini.      
            Di Medan, mereka yang berjuang untuk sebuah provinsi Tapanuli 
kelihatannya kehilangan akal sehat, dan menganggap DPRD Sumatera Utara 
menghambat upaya mereka untuk membebaskan Tapanuli dari kemiskinan. Dalam 
sebuah kemelut di gedung DPRD, Abdul Azis Angkat, sang ketua, yang sudah 
terkulai mereka paksa untuk menandatangi persetujuan. Tak ada tanda tangan. 
Yang ada sebuah tragedi dan pemerintah pun memutuskan menutup pintu bagi upaya 
pemekaran wilayah. Akankah cita-cita sebuah provinsi Tapanuli akan hidup terus? 
Apakah laporan Dari Rantau menjawab pertanyan sidang pembaca?
            Jangan besar pasak dari tiang. Kalau sedang di Jakarta  jangan 
bikin rencana besar. Mengapa harus ke Bali, Danau Toba, Bunaken atau Batu 
Raden. Wisata berkata: Datanglah ke Ciseeng. Di situ ada spa air hangat yang 
menyehatkan. Yang bertubuh tambun bisa tidur sambil mengapung! Sebelum pulang 
santap dulu gurame bakar. Sambalnya benar-benar mak nyoos...
            Jakarta Biennale 2009 membuat Ibu Kota menjadi elemen penciptaan 
karya seni, di mana kita bisa menyaksikan mural di sepanjang dinding jalan, di 
pusat pertokoan, di cafe dan mal. Enak dan segar kelihatannya. Tapi, keputusan 
untuk menggelar karya seniman di bawah usia 40 bisa dianggap orang sebagai 
blunder. Mampirlah di rubrik Galeri Seni. Pertemuan kita akhirnya ditutup oleh 
Si Om Galung dengan mengajak membuka papan catur untuk Studi Pemainan Akhir.
 
 
Redaksi TAPIAN 
Budaya untuk Kemanusiaan 


      Selalu bisa chat di profil jaringan, blog, atau situs web pribadi! Yahoo! 
memungkinkan Anda selalu bisa chat melalui Pingbox. Coba! 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Reply via email to