Dua hari yang lalu, gedung baru untuk Panti Asuhan Budi Luhur yang pernah 
menjadi rumah saya dalam waktu yang cukup lama akhirnya diresmikan juga. Saya 
mengetahuinya dari sebuah postingan dalam sebuah milis yang saya ikuti.

Ketika membacanya emosi saya langsung tersulut dan menyemburkannya kepada 
Nasaruddin, bupati yang bertanggung jawab atas penjualan lahan dan pembangunan 
gedung baru Panti Asuhan ini.

Tulisan saya tersebut langsung ditanggapi oleh seorang miliser bernama Aulia, 
yang langsung menggurui saya dengan mengatakan "Bang Win, kita justru 
sebaliknya mesti bersyukur, pemda mau ngurus anak2 yatim itu. Kalo bukan pemda 
dan kita, siapa lagi yang mau ngurus. 120 anak yatim itu mestinya jg tanggung 
jawab kita bersama. Dan itu bukan jumlah yang sedikit. Apayang udah kita 
lakukan buat mereka??? Ada yang berani jawab???"

Saya merasa miris membaca tulisan yang begitu mengagungkan Pemda ini, apalagi 
ketika dia mengatakan SEHARUSNYA kita bersyukur karena pemda mau ngurus 120 
anak yatim itu. Ucapan ini mengingatkan saya pada Harmoko, menteri penerangan 
di masa orde baru dulu yang terkenal dengan ucapan khasnya "menurut petunjuk 
bapak presiden". 

Menurut saya, tulisan ini jelas adalah propaganda murahan dan menyesatkan khas 
pemerintahan di masa lalu, yang terbiasa memanipulasi fakta untuk 
membodoh-bodohi rakyatnya.

Indikasi adanya pembodohan ini terlihat jelas dari pernyataannya yang 
mengatakan bahwa anak-anak yatim itu diurusin oleh Pemda. Melalui kata-kata ini 
penulis ini seolah-olah mengatakan anak-anak Panti Asuhan itu bisa hidup karena 
kebaikan hati pemda di bawah pimpinan Nasaruddin sebagai bupati. 

Pernyataan ini jelas sesat, karena dari dulu itu anak yatim di Panti Asuhan itu 
dibiayai oleh Depsos, mungkin kali ini sudah ada dana khusus ke sana dari pemda 
tapi itu bukan dana dari kantong pribadi mereka. Sudah ada dana khusus yang 
memang sudah HAK anak-anak yatim itu.

Ketika dia katakan 120 anak yatim itu adalah jumlah yang banyak ini juga sesat. 
120 adalah jumlah yang sangat sedikit untuk ukuran kabuapten dengan jumlah 
penduduk sebanyak Aceh Tengah. Buktinya sedikitnya jumlah 120 adalah fakta 
bahwa di Aceh Tengah masih banyak Panti Asuhan Non Pemerintah yang menampung 
anak-anak yatim dari kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang tidak mampu 
ditampung oleh Panti Asuhan Budi Luhur.

Jadi kalaulah PEMDA yang dia puja-puja itu mengeluarkan uang 1,8 milyar itu 
niatnya memang tulus untuk membantu anak yatim. Maka uang itu jelas akan jauh 
lebih berguna jika digunakan untuk menambah kapasitas Panti yang sekarang cuma 
mampu menampung 120 orang anak itu. 

Dengan uang sebanyak itu sebenarnya PEMDA yang sangat dia banggakan itu bisa 
membangun beberapa gedung sederhana di bagian tanah panti yang sudah mereka 
jual ke BPD Aceh Tengah. Itu kalau PEMDA mau menambah kuantitas pelayanan. 

Kalau Pemda mau menambah kualitas, dana sebanyak itu bisa dijadikan dana abadi 
untuk menunjang pendidikan anak-anak panti yang berprestasi supaya bisa kuliah 
sampai di perguruan tinggi. Katakan dari dana sebesar itu bisa didapatkan 
keuntungan 1% saja sebulannya. Maka akan ada uang 18 juta per bulan, yang lebih 
dari cukup untuk membiayai sepuluh orang anak Panti yang berprestasi sampai 
tamat kuliah. Sehingga tidak seperti sekarang, anak-anak Panti yang berprestasi 
harus menunggu kebaikan para dermawan untuk bisa melanjutkan kuliahnya dan 
beresiko gagal di tengah jalan karena kekurangan pasokan dana. Hal seperti ini 
pernah terjadi belum lama ini terhadap seorang alumni Panti Asuhan ini yang 
bernama Mukti yang diterima di ITB (Institut Teknologi Bandung) tapi terpaksa 
D.O di semester 5 karena ketiadaan biaya.

Tapi kenapa pilihan-pilihan seperti yang saya katakan itu tidak diambil oleh 
PEMDA yang sangat dibanggakan oleh Aulia yang mengomentari tulisan saya 
ini?...jawabannya adalah karena kalau peruntukan uang tersebut untuk menambah 
kapasitas panti, proyeknya terlalu kecil. Sehingga dari uang yang 1,8 milyar 
itu, bupati dan para TIM SUKSES yang dulu membantunya menjadi bupati tidak akan 
mendapatkan apa-apa. Kalau digunakan untuk menambah kapasitas panti, uang 
tersebut tidak akan bisa dialokasikan untuk membuat proyek fisik berskala besar 
yang pengerjaannya diberikan kepada para kontraktor yang dulu menjadi TIM 
SUKSES Bupati Nasaruddin, pimpinan PEMDA Aceh Tengah yang begitu dibanggakan 
oleh yang mengomentari tulisan saya ini.

Lalu ketika dia bertanya, "Apa yang udah kita lakukan buat mereka??? Ada yang 
berani jawab???"...ya jelas saya sebagai mantan penghuni Panti Asuhan Budi 
Luhur yang tahu persis detail isi dapur panti asuhan ini berani menjawabnya.


Jawaban pertama saya terhadap pertanyaannya ini adalah "pertanyaan ini salah". 
Kesalahan pertanyaan ini terletak pada kata KITA yang dia gunakan dalam 
pertanyaan tersebut, Ketika Aulia mengatakan KITA berarti yang dia maksudkan 
adalah dia sendiri dan semua orang yang membaca tulisannya. Padahal masalah 
yang dia tanyakan tersebut adalah masalahnya sendiri bukan masalah orang-orang 
yang membaca tulisannya.

Pertanyaan yang dia lontarkan ini juga adalah pertanyaan yang terlalu angkuh 
dan semena-mena, seolah-olah dialah pusat dunia. Sehingga kalau dia tidak 
pernah berbuat berarti orang lain juga pasti tidak berbuat. Ini adalah 
logikanya orang gila. Saya sebut begitu karena tidak seperti dia yang tidak 
pernah berbuat apa-apa, bisa jadi beberapa pembaca tulisannya telah banyak 
berbuat untuk Panti Asuhan Budi Luhur.

"Ketika dia katakan, 120 anak yatim itu mestinya jg tanggung jawab kita 
bersama". Itu bukan hanya mestinya tapi memang begitulah kenyataannya dan 
begitulah yang sudah terjadi selama ini yang saya lihat, saksikan dan alami 
sendiri selama keberadaan saya di Panti Asuhan Budi Luhur. 

Uang dari PEMDA dan Departemen Sosial yang diterima oleh Panti Asuhan Budi 
Luhur selama ini, sebenarnya sama sekali tidak mencukupi untuk memenuhi 
kebutuhan anak-anak Panti Asuhan itu secara layak. 

Uang untuk makan mungkin cukup. Tapi untuk pembayaran uang kegiatan sekolah dan 
SPP, jajan, pakaian sekolah, pakaian lebaran, buku-buku, olah raga, ekstra 
kurikuler lainnya dan lain sebagainya. Uang untuk kebutuhan-kebutuhan itu sama 
sekali tidak mencukupi kalau Panti Asuhan Budi Luhur hanya dengan mengandalkan 
uang dari Pemerintah.

Lalu kenapa selama ini anak-anak panti asuhan itu bisa mengenakan pakaian 
sekolah yang layak, buku sekolah yang memadai, punya uang jajan, kebutuhan gizi 
yang mencukupi, berprestasi dalam bidang olah raga dan seni?...bahkan beberapa 
anak yang berprestasi dari Panti Asuhan ini bisa kuliah sampai di ITB segala.

Itu adalah karena KAMI (saya sebut begitu karena si penulis komentar ini tidak 
termasuk di dalamnya) orang-orang Aceh Tengah dan Bener Meriah merasa anak-anak 
di Panti Asuhan Budi Luhur itu adalah tanggung jawab kami bersama. Dana untuk 
kebutuhan seperti itu datang dari sumbangan orang-orang Aceh Tengah dan Bener 
Meriah yang merasa bertanggung jawab terhadap anak-anak yatim yang tinggal di 
Panti Asuhan itu. 

Siapa para penyumbang yang merasa bertanggung jawab terhadap para anak yatim di 
Panti Asuhan itu?...Semua kalangan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, tidak 
peduli apa profesi, suku dan agamanya. Mulai dari orang Gayo tukang becak, 
kenek labi-labi, kontraktor, pegawai negeri sampai toke Kopi. Lalu orang Batak 
penjual kain monza, orang Aceh penjual ikan dan kelontong, orang Minang penjual 
nasi padang dan kain di pasar inpres, sampai pedagang Cina penjual, emas, 
elektronik dan lain-lainnya. Para penyumbang itu kadang berasal dari 
Jamat,Isak, Angkup, Ponok Baru, Wih Tenang dan lain sebagainya. Bahkan para 
penyumbang itu bukan hanya warga Aceh Tengah dan Bener Meriah saja. Malah ada 
orang Cina warga negara Taiwan yang secara teratur menyumbang ke Panti Asuhan 
ini setiap tahunnya. Dia menyumbang ke Panti Asuhan ini karena bapaknya dulu 
tinggal di Takengen. Dulu sewaktu dia masih kecil, bapaknya selalu 
menyumbangkan sesuatu entah itu uang atau pakaian atau kue-kue ke Panti Asuhan 
ini. Kebiasaan bapaknya ini tetap diikuti oleh anaknya yang sekarang telah 
menjadi warga negara taiwan ini, meskipun anaknya itu sekarang bukan lagi warga 
RI. Tapi si anak pernah tinggal di Takengen ini tetap merasa  memiliki tanggung 
jawab pribadi terhadap nasib anak-anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur.

Mereka ini tidak pernah sepi menyumbang ke Panti Asuhan Budi Luhur melalui 
sumbangan yang berbagai bentuk. Entah itu berupa uang tunai, beras, pakaian, 
kue-kue sampai kambing, kerbau dan sapi. Pernah saking banyaknya kambing yang 
disumbangkan ke Panti Asuhan ini saat hari raya Idul Adha, saya dan beberapa 
orang anak panti lainnya yang sudah cukup besar, terpaksa mendapat tugas 
tambahan menguliti tiga ekor kambing seorang dalam satu hari.

Sumbangan-sumbangan tanpa pamrih yang selama ini mengalir deras ke Panti Asuhan 
Budi Luhur itu ADALAH BUKTI JELAS TANGGUNG JAWAB dan RASA MEMILIKI warga Aceh 
Tengah dan Bener Meriah terhadap panti Asuhan Budi Luhur yang sama sekali tidak 
pernah dipedulikan oleh si penulis komentar tulisan saya itu.

Berkat dukungan yang begitu besar yang diberikan warga Aceh Tengah dan Bener 
Meriah pada Panti Asuhan Budi Luhur, pada ada pertengahan tahun 90-an, Panti 
Asuhan ini dianugerahi gelar PANTI ASUHAN TERBAIK Se-INDONESIA oleh Presiden 
saat itu yang masih dijabat oleh Soeharto.

Lalu berkat dukungan masyarakat yang begitu besar di dalam kompleks Panti 
Asuhan itu, dulu sempat berdiri sebuah mesjid yang dibangun tanpa sepeserpun 
dana dari PEMDA, Mesjid itu dibangun sepenuhnya dengan uang sumbangan 
orang-orang ACEH TENGAH dan BENER MERIAH yang merasa anak-anak yatim penghuni 
panti Asuhan Budi Luhur adalah tanggung jawab mereka bersama. 

Mesjid itu terletak di bagian tanah Panti  yang sekarang telah menjadi milik 
BPD Aceh karena dijual oleh NASARUDDIN.

Setelah menjual mesjid yang dibangun atas sumbangan orang-orang ACEH TENGAH dan 
BENER MERIAH yang merasa anak-anak yatim penghuni panti Asuhan Budi Luhur 
adalah tanggung jawab mereka bersama. Mesjid yang selama ini digunakan sebagai 
tempat beribadah oleh anak-anak yatim penghuni panti dan warga sekitarnya. 
Dengan air mata buayanya saat peresmian gedung Panti yang dikerjakan para Tim 
Suksesnya, bupati Ir. H. Nasaruddin,MM yang sangat suka mengutip ayat-ayat suci 
Al Qur'an ketika bertemu warganya itu mengatakan Panti Asuhan ini masih 
memerlukan keberlanjutan pembangunan sarana ibadah (mushola). 

Lalu ketika saya membaca dalam berita yang dipost oleh Humas pemda Aceh Tengah 
itu menggambarkan seolah-olah keadaan anak-anak Panti Asuhan itu sekarang jauh 
lebih baik ketika Aceh Tengah di bawah pimpinannya. Hal sebaliknya saya 
dapatkan ketika saya datang sendiri ke Panti Asuhan itu.

Beberapa waktu yang lalu, saat saya mengunjungi Panti Asuhan yang pernah lama 
menjadi rumah saya ini, saya mendapatkan cerita yang jauh berbeda dari gambaran 
yang dipublikasikan oleh HUMAS PEMDA melalui siaran persnya. Saat saya 
berkunjung sendiri ke panti Asuhan itu. Ketika meilihat saya datang, adik-adik 
saya penghuni panti asuhan itu langsung mengadu kepada saya. Mereka mengatakan 
bahwa kondisi panti asuhan sekarang jauh lebih sulit dibandingkan kondisi saat 
saya masih berada di sana dulu. Menurut adik-adik ini sekarang ketika mereka 
minta uang untuk keperluan sekolahpun pengurus panti sering mengatakan TIDAK 
ADA DANA.

Saya melihat cukup banyak kejanggalan dan bau-bau kolusi dalam pembangunan 
gedung panti asuhan ini. Tapi begitulah wartawan-wartawan yang ada di Aceh 
Tengah sepertinya memang tidak berminat untuk mengangkat masalah-masalah 
seperti ini. Karena memang sudah menjadi rahasia umum kalau meskipun tidak 
semuanya, tapi rata-rata wartawan yang mangkal di kabupaten ini biasa 
mendapatkan amplop dari Humas Pemda.

Kejanggalan-kejanggalan dalam urusan penanganan Panti Asuhan ini semakin 
terlihat kentara saat kita melihat fakta bahwa penjualan lahan panti asuhan 
yang dilakukan oleh Nasaruddin beberapa waktu yang lalu juga sangat kental 
kesan ditutup-tutupi. Buktinya, jangankan orang Gayo yang tinggal di luar Aceh 
Tengah. Bahkan para warga yang tinggal di sekitar Panti Asuhan Budi Luhur yang 
sempat saya temuipun rata-rata tidak mengetahui kalau bagian paling strategis 
lahan Panti Asuhan itu sudah dijual oleh BUPATI.

Keadaan ini diperburuk oleh sikap umum sebagian besar masyarakat di Aceh Tengah 
yang kurang kritis terhadap kebijakan Pemda dan kemungkinan penyalah gunaan 
kekuasaan oleh penyelenggaranya. Contohnya ya seperti si penulis komentar ini 
(seandainya benar dia cuma rakyat biasa dna bukan bagian dari pemda), dengan 
membaca informasi yang ada dalam siaran pers yang dipublikasikan oleh Humas 
Pemda, dia langsung menelan bulat-bulat dan mensyukurinya.

Di Aceh Tengah, Kalaupun ada sorotan dari masyarakat terhadap bupati, biasanya 
itu bukan soal kinerjanya, tapi urusan pribadinya. Seperti dulu tahun 1992 
ketika TM. Yusuf Zainoel dilengserkan dari jabatannya karena dituduh 
berselingkuh.

Nasaruddin juga sama, diapun pernah jadi sorotan di Aceh Tengah dan itu bukan 
karena urusan penyalahgunaan jabatan, tapi karena urusan pribadinya.Nasaruddin 
menjadi sorotan di Aceh Tengah ketika pada masa kampanye untuk menjadi bupati 
istri pertamanya meninggal dunia dan kemudian untuk mengisi kekosongan jabatan 
calon ketua PKK di masa jabatannya seandainya dia terpilih menjadi Bupati. 
Nasaruddin memutuskan untuk menikahi seorang gadis belia yang reputasinya 
dikenal kurang baik. 

Begitu hebohnya berita tersebut saat itu sehingga popularitas Nasaruddin 
menurun drastis dalam pemilu, sampai-sampai konon dia sampai harus menurunkan 
tim suksesnya untuk memanipulasi data suara, sampai ada pembakaran kotak hasil 
suara segala. Oleh lawan-lawan politiknya pembakaran kotak suara ini disinyalir 
dilakukan oleh Nasaruddin untuk menghilangkan bukti-bukti kecurangannya. 
Masalah ini sempat menimbulkan konflik berkepanjangan dan cukup lama menunda 
pelantikannya.  

Padahal kalau masyarakat mau berpikir jernih dalam hal ini, sebenarnya apa 
urusan kita dengan masalah pribadi Nasaruddin, apa urusan kita dengan urusan 
pribadinya mau menikah dengan siapa, kalau dia mau dia menikah sama 
nenek-nenek, atau dia mau menikah sama janda, perawan dan sebagainya, itu 
adalah urusan pribadinya. Dan sebenarnya masyarakat sama sekali tidak berhak 
untuk mengurusinya.

Yang menjadi urusan masyarakat adalah masalah Nasaruddin dalam kapasitasnya 
sebagai pejabat publik, yang menjadi hak masyarakat untuk mempertanyakan dan 
bahkan melakukan "class action", adalah ketika dia menyalahgunakan jabatannya.

Nah dalam kasus penjualan lahan dan pembangunan gedung Panti Asuhan Budi Luhur 
ini saya jelas sekali mencium aroma penyalahgunaan kekuasaan oleh  Nasaruddin. 
Penjualan lahan panti ini terkesan sangat ditutup-tutupi. 

Tapi itulah ajaibnya, semua kalangan yang berpengaruh di Aceh Tengah diam 
seribu bahasa atas apa yang dilakukan Nasaruddin, menutup mata atas kezaliman 
yang dilakukan oleh Nasaruddin terhadap anak-anak penghuni Panti Asuhan Budi 
Luhur.

Saya sendiri sebagai mantan penghuni Panti Asuhan Budi Luhur yang mencium jelas 
aroma penyalahgunaan kekuasaan oleh Nasaruddin dalam masalah penjualan lahan 
dan pembangunan gedung baru Panti Asuhan ini terus terang berniat melakukan 
"Class Action" terhadap Nasaruddin, saya menginginkan ada sebuah lembaga netral 
yang meneliti kejanggalan-kejanggalan dalam proses pembangunan dan penjualan 
lahan panti itu. Tapi saya tidak tahu caranya.

Adakah sebuah lembaga pemerintah, LSM atau lembaga apa saja yang bisa membantu 
saya? 

Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penguni Panti Asuhan Budi Luhur
www.winwannur.blogspot.com

Kirim email ke