Sejak kapan bahwa novel dimasukkan sebagai karya non fiksi? Bahwa sebuah novel tidak punya nilai sastra itu bisa saja, tapi tetap saja sebuah novel adalah karya fiksi. Sebuah karya non fiksi tapi bagus bahasanya dan enak dibaca, orang bisa menilianya sebagai karya yang punya nilai-nilai sastra tertentu meskipun tetap saja bukan karya sastra. asahan aidit.
----- Original Message ----- From: andre andreas To: kerja.pembeba...@gmail.com Sent: Saturday, March 14, 2009 10:16 AM Subject: #sastra-pembebasan# Kegagalan Sastra Dalam Pemberadaban (Agama? Iptek? Filsafat? Catatan Lepas Dari Diskusi Sastra dan Pemberadaban yang diselenggarakan Bale Sastra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya (Sastra dan Peradaban 2) Baca juga artikel sebelumnya Sastra dan Peradaban (1) : Pada Awal Mula Segala Sastra adalah Religius. http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/sastra-dan-peradaban-2.html Dalam diskusi di Bentara Budaya Thamrin Tamagola sempat berbagi kehadirannya pada satu seminar mengenai Pancasila, dimana ia mengusulkan untuk menjawab tantangan jaman dan menjadikannya lebih kontekstual maka bisa saja urutan sila-sila dirubah. Ia mengusulkan urutan sila-sila terkait sebagai berikut : kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, baru persatuan dan terakhir keTuhanan. Ia mengingatkan soal kekejaman di Aceh, Timor Leste, Papua yang berpangkal pada tafsir persatuan yang ngawur, juga tafsir agama yang menghasilkan kekerasan-kekerasan dan konflik-konflik keras bermotif agama. Bagi saya inilah penjelasan yang paling tepat tentang pilihan pada religiositas bukan agama. Sebagai gerak akal, budi, rasa, nurani untuk mewujudkan kemanusiaan dan sekaligus keadilan sosial. Persoalan religiositas sebagai gerak vertikal manusia dan Penciptanya bukan semata-mata atau bahkan tidak berarti apa-apa tanpa peluberan ke bumi, tanpa wujud sebagai kasih kepada sesama. Demikian esensi dari agama manapun, sebagai sebuah perjalanan sebuah misi menuju pembebasan, kemanusiaan dan keadilan. Karena itu saya masih melihat relevansi simpulan Pada Awal Mula Segala Sastra adalah Religius. Dengan demikian saya meyakini religiositas sebagai sebuah karya sastra yang baik atau dalam konteks diskusi ini sebagai jalan pemberadaban, Religiositas bisa bekerja tanpa keyakinan agama apapun, bahkan bisa jadi tanpa tuhan manapun, sepanjang manusia mewujudkan panggilan nuraninya untuk kemanusiaan dan keadilan. Adab Bukan "Adab" Bila diskusi ini membahas Sastra dan Peradaban maka pemberadaban yang dimaksud menyasar masyarakatt atau tatanan masyarakat dimana kemanusiaan dan keadilan menjadi wujud. Dalam diskusi ini Thamrin Tamagola menyoroti lebih jauh dan sekaligus melakukan klarifikasi pengertian adab dan perberadaban. Dengan meninjau asal-asul kata adab yang diambil dari bahasa Arab, dalam konteks tema sastra dan pemberadaban maka menurutnya kata yang lebih tepat sebenarnya adalah Tamadun. Adab pararel dengan konsep Civilized Society sedangkan Tamadun pararel dengan konsepsi Decent Society. Pembedanya adalah yang pertama memiliki bekerja dalam lingkup pribadi, hubungan antara individu, sedangkan yang kedua memiliki lingkup institusi atau sistim dan struktur kemasyarakatan. Secara khusus ini juga sebagai tanggapan atas presentasi Putu Wijaya -Kegagalan Sastra Dalam Pemberadaban-, terkait pernyataannya tentang ketidakadaban bangsa ini dengan contoh-contoh perilaku menyimpang seperti mutilasi, kekerasan, korupsi dll. Tanpa memberikan sorotan terhadap persoalan yang lebih bersifat struktural dan sistemik. Sementara Thamrin Tamagola tegas melihat misalnya sistim kapitalisme neoliberal (juga patriarkhi) sebagai ancaman kemanusiaan dan akar ketidakadilan. Secara khusus ia menyoroti tentang penindasan rangkap terhadap perempuan dan alam (lingkungan hidup). Menurut saya kalau kita kembali ke Pancasila diatas maka ketika kita bicara tentang pemberadaban adalah bicara pada tingkat perjuangan mewujudkan stuktur dan sistim kemasyarakatan yang mengacu kepada ke 5 nilai Pancasila tersebut. Sastra Bukan “Sastra” Lantas apa yang disebut dengan sastra itu sendiri, apakah semua karya-karya non fiksi dapat disebut sastra. Bagi Putu Wijaya sastra adalah semua bentuk ekspresi dengan bahasa sebagai basisnya. Sehingga terangkum pulalah yang tidak tertulis (sastra lisan) yang memiliki bobot ekspresi lewat bahasa. Hanya memang menurutnya ada perbedaan kualifikasi sastra yang hanya menghibur sebagai klangenan ada sastra yang serius. Sastra serius inilah yang dapat berperan dalam pemberadaban. Sementara Jakob Sumarjo menganggap tidak semua karya non fiksi seperti novel dapat disebut karya sastra. Penilaian Jakob Sumarjo bahwa Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta tidak masuk dalam kategori sastra sempat dipertanyakan oleh beberapa orang peserta diskusi. Sementara Putu Wijaya menilai bahwa kedua novel ini adalah juga karya sastra, tetapi ujarnya karya-karya sejenis novel tersebut tidak akan pernah menembus kriteria nobel sastra. Menurutnya ada kualifikasi khusus yang disyaratkan untuk karya-karya sastra yang lebih serius ini. Jakob Sumarjo dan Putu Wijaya nampaknya tidak dapat dengan lugas dan sistimatis menjelaskan argumennya serta kualifikasi ‘sastra’ ini. Malahan Tamagola yang sosiolog itu lebih mampu merumuskan kriteria dan kualifikasi ini. Kriteria ini pada akhirnya juga menjelaskan tentang karya sastra macam apakah yang mampu memainkan peran perberadaban. Menurutnya ada 4 kriteria yakni karya yang kontekstual dengan keadaaan atau situasi masyarakatnya. Kedua, menjangkau persoalan kemanusiaan yang mendalam atau menyangkut hakekat kemanusiaan yang mendasar . Ketiga, menyangkut soal strategis dan krusial untuk peradaban dan kemanusiaan. Dan terakhir, diungkapkan secara indah atau memiliki kadar estetika yang bermutu. Barangkali secara ringkas bisa diurut kontekstual, mendasar/mendalam, visioner dan indah. Dengan demikian menurut saya sang seniman punya cara pandang, sudut pandang yang berbeda dengan umumnya masyarakat kebanyakan. Atau mereka mampu menangkap esensi persoalan secara mendalam, melihat dan menangkap persoalan kemanusiaan secara holistik dengan pandanga kritis sekaligus visioner. Meminjam Henry de Pene yang dikutip dalam buku Max Havelaar, “hampir semua cucu Homeros…. mereka melihat apa yang tidak kita lihat; pandangan mereka menembus lebih tinggi dan lebih dalam dari penglihatan kita”. Atau dalam penjelasan Jakob Sumardjo, mencuplik Dead Poet Society, dimana sang guru sastra naik keatas meja dan memandang dari ketinggian suasana kelas dan menemukan perspektif yang berbeda. Itulah mata dan dunia penciptaaan para penyair atau sastrawan pada umunya. (bersambung) baca juga Kegagalan Sastra Dalam Pemberadaban (Putu Wijaya) http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=32 Sastra dan Perberadaban di Indonesia (Jakob Sumardjo) http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=31 Sastra dan Pemberadaban: Hasil Survey terhadap Pembaca Sastra http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=33 [Non-text portions of this message have been removed]