NB:

Inilah buku pertama dari 10 (sepuluh) judul buku yang akan
diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur dalam tahun ini.

 

TEATER DAN KEMBARANNYA

Antonin Artaud



Diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris

The Theatre and Its Double, Antonin Artaud, Grave Press, 1994



Penerjemah:

Max Arifin



Editor:

Abdul Mukhid



Desain sampul:

R Giryadi



Tata letak:

Zahiria



Pracetak:

Ribut Wijoto, Abdul Malik



Diterbitkan pertama kali dalam edisi Bahasa Indonesia oleh

Dewan Kesenian Jawa Timur

Jl.Taman Mayangkara 6

Surabaya 60241

Telp/fax 031-5610432

email:dk_ja...@yahoo.com





Kerjasama dengan:

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Propinsi Jawa Timur



Cetakan pertama:

Februari 2009



ISBN:

978-979-18793-0-9



Tebal:

X+74 halaman





 

Untuk mendapatkan buku ini, silakan mengajukan permohonan
via surat/email/fax:

Kepada Yth

Sdr. R Giryadi, Ketua Komite Teater

Dewan Kesenian Jawa Timur

Jl. Taman Mayangkara 6

Surabaya
60241

Tel/fax 031- 5610432

Email:dk_ja...@yahoo.com, zahi...@yahoo.com

Hp 081 330 65 78 45

 

Terima kasih.

 

 



Daftar Isi

Pengantar

Teater dan Kembarannya

Tentang Teater Bali

Mise en Scene dan Metafisik

Teater Kimia (Alchemist Theatre)

Teater Kejam (The Theatre of Cruelty) First Manifesto

Surat-surat tentang Cruelty.

Teater dan kekejaman

Surat tentang Bahasa

Teater dan wabah

Tak ada lagi Adikarya

Teater dan Perpuisian

Teater Oriental dan Teater Barat

Pertama-tama Teater adalah Ritualistik dan Magik

Sebuah Athleticism yang afektif

Teater dan Kebudayaan

Teater dan Dewa-Dewa

Medea tanpa api







Kata pengantar

Serpihan-serpihan Tubuh



Setelah menonton teater Bali, akumulasi
kegelisahan Antonin Artaud yang selama ini dipendamnya, seperti mendapat
pembenarannya. Sentuhannya dengan pertunjukan Teater Bali di Paris sekitar
tahun 1931 itu, seperti menjadi hulu ledak obsesi Artaud untuk menciptakan
idelaisasi teater yang digelisahkan sejak tahun-tahun sebelumnya atau sejak ia
diasingkan oleh teman-temannya dalam gerakan sastra Surrealismenya. 

Tidak hanya teater Bali tetapi juga karya seni rupa yang tersimpan dalam museum
Louvre, karya Leyden dari abad 15 berjudul The
Daughters of Lot . Film karya Marx Brothers yang berjudul Monkey Business,
telah menjadi pendorong keinginan Artaud untuk menciptakan teaternya yang
dikemudian hari disebutnya sebagai teater kejam, The Theatre of Cruelty.

Bagi Artaud ketiga karya di atas, memiliki kesamaan atas konsepsinya tentang
teks teater yang telah mendominasi panggung dan actor selama betahun-tahun di
seluruh dataran Eropa. Menurut Artaud, lewat gesturnya, Teater Bali mampu
memberikan daya magis yang mengancam teks-teks verbal. Begitu juga dengan
lukisan Leyden dan filmnya Max Brothers. 

Artaud memandang lukisan Leyden sebagai hasil
dari arah kreatif yang diuraikan secara indah, seperti layaknya penguasaan atas
suatu tontonan yang teatrikal yang digubah, disusun di atas pentas, diwujudkan
di atas pentas, tanpa dialog atau teks. Artaud juga melihat lukisan itu sebagai
suatu paduan, assembling, dan penyampaian eksplosi-eksplosi (ledakan-ledakan)
suara untuk memperjelas pengaruh visualnya (its visual impact).

Menurut Artaud, film Max Brothers, memiliki pembebasan yang lengkap dan
perobekan (penghancuran) terhadap realitas. Peristiwa itu menurut Artaud
memiliki potensi untuk menimbulkan ledakan yang merusak. Artaud memandang dengan
kagum terhadap kekuatan gelak tawa (the power of laughter) yang bisa
menimbulkan transformasi secara tiba-tiba. Ia menekankan kualitas pemberontak
yang terdapat pada ledakan, keributan, dan gerakan (movement) dalam film-film
Marx Brothers.

Theatre of Cruelty melalui perjalanan yang sangat panjang. Selama 30 tahun,
teater ini dianggap mustahil untuk diwujudkan. Bahkan teatrawan Polandia Jerzy
Grotowski menganggapnya, tanpa memahami konsepsi Artaud secara baik dan benar,
hanya akan menurunkan derajat teaternya dan tidak punya arti apa-apa selain
hanya gaya
(action) belaka. Dan memang, selama itu pula Artaud (sendiri) menemui kegagalan
demi kegagalan, sampai menjelang akhir hayatnya (4 Maret 1948) sebagai seniman
yang keras kepala dan miskin.

Periode akhir kemunculan Artaud merupakan intensifikasi sekaligus kristalisasi
terhadap karya-karya sebelumnya. Karya-karya terakhirnya memiliki kejelasan
yang final, yaitu terkontrol dan liar atau brutal. Inilah projek teater
kejamnya ( Theatre of Cruelty) Artaud. Gema atau gaung pengaruh Artaud terhadap
seni inovatif dan eksperimental berkembang ke berbagai arah dan luas. Pengaruh
itu membentang dari seni visual sampai ke seni vocal dan yang bersifat
teoritik. 

***

The Theatre and Its Double karya Antonin Artaud, lebih konprehensif membahas
konsep teater kejam, karena ditulis sendiri oleh Artaud. yang diterjemahkan
oleh oleh Max Arifin menjadi Teater dan Kembarannya. Buku ini banyak
mengisahkan proses perjalanan Antonin Artaud. Buku ini membeberkan konsepsi
Artaud mulai dari gerakannya di seni sastra Surrealisnya sampai pada konsepsi
teater kejamnya (The Theatre of Cruelty). 

Artaud dikenal sebagai seorang penulis yang karya-karyanya sangat provokatif
dan mendatangkan banyak malapetaka. Gerakannya yang provokatif dan bahkan
ekstrim itu membuatnya ditolak dalam lingkungannya sendiri terutama oleh
teman-temannya sendiri para Surrealis, di Paris. Penolakannya itu bahkan justru
membuahkan hasil yang sangat produktif setelah ia juga mengalami serententan
perjalanan dan perawatannya di rumah sakit jiwa (azilum).

Karya-karyanya menggali isu-isu tentang kebebasan, pengurungan, dan
kreatifitas, dengan menghasilkan imaji-imaji yang begitu krusial tentang
penyadaran bahasa dan kehidupan. Dalam jejak-jejak karyanya, kita akan
menemukan serpihan-serpihan kemauan yang keras kepala dan garang. 

Ia meninggalkan Prancis –ia mengembara ke Mexico dan Irlandia- setelah
mengalami kegagalan besar dalam meluncurkan mimpinya tentang Theatre of
Cruelty, suatu proyek artistic yang didesain untuk menumbangkan kebudayaan dan
membakarnya untuk dikembalikan pada kehidupan ini, sebagai suatu laku yang
langsung menentang masyarakat.

***

Antonin Artaud lahir dengan nama Antoine Marie Joseph Artaud, pada 4 September
1896, di dekakat kebun binatang Marseilles,
Perancis. Artaud sendiri dalam berbagai kesempatan sering mengganti dan merusak
namanya. Ia pernah mengganti namanya menjadi Eno Dailor untuk beberapa naskah
awal Surrealisnya. Bahkan dalam satu periode ia mengumumkan ‘My name must
disappear’ (namaku harus lenyap). Bahkan ia tak bernama sama sekali awal
penahanannya di azilum. Usai pembebasannya di azilum ia memakai nama samaran
‘le Momo’ (bahasa slang Marseilles
yang berarti si idiot, bodoh, atau ndeso).

Kehidupan Artaud merupakan tragedy besar, kegagalan dahsat datang silih
berganti, dan tekanan demi tekanan. Tetapi ia memiliki semacam kekuatan magis
dan kemapuan monumental untuk bangkit aktif dan merekontruksi kembali
kegelisahannya. Karya Surrealisnya pada tahun 1920-an mencoba bereksperimen
tentang kesadaran lewat atau melalui karya sinematik dan puitik. Setelah
projek-projek Surrealismenya berantakan pekerjaannya terlibat dalam ruang
teatrikal. 

Bahasa yang dipakai Artaud dalam tulisa-tulisannya bercampur aduk bagai terikan
atau jeritan-jeritan yang menuju ke kecabulan yang ekstrim dan murni. Menulis
bagi Artaud adalah suatu penumpahan atau pengeluaran semua substansi yang
bersifat fisikal, baik yang berdampak liar maupun yang bersifat interogratif.
Tulisannya merupakan luapan ekspresi yang kasar dan berterus terang dari
reflek-reflek yang bersifat indrawi, menentang control social.

***

Hadirnya buku Artaud ini menambah perbendaharaan buku-buku terjemahan yang
membahas tentang konsepsi-konsepsi besar teater dunia yang selama ini terasa
amat kurang, meski Max Arifin sendiri telah menerbitkan (menerjemahkan)
karya-karya Bertolh Breach, Konstantin Stanislavsky, Peter Brook, dan Jerzy
Grotowsky. Seandainya buku Artaud ini terbit akhir tahun 1980-an, maka akan
menemukan konteksnya dengan perkembangan teater kontemporer di Indonesia. 

Seperti kita ketahui konsep Artaud telah menjadi pemicu dalam
pertunjukan-pertunjukan teater di Indonesia menjelang akhir tahun
1980-an. Teatrawan yang biasa disebut memiliki kegelisahan sama dengan Artaud
adalah Budi S Otong dengan teater SAE, kemudian juga teater Kubur, Dindon WS.
Pada pertengahan tahun 1990-an teater ini ‘mewabah’ sampai Jawa Timur, Bali, 
dan Makasar. Tetapi meski begitu buku ini tetap
menarik disimak sebagai bahan telaah teoritik maupun kesejarahan, bagi para 
peminat
teater. 

***



Rakhmat Giryadi

Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jawa Timur





 




      

Kirim email ke