…

PESTA ITU....Oleh Gola Gong – www.golagong.com

   

Hari itu saya
dihadapkan pada pilihan 4 kemeja yang disodorkan oleh istri tercinta. Warnanya 
berbeda-beda
ibarat pelangi sehabis hujan di angkasa raya. Kata istri tercinta, “ Ada empat 
pesta yang
harus dihadiri.” Sebagai rasa solidaritas pertemanan, tambah istri, saya harus
mendatangi semuanya.

   

TETANGGA

Agama pun mengajarkan, jika tetangga sedang berpesta, sebaiknya
kita harus turut bergembira. Apalagi jika yang sedang berpesta tetangga,
sahabat, saudara, bahkan sahabat dekat istri. Di dalam hubungan sosial apalagi.
Tetangga menyapa, kita harus balik menyapa. Kita masak besar, berilah sepiring
kepada tetangga untuk mencicipi. 

   

Tapi, untuk urusan bertetanga, saya memang sedan belajar.
Dengan tetangga sebelah, sering ribut soal selokan. Limbah rumah tangga saya
memang banyak. Tetangga saya sering protes, karena selokn di rumahnya kotor
oleh limbah rumh tangga saya. Sekali waktu selokan saya pernah ditutup. Saya
juga sering kecolongan jika ada tetangga sakit, lupa mnejenguk saat di rumah
sakit. Tapi tetangga yang rumahnya berjarak pluhan kilometer, saya hnguk saat
sakit dirawat di rumah sakit. Seperti pepatah jadinya: semut di kejauhan
tampak, gajak di pelupuk mata luput.

.

   

DRESS CODE 

Saya berjanj kepada istri akan mendatangi keempat pesta itu.
Tapi, saya risih jika setiap datang ke sebuh pesta harus memakai kemeja dengan
warna dan motif berbeda. “Dress codenya
begitu,” istri mengingatkan sambil menyusupkan 4 amplop ke saku celana, tentu
dengan jumlah dna warna yang berbeda. Saya tetap menolak memakai kemeja
berganti-ganti. Saya ingin menghadiri pesta memakai kemeja dengan warna yang
sesuai hati dan pikiran. Saya tidak ingin diatur-atur. Dengan cemberut, istri
saya mengalah.

   

Saya berangkat ke pesta itu. Tujuan pertama, saya menuju ke pesta
tetangga terdekat. Sebetulnya yang sedang berpesta belum saya kenal. Tapi dia
sangat baik dan sering berkunjung ke rumah dengan beragam oleh-oleh. Dia selalu
mewanti-wanti, bahwa oleh-oleh yang dibawa tidak untuk tujuan lain, kecuali 
mempererat
tali persaudaraan. Saya justru yang malu, karena belum sekali pun balik
berkunjung ke rumhnya. Apalagi membawa oleh-oleh. Maka kesempatan emas bagi
saya untuk membalas kebaikannya lewat pesta itu. Amplop sudah saya siapkan dan
langsung saya masukkan ke kotak di dekat meja penerima tamu. Saya pun menjabat
erat tangannya dan mengucapkan selamat berpesta.Saya tidak bisa lama-lama dan
pamitan hendak mengunjungi pesta yang lain.

   

Ketika menuju ke pesta kedua, saya sempat bingung ketika
melihat kemeja yang dikenakan para tamu warnanya sama, kecuali warna bahu saya.
Tidak enak hati juga. Apalagi ketika mereka menatap dengan sinis kepada saya.  
Tapi, ketika kebingungan, saya bertemu dengan
teman saya. Dia ternyata penanggung jawab acara  Dia tidk memedulikan warna 
pakaian saya apa,
yang penting pesta di tempat yang dikelolanya ramai pengunjung. “Tapi,
amplopnya tidak lupa ‘ kan ?”
bisik dia. Saya mengangguk. Tidak lama saya beada di pesta itu, karena selain
suasanannya tidak ramah, yang empunya pesta pun tidak begitu suka dengan
kemunculn saya. Padahal saya sudah dengan atraktif memasukkan amplop ke kotak
di sebelahnya.

   

Di pesta ke tiga, saya mengalami hal berbeda. Justru dress
code yang dietapkan dilanggar semua oleh para tamu. Saya pun nyaman. Tapi,
anehnya, saya melihat para tamu yang sama di pesta itu dengan di pesta yang
sebelumnya. Mereka tertawa-tawa menikmati hidanan. SDaya perhatikan, banyak
tamu tidak memasukkan amplop ke kotak.

   

MUNAFIK

Di pesta terkahir, lebih luar biasa lagi. Tiba-tiba saja
seperti sedang terjadi reuni sekolahan. Teman-temna di usia sekolah
bermunculan. Kami saling berpelukan; menanyakan karir pekerjaan, anak sudah
berapa, dan apakah menyetuji poligami atau tidak. Saya jawab sambil 
ketawa-ketiwi.
Ngerumpi pun tibalah pada “apakah amplop yang dimasukkan ke dalam kotak ada
isinya atau tidak”. Ternyata mereka mengatakan tidak ada isinya sambil
tertawa-tawa. Saya pulang dengan membawa berjuta pertanyaan. Pesta apakah yang
sedang saya hadiri hari itu? Salahkan saya sudah menghadiri keempat pesta itu? 

   

Saya semakin heran ketika melewati pesta yang kedua. Saya
lihat pesta sudah usai. Teman saya yang jadi penanggung jawab acara sedang
duduk termenung. Ketika melihat saya, dia memanggil saya untuk mendekat. Saya
iba melihat wajahnya yang muram. Saya bertanya ada apa. Dia menjawab geram, 
“Orang-orang
pada munafik!” Saya meminta penjelasan. Teman saya itu bercerita, bahwa sebeum
pesta usai, para tamu sudah tidak ada yang databg. Si empunya pesta menyuruhnya
untuk membuka kotak. Ternyata amplop-ampok yang dimasukkan para tamu itu hampir
90% tidak ada isinya. Teman saya semakin geram, “Padahal boss saya sudah keluar
uang ratusan juta untuk menyelenggarakan pesta! Kalau memang tidak mu ngasih
amplol, ya, nggak usah datang!”

   

Saya memilih tidak mengomentari, karena hatinya sedang
kacau. Saya berusaha simpati saja dan menghiburnya, agar tetap sabar dan
tawaqal. Ini ujian. Ciri-ciri Allah SWT sayang kepada hambanya, adalah dengan
cara memberinya ujian. Lantas saya bertanya, “Kemana boosmu?” Teman saya
menunduk sedih, “Dibawa ke rumah sakit jiwa!” (*)

   

*) Penulis adalah pengelola komunitas baca Rumah Dunia
(www.rumahdunia.net)


      

Attachment: PESTA ITU.rtf
Description: MS-Word document

Kirim email ke