Ketika terjadi coup d'etat oleh Jenderal Augusto Pinochet di Chile pada
tahun 1970an seorang teman mahasiswa dari Amerika Latin di Praha mengatakan 
bahwa
persepsi kultural di benuanya dan di Indonesia sangat berlainan. Ia menjawab 
tanya saya
mengapa masaker di Chile dengan korban sekitar 2000 orang sangat diributkan 
sedangkan
korban di Indonesia 1965-66 yang diberitakan beberapa ratus ribu bahkan 
beberapa juta 
membuat dunia tenang saja. 
"Budaya kami di Amerika Latin adalah "perpanjangan" dari peradaban Eropa, 
dengan segala 
humanisme, demokrasi, hak azasi manusia dan 'tetek-bengek' lainnya", ujarnya. 
Saat itu saya
merasa agak "pintar" bahwa dunia kita ini begitu pluralnya, alias "lain ladang, 
lain belalang".
Karena itu pula mereka, termasuk Hugo Chavez, Raul Castro dll ingin duduk sama 
rendah
berdiri sama tinggi dengan B.H. Obama dan AS nya. Mereka emoh hubungan dalam 
model
baginda-hamba! Mereka, juga "las madres", ibu-ibu itu lebih mudah berempati 
pada kita, 
yang tampaknya agak susah berempati pada sesama anak bangsa sendiri.

Salam, Bismo DG

----- Original Message ----- 
From: B.DORPI P. 
To: !B.DORPI P. 
Sent: Monday, April 20, 2009 6:26 AM
Subject: Re.: Goenawan Mohamad - Estaba la Madre


http://www.tempointeraktif.com/hg/caping//2009/04/20/mbm.20090420.CTP130110.id.html

Senin, 20 April 2009

Estaba la Madre

"Ibu itu di sana, berdiri, berkabung."


Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedih­an manusia karena Tuhan mati, tapi 
kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.


Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terban­dingkan. Tapi pada saat 
yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu 
anak yang disalibkan.


Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan 
militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. 
Diperkirakan 30 ribu orang hilang.


Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, 
mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 
1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan 
Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru 
dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina-dan akhirnya, 4 November 
1976, Lila dan Claudio juga lenyap. 


Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkat­an laut menceritakan apa yang 
dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mere­ka 
akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah 
pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup 
ke laut Atlantik, satu demi satu..


Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan 
zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. 
Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi 
kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul 
seje­nak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan 
suara yang semakin menggemuruh.


Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan 
yang tak lazim. "Inilah orang-orang gila itu," begitu kita dengar di pembukaan. 


Para "orang gila", umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain 
menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. 
Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu 
yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah 
dihilangkan. Me­reka "gila" karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani 
menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana 
Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.


"Saya tak bisa melupakan," kata Renee Epelbaum. "Saya tak bisa memaafkan." Ia 
pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang 
kemudian dikenal sebagai "Para Ibu di Plaza de Mayo"-sebuah bentuk perlawanan 
yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang 
berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400. 


Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas 
cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la 
Madre, misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang 
digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada 
abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada 
abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: "Stabat Mater dolorosa iuxta crucem 
lacrimosa dum pendebat Filius."-"Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi 
salib tempat sang anak tergantung."


Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke 
Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di 
sini, di antara keluarga Indonesia yang "hilang".


Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de 
Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la 
Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti 
anaknya. "Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah," demikianlah 
paduan ­suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali. 


"Ini pukul sembilan. 

Ini pukul 10. 

Tengah malam

Fajar datang, 

dan ia tak pernah pulang." 


Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah 
sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?


Saya tak tahu jawabnya-meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun 
di pertengahan 1990-an, ketika "Tim Mawar" dibentuk untuk menculik dan 
menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup 
kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama 
dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian-kekuasaan yang 
selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.


Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan 
dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, 
baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, 
suara mereka mengancam si lemah dan meng­ajukan dalih kebersamaan-hingga 
terdengar menggelikan:


Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara.

Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang

mengaku.

Hidup kemerdekaan menjerit dan membuat mereka

menjerit.


Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer 
Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, 
di pel­bagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari 
Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: "Kami tak memaafkan. Kami tak 
melupakan."


Goenawan Mohamad











--------------------------------------------------------------------------------



No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com 
Version: 8.0.238 / Virus Database: 270.12.0/2066 - Release Date: 04/18/09 
09:55:00

Reply via email to