kematian dalam bahasa
Share
Today at 1:39pm | Edit Note | Delete
1

bahasa bisa meninggal sebagaimana manusia bisa meninggal. meninggal adalah kosa 
kota dari hilangnya diri dari indera indera yang kita kenal. lesap ke dalam 
alam lain yang tak kita kenali. mati.

bahasa meninggal kalau lambang lambang grafis dilenyapkan, atau lambang lambang 
vokal ujaran ditidurkan. pada saat seperti itu tak ada bahasa lagi. saat perang 
misalnya, di mana lambang lambang bahasa dibakar, dan yang tinggal hanya 
lambang dalam ucapan lisan seseorang. akustik yang meluncur dari mulut.

atau saat manusia tidur itu sendiri. bahasa mungkin masih bekerja dalam alam 
mimpi, yang tercetus ke dalam igauan seseorang. tapi pada dasarnya, bahasa yang 
memiliki logika dan sintaktik itu, telah menemui kuburnya dalam momen itu. tak 
bisa lagi beroperasi sebagaimana fungsi sebuah bahasa.

dalam keadaan seperti itulah bahasa telah meninggal - mati.

sering orang berkata, hidup enggan mati tak mau. yang artinya seseorang sudah 
tak ada lagi gairah untuk hidup. tapi untuk mati pun tak pula ia niatkan, 
misalnya dengan membunuh dirinya sendiri. segalanya jadi serba kacau. orang tak 
lagi tak produktif. jalannya seolah layang layang tak putus - talinya masih ada 
- nyawanya masih mengendap di badan - tapi angin telah membawanya seolah 
arbitrer dalam bahasa.

bahasa bergoyang goyang tanpa memproduksi makna apapun. bahasa menari dan 
bernyanyi tanpa makna apapun.

dalam sebuah puisi bahasa bisa meninggal kalau seorang pembaca menerapkan 
kebebasannya atas suatu teks (puisi) secara sekehendaknya sendiri. atau sang 
penyairnya sendiri yang mencabut sebuah larik dari puisinya sendiri.

pada manapun yang dipilih dari kedua situasi itu, akhirnya adalah kematian 
dalam bahasa sebuah puisi.

puisi sutardji yang dijadikan contoh ignas kleden, dalam menerobos makna dalam 
bahasa, ping di atas pong/pong di atas ping (dstnya), cabutlah larik "sembilu 
jarakMu merancap nyaring, apakah kode leksikal di sana masih bermakna? sajak 
itu akan jatuh ke dalam pelukan kegelapan. menjadi sajak gelap yang, mungkin, 
penyairnya sendiri tak tahu apa maknanya.

begitulah meninggalnya bahasa, atau kematian bahasa, adalah kegelapan bahasa 
karena tak tentu maknanya. tapi soalnya, apakah kematian bahasa, apakah 
meninggalnya suatu bahasa yang jatuh ke dalam lubang kegelapan itu, adalah 
benar tak bermakna sama sekali?

dengan kata lain, apakah setiap bahasa harus menemukan dirinya tergelar dalam 
logika sintaktik dan semantik maknanya harus tersedia bagi manusia pengguna 
bahasa?

manusia pengguna bahasa, barangkali di sinilah soalnya.

seorang presiden, atau seorang pemimpin perusahan, barangkali harus disuguhi 
atau menyuguhi bahasa yang jelas logikanya. harus sesuai struktur dalam bahasa 
kubi. agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik dan benar. sebab bayangkan 
kalau seorang presiden, dalam mengelola memakaikan bahasa penuh perlambangan 
(seperti orde baru itu), maka apa jadinya tafsir bahasa itu dalam kenyataan 
(seperti orde baru itu).

sebaliknya untuk kaum seniman dalam dunia kata kata - kata kata haraplah dibaca 
sekedar sastra, tapi juga musik, film, atau terater bahkan lukisan serta gerak 
badan - kegelapan bahasa adalah suatu hal yang niscaya, tak perlu ditakutkan 
jatuh ke dalam bahasa yang tak bisa dimengerti.

atau mungkin soalnya adalah cara untuk mengerti bahasa yang gelap itu.

cara mengerti bahasa yang gelap itu, bisa kita dampitkan ke dalam jiwa kita 
sendiri. yakni jiwa kita yang gelap dan penuh impulsitas hati. penuh paradoks 
yang akan mencabik cabik tiap motif diri. mencabik dan meluluhlantakkan tiap 
simpul dan ikatan moral.

perang misalnya, atau kasus kekerasan yang lain.

perang dan kekerasan, tidakkah itu adalah kegelapan dalam bahasa? di mana diri 
merasuk dan menghamburkan keluar, tanpa kontrol sintaktik, abai semantik, alpa 
logika norma moral, tapi telah tercekat saat pisau cukur di tangan kita telah 
mengiris nadi di pergelangan tangan kita sendiri.

atau kita membuka katup bom dengan riang. menjatuhkan bom dengan hati senang.

2

ada makna absurd sebagaimana hidup yang absurd. hidup adalah absurd tapi kita 
bisa tetap bahagia dengan panorama dunia. begitu juga bahasa: bahasa absurd 
tapi kita bisa juga berbahagia dengan panorama bahasa.

ping di atas pong
pong di atas ping

bisa kita hilangkan jedanya dan kini kita bermain dengan laju bahasa yang tak 
ditahan oleh masa istirahat dalam bahasa - jeda itu. puisi itu bergerak cepat 
dalam citra lidah puisi - akustik itu: ping di atas pong pong di atas ping, dan 
titik (.) kita cabut lalu kita pasang langsung lariknya terus menyambung: ping 
ping bilang pong pong pong bilang ping.

maka kita dapati sebuah panorama lidah puisi atau citra akustik tadi, dalam 
lajur sebuah puisi yang membentuk makna seolah nyanyian dari dunia kata kata 
yang tak kita kenal - semacam lagu dalam bahasa inggris umpama kita tak pahami 
artinya, tapi nadanya menyambar ke dalam diri kita membawa keriangan, atau 
mungkin kesedihan dan keputusasaan.

"ping di atas pong pong di atas ping ping ping bilang pong pong pong bilang 
ping mau pong?"

jeda dalam bahasa, istirahat dalam larik puisi, enyambemen itu, adalah membuat 
kerjap mata kita berhenti, sejenak istirahat dalam tatapn huruf, dalam menatapi 
huruf, tapi kosong, lalu terbentuklah ruang kosong sejenak.

tapi ruang kosong ini, baik saya katakan, bukan hanya datang dari hanya jeda 
dalam bahasa. tapi datang dari citraan benda konkret dan benda abstrak dalam 
larik puisi itu sendiri. baik pula saya katakan, bahwa jeda dalam bahasa tidak 
hanya datang dari lambang bahasa seperti perhentian bahasa: titik, koma, titik 
koma; atau kata ngiau dalam puisi amuk sutardji. tapi juga dari larik yang 
membawa muatan ide dalam larik puisi itu sendiri.

hanya, ruang kosong, jeda dalam fungsi pemakaian tanda, hendak dan telah kita 
lompati dalam kasus puisi ping yang kita rebahkan menyamping terus menerus itu. 
sehingga kita mendapati panorama ruang yang penuh dari panorama bahasa itu 
sendiri. imaji dan asosiasi yang gelap, kecuali menimbulkan citraan musik dalam 
mulut, dalam teling dan dalam mata yang memandang.

bahasa yang melaju dengan kecepatan penuh itu akhirnya membentuk rap dalam 
puisi. muncullah rapper dalam diri sang penyair yang telah merontokkan batasan 
yang hendak dibangun oleh buku pengantar sastra yang diindonesiakan oleh dick 
hartoko tadi. atau pembaca telah bergerak menjadi rapper puisi.

kini puisi meloncat loncat, melengganglenggangkan tubuhnya seolah jenis musik 
rap itu sendiri. ping di atas pong pong di atas ping menjelma musik rap yang ia 
tak paham bahasa inggris disambarkan oleh dunia kata kata gelap dan dihentakkan 
kaki kaki puisinya dari irama puisi musik rap yang sedang menggoyang goyangkan 
tubuhnya.

hudan hidayat

Written 3 hours ago · Comment · LikeUnlike
You, Maghie Oktavia, Priatna Ahmad Budiman, Abdullah Sajad and 8 others like 
this.
Maghie Oktavia, Priatna Ahmad Budiman, Abdullah Sajad and 8 others like this.
Hudan HidayatHudan
Maghie OktaviaMaghie
Priatna Ahmad BudimanPriatna
Abdullah SajadAbdullah
Faradina IzdhiharyFaradina
Susy Ayu RanadivaSusy
Nur JehanNur
Nani MarianiNani
Yusni Amru GhazaliYusni
Timur Sinar SuprabanaTimur
Eva BudiastutiEva
See all...

Cavita Jamie
 Cavita Jamie at 1:55pm June 10
entah apa namanya bila manusia telah mampu memenangkan peperangan yang paling 
akbar .. yaitu perang kpd diri sendiri maka kabut hati tak ada lagi...Pemancar 
antena sanubari pasti jernih... maka bisa saja bahasa verbal mungkin MATI... 
tapi bahasa kalbu makin berkembang maju...
gak perlu pake HP kita bicara, pake telepati hemat pulsa kan?? Salam Sobatku...

Samsudin Adlawi
 Samsudin Adlawi at 1:58pm June 10
aku menyimak esai ini. jadi, bahasa pun harus tahu siapa dan kapan 
menggunakannya. empan papan, begitu kata orang jawa. alangkah lebih baik jika 
presiden (seperti dicontohkan mas hudan) menguasai bahasa sebagaimana ia 
menguasai rakyatnya, sehingga ia bisa menggunakan bahasa dalam kondisi dan 
situasi yang bagaimanapun tapi tetap komunikatif. Setidaknya spt beberapa dai, 
dia mengutip syair arab klasik lalu diterjemahkan sesuai interpretasinya.

Cavita Jamie
 Cavita Jamie at 1:59pm June 10
hmm dunia ini pararel , quarkpun mampu menangkap pesan

Early Rahmawati
 Early Rahmawati at 1:59pm June 10
keren analisisnya, thanks :)

Cavita Jamie
 Cavita Jamie at 2:04pm June 10
@Samsudin... hmmm ruh bahasa telah melebur dalam jiwa pak pres kita 
ini...lihatlah kemampuannya menembus dinding kata masuk kejantungnya kata... 
lihatlah bahkan kata mungkin bercerita padanya he hee hud.. hud ihh

Samsudin Adlawi
 Samsudin Adlawi at 2:07pm June 10
@Cavita: wah kalau presiden kita yang satu ini tak perlu diragukan soal itu. 
Dialah presiden yang ditubuhnya mengalir darah bahasa.

Nur Jehan
 Nur Jehan at 2:07pm June 10
Mas Hudan, kadang aku mengalami dimana aku sendiri tidak tau apa yang aku 
tuliskan, semuanya mengalir saja. tapi ketika disampaikan kepada pembaca, 
merekalah yang memaknai, kalau itu termasuk apa ya mas, dan kadang melangggar 
semua logika kata yang ada. Mungkinkah pada keadaan tertentu alam bawah sadar 
yang bekerja sehingga kita mampu menuliskan semuanya.

Berat euy bahasannya.
Mohon penjelasan Pak PRes.

Weni Suryandari
 Weni Suryandari at 2:16pm June 10
Beraaatt..beraaattt...hm, aku menyimak betul...meski masih sering merasa gagap 
saat menulis...

Samsudin Adlawi
 Samsudin Adlawi at 2:26pm June 10
kalau itu aku tahu jawabannya jehan, tapi biar presiden kita sajalah yang 
menjawab. sebab, aku melihat aura yang sama antara jehan dan presiden hudan 
kita.

Faradina Izdhihary
 Faradina Izdhihary at 3:20pm June 10
kalo sutarji, presiden penyair ind, maka bang hudan pres sastra fb

N'na Sastradihardja
 N'na Sastradihardja at 3:40pm June 10
@ faradina: aq pun bljr dr catatan n tlsnanya kang hudan, mcoba menyimak, 
memaknai,
@weni: soal "gagap" sami wen bahkan jd terkekeh saat mbaca ulang qiqiqqiqiqi 
(naha bet ginie)

Abdullah Sajad
 Abdullah Sajad at 4:15pm June 10
keren ini... pak pres.. :)

Abimardha Kurniawan
 Abimardha Kurniawan at 4:59pm June 10
Menyimak kegelapan bahasa.... Saya rasa, sejak awal bahasa punya potensi yang 
kuat untuk menjadi gelap karena ia sendiri bukan representasi alamiah dari 
realita, melainkan sintetis alias rekayasa yang dikonvensikan (hingga akhirnya 
terkonvensikan). Kegoyahan komunikasi biasa terjadi bagi orang-orang yang ada 
di luar konvensi itu. Itu masih dalam ... Read Moreranah penggunaan bahasa 
sehari-hari, belum lagi kalau sudah jadi puisi. Wah, pasti ada beragam dinding 
konvensi yang musti ditembus. Mungkin begini, hehehehe

Akan saya pelajari lagi tulisan Sampeyan Tuhan Hudan, hehehe

Kirim email ke