Bpk S. Manap tampaknya bermukim di Eropa. Saya lupa dinegeri mana.
Salam, bdg
--- Begin Message ---
Sebuah cerpen bertajuk "Mi Xian Menyeberangi Jembatan" tulisan S. Manap saya 
terima dari penulisnya sendiri. Saya ingin berbagi karyanya bersama teman teman 
lain di milis ini, harap dapat persetujuan para moderator. 

Terimakasih, May Teo.



          

             MI XIAN MENYEBERANGI JEMBATAN



            OLEH: S. MANAP                                       

             

                 

               Seorang temanku, yang dulunya teman sekelas  di SMA pada waktu 
kami masih di Sumatera, dan  sudah menjadi pensiunan Kolonel, mengatakan padaku 
bahwa dia pernah bertugas ke Tiongkok dan mendirikan Paviliun Indonesia di Kun 
Ming. Tidak kutanyakan kapan dia bertugas ke Tiongkok dan di tahun berapa dia 
berada di Kun Ming. Tapi sudah bisa kuperkirakan, dia bertugas di kota itu, 
setelah hubungan Indonesia -Tiongkok dipulihkan dan setelah kaum yang dilarang 
pulang ke tanah air termasuk diriku sendiri oleh pihak yang berkuasa di 
Indonesia, sudah meninggalkan Tiongkok. 

             

               Asal mendengar nama kota Kun Ming aku akan teringat segala yang 
pernah kualami di kota itu, karena dengan berbagai macam sebab dan alasan, aku 
sudah beberapa kali berkunjung atau mampir di kota yang bagiku cukup menarik 
dan menyenangkan.  Kun Ming terkenal karena udaranya yang nyaman dan 
sebagaimana dikatakan orang  ”Musim Semi sepanjang tahun”. Hal lain yang 
menyebabkan kota ini menarik, karena  di kota ini baik makanan, buah-buahan, 
maupun sayur-sayuran banyak macamnya dengan  harga yang serba murah. 

             

               Dari sekian kali masuk ke kota Kun Ming, yang paling berkesan 
bagiku adalah kedatangan kami yang pertama di awal tahun tujuh puluhan abad 
yang lalu.  Waktu itu kami yang jumlahnya hanya beberapa orang, dibawa ke Kun 
Ming, nampaknya untuk sekedar menenteramkan jiwa kami yang sudah sumpek, lelah, 
 serba gelap, karena tidak punya hari depan, tidak bisa pulang ke tanah air, 
tidak bisa melihat kampung halaman. Pada saat-saat yang demikian itu aku sering 
bersenandung sendirian:  

             

                     ”Tanah air kampung halaman, 

                       Tidak lupa setiap hari”. 

                Bisalah dibayangkan, dalam setiap acara diskusi atau rapat atau 
apalah namanya selalu saja ada topik tentang pulang, pulang dan pulang ke tanah 
air. Tapi  apa hasilnya……..?  Hanyalah  kehidupan yang sangat membosankan. 

             

            Dengan dibawanya kami ke kota yang udaranya nyaman, melihat hutan 
batu, jalan-jalan di kebun kelapa sawit tua yang rindang, teduh dan  bersih, 
berkunjung ke sekolah  bangsa-bangsa minoritet serta banyak acara yang lain 
lagi, maka pikiran kami sedikit demi sedikit  terhibur juga, atau paling tidak 
untuk sementara bisa  ditenangkan. 

            Di satu sore hari, ketika kami duduk-duduk dihalaman tempat 
tinggal, kelihatanlah awan yang bergerak pelan-pelan beriringan menuju arah 
yang sama. Bung Sidik Kertapati (al marhum) mengatakan:”Itulah yang dinamakan 
orang awan berarak”. Ketika itu juga aku ingat akan lagu yang berasal dari 
Sumatera Barat: 

                      

                          Awan berarak jangan tangisi 

                          Bawa  bergurau supaya hilang. 

             

               Masih bisa kuingat kalau hari pertama kedatangan kami ke Kun 
Ming di awal tahun tujuh puluhan abad yang lalu  itu, kami dijamu makan oleh 
Komandan Kodam Besar Kun Ming. (Kodam Besar Kun Ming adalah gabungan Kodam 
Propinsi Yun Nan dan Kodam Propinsi Kwi Chow). Sama sekali tidak bisa diingat 
berapa macam masakan yang dihidangkan pada jamuan makan malam itu. Tapi yang 
masih menjadi ingatanku, setelah banyak makanan yang kami makan dan kami sudah 
merasa kenyang, lalu datang satu macam makanan yang mereka katakan makanan 
khusus Kun Ming. Makanan itu berupa mi xian yang disajikan dalam mangkok besar 
dalam keadaan yang sangat panas . Itulah yang dinamakan Mi Xian Menyeberangi 
Jembatan atau dalam bahasa sananya ”Guo Jiao Mi Xian”. Karena kami semua sudah 
kenyang, maka mi itu kami makan saja semampunya bahkan ada kawan yang hanya 
sekedar mencicipinya saja, tidak mungkin dihabiskan mi semangkok besar itu. 

             

               Tapi, yang menarik bagi kami atau mungkin bagiku saja, adalah 
cerita asal usul adanya masakan mi semacam itu yang diceritakan oleh Komandan 
Kodam  yang menjamu kami. Bagi pembaca yang belum tau isi ceritanya, bisa 
dibaca dalam buku ”Kisah Perjalanan” terbitan Ultimus Bandung. 

             

               Karena teringat akan mi yang disajikan kepada kami di musim 
panas awal tahun tujuh puluhan abad yang lewat  itu, maka ketika berada di Kun 
Ming musim panas (bulan Juli) 2009 yang lalu, atas permintaanku yang memang 
sudah  kurencanakan sebelumnya, maka kami masuk ke salah satu rumah makan yang 
menjual berbagai macam mi, diantaranya yang pasti tersedia adalah Mi Xian 
Menyeberangi Jembatan. Di rumah makan itu, disamping ada tempat duduk di mana 
para pengunjung bisa duduk-duduk dan makan di luar, masih ada dua ruang makan 
yang di bagian dalam. Antara kedua ruang itu dihubungkan dengan jalan seperti 
jembatan, supaya orang merasa kalau mi yang diantarkan kepadanya betul-betul 
menjeberangi jembatan. Salah seorang anakku ketawa sambil menunjuk jembatan 
dalam ruang itu, karena cerita tentang Mi Xian Menyeberangi Jembatan ini, sudah 
kuceritakan kepada mereka sebelumnya. 

              

               Kami mencari tempat duduk di meja yang kebetulan sudah banyak 
yang kosong. Mula-mula pelayannya datang mengantarkan satu piring bumbu untuk 
setiap orang, yang didalamnya terdapat lima piring kecil yang berisi empat 
macam bumbu yang berlainan serta ayam yang sudah di iris-iris. 

               Kemudian dia datang lagi dengan mangkok yang berisi kuah/sop 
dari rebusan ayam. Setiap mangkok yang diberikan kepada kami selalu diawali 
dengan kata-kata:”hati-hati, panas” oleh pelayannya. Betul juga, sop itu memang 
panas, karena keistimewaan dari mi jenis ini adalah kepanasannya ketika 
disajikan. 

             

            Bumbu-bumbu serta ayam yang di iris-iris dalam piring, segera kami 
masukkan kedalam sop yang sedang panas dan diaduk-aduk sedikit, juga ditambah 
sambal sesuai dengan kesukaan masing-masing. Sebentar kemudian baru tiba 
semangkok mi xian, yang juga segera kami masukkan kedalam mangkok yang sudah 
berisi bumbu-bumbu. 

             

               Sungguh sedap rasanya. Kuhabiskan semangkok bersama sopnya, 
sambil mengingat-ingat  cerita asal-usul adanya masakan mi jenis ini, yang 
telah menjadi cerita turun temurun sebagaimana yang pernah diceritakan oleh 
Komandan Kodam Besar Kun Ming kepada kami. Akupun terkenang akan kawan-kawanku 
yang senasib pada masa itu, yang sebagian sudah tiada, sedang yang lainnya 
tidak tau lagi di mana keberadaannya. 

             

               

             

                                                                                
                 21 Agustus 2009 . 

                                                                                
                       S.Manap.
           


--------------------------------------------------------------------------

     


--------------------------------------------------------------------------------

--- End Message ---

Reply via email to