TELAH TERBIT EDISI MALIOBORO
Majalah MATA JENDELA Volume I Nomor 2/2009
Terbitan Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
 
 
Identitas dan Jantung-Hati
Malioboro
 
Malioboro  kini menajdi poros perdagangan dan ekonomi.
Malioboro dengan aneka kegiatan perdagangan selalu bergerak semarak dengan
sejumlah toko, swalayan, mall, hotel, penjual aneka jasa cinderamata, dan
sejumlah pedagang kerajinan. Malioboro juga  dijejali becak dan andong. Aneka 
maakan cepat saji juga tumbuh di
sepanjang Malioboro. Seniman
jalanan pun beraksi menjajakan suara dan alunan musik, baik tradisional maupun
modern, silih berganti. Makin padat dan penat.  Asap kendaraan bermesin makin 
memanaskan udara dan menyerobot
kenyamanan. Belum lagi soal gangguan kriminal seperti: pencopetan, pemalakan,
gendam, dan pukul harga mengiringi citra negatif Malioboro.
 
Malioboro memang
mulai menanggalkan rasa Yogya yang semestinya berhati nyaman dengan keramahan,
sumanak, rumaket, dan  berbudaya semua
insannya. Senyum khas Yogya semakin jarang ditebarkan untuk menyapa ketika tamu
berwisata, atau ketika ada orang lain bertandang ke Malioboro. Tradisi pada
Hari Kartini di Malioboro yang wajib mengenakan kebaya dan pakaian Jawa
semestinya dilakukan setiap hari. Arsitetur dan bangunan megah modern yang
terlanjur ada di Malioboro, setidaknya dapat diredam dengan berpakaian adat
Mataraman. Malioboro pun semakin kelihatan antara tuan rumah (host)  dengan 
tamunya (guest). Para pengelola andong
wisata di Malioboro telah melakukan penegasan identitas dengan berbusana
Mataraman. Adakah kesadaran baru seluruh  para pihak pemangku kebijakan 
pewisata untuk menyamankan (kembali)
Malioboro dengan busana Jawa Mataraman?
 
Malioboro tak
lagi senyaman 25 tahun lalu ketika masih nyaman untuk melukis. Malioboro makin
semrawut karena banyak kepentingan bercokol di sana. Malioboro sepertinya
banyak menanggung beban masalah, dan penyakit kapitalisasi pusat kota. Jalur
transpotasi dan megapolusi di Malioboro yang makin pekat, sejatinya kurang
layak untuk pengunjung yang berjubel, sehingga sudah saatnya moda transpotasi
diganti monorel atau kereta listrik. Nyaman, hijau, bersih, aman dan ramah
adalah jantung Malioboro di Yogya. Sementara, hati Malioboro adalah keramahan,
ketulusan, kedamaian, dan kebersamaan yang patut dipelihara di sana.
 
Malioboro cermin
diri Yogyakarta sebagai Kota Budaya. Kalau belum mencapai tingkat berbudaya,
semestinya atraksi seni pertunjukan tradisi maupun modern dapat digelar di
sepanjang trotoar Malioboro secara gratis, atau apresian membayar secara
sukarela. Ngamen gaya Didik Nini Thowok setiap bulan, semestinya dilakukan
dapat setiap hari di Malioboro oleh sanggar lain. Repertoar jalanan semacam
Perfurbance yang pernah digelar di sepanjang Malioboro seyogyanya difasilitasi
agar meningkat kualitas dan kuantitasnya. Malioboro masih perlu dipersolek
dengan aneka karya patung, seni mural, atau ekspresi media luar ruang lainnya?
 
Peduli dan
menyayangi Malioboro dapat dilakukan dengan banyak cara dan terobosan. Banyak
insane kreatif yang dapat mempercantik Malioboro, dengan bekerja sama dengan
SMKI, SMSR, SMM, dan ISI Yogyakarta serta perguruan tinggi lainnya dengan
program kemitraan yang nyata. Kerja sama pemerintah dan insan seni budaya juga
perlu dieratkan untuk Malioboro agar menjadi atmosfir kreativitas, lebih
berdaya, makin indah, ramah, dan membuat pewisata dan para tamu yang ke Yogya
betah, dan kelak kembali kangen karena  MalioboroYogya yang tetap nyaman, 
berkesan, dan aman bagi kita
 
ARTIKEL ISI:
 
Yogyakarta: Bulaksumur-Malioboro-Gampingan
(Meretas Jalan Keindonesiaan)
OlehHalim HD,
Networker Kebudayaan
 
Malioboro: Dari Kematian Tugu Waktu sampai Politik Tanda
Waktu
OlehR. Toto
Sugiarto, jurnalis, pesastra, tinggal di Yogyakarta
 
Malioboro dalam Sejarah: Tinggal Sejarah
OlehMiranda,
penulis, warga komunitas Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), Yogyakarta
 
Malioboro di Sebuah Ahad Pagi
OlehA. Hari
Santosa, perupa, sahabat anak, pendiri dan pengasuh Sanggar
Melati, tinggal di Yogyakarta
 
Malioboroku, Empat Windu yang Lalu
OlehAlbert Kuhon,
jurnalis, pernah bermukim di Yogyakarta antara 1972-1980, kini tinggal di
Jakarta
 
Satu Garis, Serangkaian Cerita di Malioboro
OlehAnton Dwisunu
Hanung Nugrahanto, bekerja di pasar
modal di Jakarta, sering mampir di Malioboro 
 
Puisi Gandhul Genteyong
Oleh Landung
Rusyanto Simatupang, penyair, dramawan,
tinggal di Yogyakarta
  
Anda ingin mendapatkan majalah MATA JENDELA? Hubungi ibu
Munika Utun Wijayati (pada jam kerja) di Taman Budaya Yogyakarta, Jalan
Sriwedani No. 1 Yogyakarta 55123, Telepon 0274-523512 dan 561914, atau lewat
e-mail matajend...@yahoo.com


      

Kirim email ke