Dan seandainya yang menyaksikan "kecelakaan" yang dialami oleh si pengendara 
sepeda itu adalah sorang pemuda facist atau "skin head"umpamanya, apakah  sang 
facist itu akan menolong?. Bolehkah kita pastikan tidak? Silahkan setiap orang 
menjawabnya sendiri-sendiri. Saya tidak berpihak pada fasisme, tidak pada ras 
diskriminasi, tidak pada "skin head"dan sebangsanya. Baru-baru ini saya membaca 
head line pada sebuah koran Belanda yang mencetak dengan huruf-huruf tebal dan 
besar: : "BISAKAH KITA MENYEBUT KATA < MAROKKO> TANPA MENJADI SEORANG FASIS?". 
Begitulah situasi yang dialami orang-orang alochtonen pada umumnya di Belanda. 
Meskipun orang Marokko yang menjadi  tekanan, tapi sesungguhnya berlaku untuk 
semua yang non Belanda totok. Ini sebuah kenyataan. Tapi bukan satu-satunya 
kenyataan bila kita mau jujur dan berani berterus terang. Diskriminasi tidak 
terjadi pada satu pihak meskipun yang berdominasi adalah selalu di pihak tuan 
rumah(Belanda totok yang fasis). Saya sendiri dan juga pengalaman-pengalaman 
orang lain yang saya dengar, diskriminasi juga dilakukan oleh yang satu ras, 
ras Asia dan Afrika. Tidak jarang saya didiskriminasi oleh bangsa yang satu ras 
dengan saya( tak usahlah saya sebutkan bangsanya). Banyak sekali contohnya. 
Umpamanya bila sedang memerlukan pertolongan atau layanan umum, bila yang akan 
menolong atau yang bertugas melayani adalah dari bangsa dari ras yang bukan 
Eropah(katakanlah dari latar belakang imigrant asing), sering-sering mereka 
menunjukkan sikap yang diskriminatif: tidak antusias, tidak ramah, antipatik 
hingga mencari pasal untuk menolak layanan karena yang dihadapinya adalah cuma 
seorang Aziaat atau yang lainnya lagi yang bukan Eropah "asli" yang padahal dia 
sendiri juga seorang Aziaat yang yang lainnya lagi tapi merasa dirinya sudah 
"Belanda"atau Eropah sepuhan. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri, setidaknya 
di Belanda. Bahkan diskriminasi di bidang Bahasa juga terjadi  di antara sesama 
Aziaat . Umpamanya seorang Aziaat yang sudah sangat mahir Bahasa Belandanya 
berani menghina, atau meremehkan serta merendahkan sesama rasnya yang masih 
kurang atau jelek bahasa Belandanya. Contoh-contoh begini masih sangat banyak 
yang dialami oleh sesama Aziaat: ASIA MENDISKRIMINASI ASIA di negeri imigran 
mereka. Bahkan tidak jarang Indonesia mendiskriminasi Indonesia dan ini lebih 
pahit lagi untuk diceritakan meskipun selalu bisa diceritakan.

Soal tolong menolong, siapa menolong siapa, sering-sering sangat unik dalam 
peradaban manusia. Kita tahu cerita-cerita tentang nabi Ibrahim (Abraham, jadi 
bukan Ibrahim yang sekarang ini) . Nabi Ibrahim terkenal sebagai orang yang 
sangat menghargai dan menghormati tamunya, siapapun mereka. Suatu hari seorang 
garong terkenal mengetuk pintu rumah nabi Ibrahim dan meminta perlidungan di 
rumahnya karena dia sedang dikejar petugas keamanan yang berusaha menangkapnya. 
Nabi Ibrahim dengan sungguh-sungguh memberikan pertolongan pada si garong dan 
memberi perlindungan di rumahnya dan bahkan diberinya makan minum dan baru pada 
besoknya, setelah aman dari pengejaraan "polisi"sang garong atau perampok 
kawakan itu keluar dari rumah nabi Ibrahim dengan aman. Dalam hal ini kita 
temui orang baik(nabi) menolong orang jahat( garong, perampok kawakan). 
Sekarang apakah tidak mungkin terjadi dalam situasi tertentu  orang jahat 
(umpamnya sang fasis atau "skin head"menolong oang baik-baik (Ibrahim isa 
umpamanya) dalam situasi khusus atau istimewa?. 
Yang pasti betul, bahwa kita harus berterima kasih pada setiap orang yang 
menolong kita, siapapun dia itu dan kalau bisa berbuat seperti yang dibuat oleh 
Nabi Ibrahim, juga tidak ada salahnya. Tanpa sedikitpun bermaksud untuk 
mereduksi pertolongan wanita berjilbab dan seorang anak kecil alochton yang 
berusaha memolong Ibrahim Isa dalam kemalangan jatuh terjerembab di dekat 
stoplicht, saya juga ingin membuat perbandingan-perbandingan yang saya dan juga 
orang lain alami dalam dunia yang masih penuh diskiriminasi rasial ini. Namun 
juga harus adil karena diskriminasi rasial tidak tidak harus dihadapi dengan 
emosi semata tapi juga dengan rasa adil, kewarasan, dan selalu berusaha 
obyektif. Bukankah begitu, bung Isa yang saya kagumi? (tak usah dijawab, saya 
menghormati "tabu" yang bung anut).
asahan.



----- Original Message ----- 
  From: isa 
  To: hk...@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, September 15, 2009 11:13 PM
  Subject: [HKSIS] IBRAHIM ISA – CATATAN PARTIKELIRAN – (IV) - Anak Sekolah 
'Allochtoon' - dan Wanita Muslim ber-Jilbab


    
  IBRAHIM ISA – CATATAN PARTIKELIRAN – (IV)

  Rabu, 16 September

  -----------------------------------------------------------------------




  Anak Sekolah 'Allochtoon' 

  dan Wanita Muslim ber-Jilbab 




  Beberapa waktu yang lalu, hari Kemis, aku mengalami hal yang samasekali 
diluar dugaanku. Tapi bangga juga sebagai orang 'allochtoon' di Belanda.




  Memang betul, yang akan kuceriterakan ini ada kaitannya dengan seorang anak 
sekolah atau 'bocah' 'allochtoon'. Dan, seorang wanita yang juga 'allochtoon', 
serta ber-jilbab. Di Belanda, menurut catatan CBS – Jawatan Statistik Pusat – 
warganegaranya terbagi atas dua kategori. Satu yang disebut 'autochtoon' – yang 
bapak-ibunya kelahiran Belanda. Dan satu lagi, yang disebut 'allochtoon', yang 
salah satu dari orangtuanya kelahiran asing. Bisa bulé, yang imigran, yang 
putih, hitam, sawo-matang, dan kuning sipit. Di Holland arus rasisme dan 
anti-orang asing khususnya orang asing yang berwarna, apalagi yang Muslim, 
cukup keras. Meskipun minoritas, tapi sangat vokal. Mereka membeda-bedakan 
warganegara, antara yang 'autochoon' dan yang 'allochtoon'. Maka menimbulkan 
perdebatan yang sering-sering sengit sekali. 




  Bagaimana tidak menimbulkan perdebatan sengit? Warganegara dibagi-bagi atas 
dua katagori begitu. Katakanlah, ada yang a s l i , yaitu yang autochtoon. 
Mereka itu menganggap dirinya lebih berhak untuk berdiam di tanah Belanda, 
karena 'ke- asli- annya' itu. Lalu, ada yang bilang, kalau begitu perumusannya, 
bagaimana dengan Beatrix itu, Ratu Kerajaan Belanda. Menurut penggolongan itu, 
jadinya Beatrix tergolong 'allochtoon'. Bukankah bapaknya, yaitu Pangeran 
Bernhard, asalnya warganegara Jerman??? Tambahan lagi, suami Ratu Beatrix, 
yaitu Pangeran Clause almarhum, tadinya juga warganegara Jerman. Tambah lagi: 
Putra Mahkota, Pangeran Willem Alexander, anaknya Ratu Beatrix kawin dengan 
warganegara Argentina. Wah,wah, wah, lalau kemana mau dikatagorikan 
kewarganegaraan putri-putri Willem Alexander dan istrinya Maxima. Apakah beliau 
itu, 'autochtoon', ataukah lebih tepatnya, 'allochtoon'? Kan jadi repot 
sendiri! Ulahnya CBS bikin macam-nacan katagori penduduk. Mungkin bukan begitu 
maksudnya! Dimaksudkan secara adminstratif saja membagi-bagi demikian itu.




  OK-lah! Sekarang ini, kita tidak memperdebatkan tentang 'allochtoon' dan 
'autochtoon'. Apakah benar yang 'autochtoon' itu adalah yang asli-Belanda, dan 
oleh karena itu lebih berhak tinggal di Belanda. Sedangkan yang 'allochtoon' 
itu adalah pendatang, jadinya semacam 'non-pri' menurut istilah zaman Orba di 
Indonesia dulu.




  Tidak, kita tidak diskusi mengenai soal ini. Barangkali lain kali saja!




  Baca terus!




  * * *




  Kuteruskan cerita PARTIKELIRAN ini. Pagi itu cuaca cerah. Matahari 
memancarkan sinar hangatnya. Ada sedikit angin sejuk. Tak ada hujan. Cuaca yang 
ideal, fikirku. Enak sekali untuk bersepeda.




  Jadi, aku ingin bersepeda ke klinik gigi memenuhi 'pengaturan' dokter. Jarak 
rumah kami ke klinik gigi itu tak seberapa. Tidak sampai seperempat jam 
bersepeda sudah sampai. Naik bus juga bisa. Tapi dari rumah harus jalan kaki 
dulu. Kira-kira sepuluh menit ke halte-bus. Menantikan bus berikutnya. Beberapa 
menit saja. Terkadang, kalau waktunya kebetulan tidak nge-pas, terpaksa nunggu 
sampai 10 menit.




  Walhasil, aku fikir, lebih baik bersepeda saja. Sehat! Pernah dokter bilang: 
Antara naik mobil dengan berkendaraan umum, pilihlah kendaraan umum. Kalau bisa 
bersepeda itu lebih baik. Jalan kaki adalah yang paling baik. Itu paling sehat, 
kata dokter.




  * * *




  Untuk menghemat waktu, bersepedalah aku ke dokter gigi.




  Pada suatu perempatan, jalan sepeda yang khusus itu memotong jalan mobil. Di 
situ ada 'stoplicht'. Lampu pengatur lalu-lintas, menentukan siapa yang boleh 
jalan lebih dulu. Siapa yang harus tunggu. Kebetulan lampu merah menyala pada 
'stoplicht'. Jadi aku harus berhenti. Turun dari sepeda, menunggu sampai 
menyala lampu hijau.




  Biasanya bila menghentikan sepeda dan turun, caranya, aku mengangkat kaki 
kananku kebelakang. Menyentuh tanah, sepedapun terhenti. Aku turun dari sepeda. 
Tapi kali ini cara aku berhenti dan turun dari sepeda, lain. Aku turun dari 
sadel langsung meluncur ke depan menjejakkan kaki ke tanah. Celaka . . . . . .! 
Selangkanganku tertahan batang sepeda, sehingga kedua kaki tidak mantap jejak 
ke tanah. Berdiriku jadi labil sekali. Dan . . . . . aduh mak, aku jatuh 
terjerembab! Saat itu baru terkilas di fikiran . . . memang tubuh ini sudah 
tidak seperti dulu lagi. Sudah 'senior'! Berani-beraninya masih ingin 
bersepeda. Nyatanya memang masih mampu bersepeda. Cuma kali ini saja agak sial.




  Terjerembab ke tanah, aku terjatuh total. Masih untung, tak ada bagian kaki 
atau tangan yang patah. Inilah orang Indonesia namanya. Sudah jatuh terjerembab 
di jalan masih merasa u n t u n g . Karena tak ada yang cidera.




  Tapi aku sulit bangun. Masih terduduk di tanah. Nah, ketika itulah terjadi 
yang diluar dugaanku . . . . . . Seorang anak sekolah 'allochtoon' yang 
kebetulan ada disisiku sedang menunggu lampu hijau, segera memegang lenganku. 
Ia mencoba mengangkat badanku. Tentu tidak bisa. Beratku 75 kg. Anak itu 
umurnya kita-kira 11 tahun. Tetapi cepatnya ia berreaksi memegang tanganku 
mengagumkan. Ia bertanya keadaku: Gaat het meneer? Apa engak apa-apa tuan? Anak 
sekolah yang 'allochtoon' itu tidak mungkin jadi tumpuanku untuk berdiri dari 
jatuhku. 




  Ini yang lebih-lebih diluar dugaanku: Seorang wanita berjilbab, Muslim asal 
Marokko, melihat anak itu tidak mampu mengangkatku, segera mencengkam lenganku 
yang sebelah satunya. 'Gaat het wel meneer?, katanya sambil membantu aku 
berdiri. Dua orang: Satu anak sekolah 'allochtoon' dan yang satunya adalah 
wanita berjilbab asal Maroko, berdua mengangkat aku berdiri. Baru aku bisa 
bangkit. 'Hartelijk dankt, hartelijk dankt', kataku. Dan aku meneruskan jalan 
ke klinik dokter gigi, yang letaknya beberapa puluh langkah di seberang situ. 
Setiba di klinik, aku minta pada asisten dokter selembar plester. Jariku luka 
dan berdarah karena jatuh.




  Ketika kembali pulang bersepeda, aku memifikirkan terus. Memang benar kata 
orang-orang bijak bahwa, di dunia ini, kapan saja selalu ada orang-orang yang 
baik hati. Tidak peduli apakah dia itu anak-anak 'allochtoon', ataukah 
perempuan Muslim yang berjilbab.




  Yang mengherankan ialah: Bukankah wanita berjilbab tadi itu adalah seorang 
Muslim? Di Belanda sini pernah terjadi, ketika aku hendak menyalami seorang 
wanita berjilbab pada suatu kursus, ia tersenyum saja. Tetapi menolak menjabat 
tanganku. Saya Muslim, katanya. Aku ingat, memang ada aliran Islam, yang 
melarang wanita bersentuhan dengan priya yang bukan muhrimnya. Yang tidak ada 
hubungan kekeluargaan. 




  Tetapi, wanita berjilbab yang cepat sekali memegang lenganku dan membantu aku 
berdiri itu, rupanya tidak berfikir ke situ lagi. Ia melihat ada orangtua yang 
terjatuh dan perlu dibantu. Maka ia ulurkan tangan Muslimatnya dan membantu 
orang tua ini.

  Kebetulan aku juga Muslim. Sesungguhnya belum tentu wanita itu tau bahwa aku 
juga Muslim. Yang penting baginya, ada orang yang perlu dibantu, maka ia 
ulurkan tangannya. Tidak mempersoalkan lagi, apakah orang yang perlu bantuannya 
itu, muhrimnya, atau bukan! Kasus ini menunjukkan moral tiggi di kalangan 
perempuan berjilbab Muslim asal Maroko. 




  Anak sekolah yang 'allochtoon' itu, lho. Begitu sigapnya ia mengulurkan 
tangan membantu orantua yang memerlukannya. Seperti spontan saja anak itu 
membantu orangtua yang terjatuh. Tidak mungkin anak itu bisa bertindak 
demikian, tanpa ada latar belakang pendidikan di rumah maupun di sekolah.




  Mengapa dua kasus 'allochtoon' ini kuangkat sedemikian rupa? Soalnya: Karena 
tidak jarang sementara pers, elitenya, termasuk politisi di Belanda, bersikap 
rasisa. Mereka begitu itu, demi lebih banyak memperoleh suara dalam pemilu. 
Mereka suka menyerukan isu: 'Dulukan 'orang-sendiri'. Disas-suskan juga bahwa 
banyak kriminil berasal dari warga yang 'allochtoon'. Tentu itu bohong. Tidak 
sesuai dengan kenyataan 




  Mereka sibuk melakukan kampanye rasisme anti yang 'allochtoon', anti yang 
dianggapnya asing, meskipun mereka itu lahir dan dibesarkan di Belanda dan 
berbahasa Belanda baik. 




  * * *





























  


------------------------------------

blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara 
warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia 
adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli 
kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang 
mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/artculture-indonesia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/artculture-indonesia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:artculture-indonesia-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:artculture-indonesia-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    artculture-indonesia-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke