Diambil dari http://thaniago.blogspot.com/2009/10/bangkai-sejarah.html
Bangkai Sejarah
Oleh: Roy Thaniago



 

 
Beberapa tahun lalu, di bangku SMU, seorang guru sejarah melempar tanya di 
kelas, ”Soeharto dan Hitler, mana yang lebih jahat?”. Seisi kelas senyap tak 
ada suara. Satu-satunya suara datang dari alat pendingin ruangan.

SEORANG lain bernama Jozef Goebbels berkata demikian: ”Sebarkan kebohongan 
berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat 
publik menjadi percaya”. Pak Cik Goebbels yang merupakan mentri propaganda Nazi 
ini benar. Di negeri ini, Indonesia, sejarah dituliskan dengan mengulang-ulang 
kebohongan, hingga akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Dalam sejarah Indonesia, peristiwa 30 September 1965 merupakan suatu kejadian 
paling penting. Dianggap penting bukan saja karena di masa ini 500 ribu sampai 
1 juta jiwa dibantai secara keji, yang menandai bahwa kita punya ingatan 
kolektif mengenai kebiadaban, tapi juga menyoal awalan suatu rezim kediktatoran 
yang sekaligus menandai dimulainya kegiatan bohong terbesar yang pernah ada di 
muka bumi.

Bohong tersebut dilancarkan lewat penyelewengan fakta sejarah yang menyusup ke 
benak setiap warga Indonesia, bahkan hingga ke generasi mudanya. Saya ingat 
ketika sekolah dulu, di mana setiap tahunnya persis tanggal 30 September, harus 
melawan kantuk demi tugas sekolah untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI 
karya Arifin C. Noer. Lewat film itu, beserta catatan sejarah lain yang 
tersebar di berbagai buku, hingga buku pelajaran sejarah di Sekolah Dasar, 
masyarakat awam kadung meyakini militer sebagai pahlawan karena menumpas 
komunisme. Saat itu juga, rezim Soeharto dengan propagandanya berhasil menebar 
kebencian terhadap komunis dan siapa pun yang punya hubungan dengannya. 
Alhasil, suara lain mengenai peristiwa 1965 dibisukan, sehingga sejarah versi 
Orde Baru-lah yang lebih dikenal.

40 Years of Silence, sebuah film dokumenter karya Robert Lemelson, malah 
memecah kesunyian yang terjaga selama berpuluh-puluh tahun tersebut. Film ini 
mencoba menuliskan kembali ingatan mengenai peristiwa 1965 dari sisi korban. 
Pada 23 Juli 2009, film ini diputar di Goethe Haus, Jakarta, untuk pertama 
kalinya bagi publik Indonesia.

Film ini mengisahkan empat keluarga yang menjadi korban tragedi 1965-1966. 
Keluarga Lanny di Jawa Tengah, Budi di Yogyakarta, Degung dan Kereta di Bali. 
Keempat tokoh utama ini menguak masa lalu mereka yang mengerikan karena stigma 
komunis. Mereka meyaksikan sendiri bagaimana salah seorang anggota keluarga 
ditangkap, disiksa, atau bahkan mati. Ingatan kengerian masa lalu ini sangat 
mendalam sehingga terus membekas dan menghantui hingga sekarang. Mereka 
didiagnosa menderita Posttraumatic Stress Disorder (PSD).

Lanny, seorang perempuan baya keturunan Tionghoa, ketika 1965, bapaknya adalah 
ketua Baperki, sebuah organisasi masyarakat kaum Tionghoa yang berkaitan dengan 
PKI. Alex, bapaknya, dieksekusi di depan mata Lanny. Umur 13 ia waktu itu.

Peristiwa 1965 telah lewat beberapa dekade, tapi tidak menjadi jaminan bahwa 
teror stigmatisasi sudah usai. Hal ini kemudian turut melukai kehidupan Budi, 
seorang remaja di Yogyakarta yang lahir jauh hari setelah 1965. Bapaknya adalah 
mantan tahanan politik yang menyebabkan keluarganya dikucilkan di lingkungan 
tempat mereka tinggal. Bahkan Kris, kakaknya, dihina dan dianiaya, yang 
menghancurkan masa depannya sekaligus. Kris lari ke jalan, dan besar di sana. 
Budi menyimpan amarah dan dendam atas tragedi yang menimpa keluarganya itu. 
”Saya ingin membunuh mereka! Saya ingin mereka merasakan apa yang mereka 
lakukan pada keluarga saya!”, geram Budi berulang-ulang. 


Dua tokoh lain, Degung dan Kereta, pun mengalami hal yang hampir serupa. Kedua 
ayah mereka dibunuh karena label komunis. Setelah itu, Degung lari ke Surabaya 
dan dibesarkan oleh pelacur. Ia kembali ke Bali saat remaja, menjadi aktivis, 
dan hidup dalam kesadaran akan trauma yang dialaminya dahulu. Sedang Kereta, 
hidup dalam rasa takut berkepanjangan. Dia merasa ada roh-roh yang terus 
membuntutinya. Itu sebabnya, tatkala takut, ia kenakan helm dan celana bermotif 
loreng-loreng tentara untuk menghalaunya

Lemelson, sang sutradara, adalah seorang antropolog asal Amerika yang meneliti 
masalah-masalah kejiwaan. Maka tak heran, film ini tidak tergoda untuk bermain 
dalam wilayah pro-kontra sejarah peristiwa 1965. Lemelson berfokus menyorot 
habis-habisan dampak kejiwaan seseorang akibat trauma. Ia mengikuti 
perkembangan kejiwaan keempat tokoh utama selama bertahun-tahun. Semua itu ia 
tampilkan dengan halus, tidak menggebu, namun sangat mendalam dan kuat.

Kalau biasanya film dokumenter identik dengan citra kaku, bosan, dan datar, 40 
Years of Silence sepanjang pemutaran justru tampil menawan dan menyentuh, 
seperti tidak mengizinkan penonton untuk merasakan kantuk. Sang editor, Pietro 
Scalia, pemenang dua penghargaan editing terbaik Academy Award, tahu betul 
bagaimana memasukkan adegan-adegan yang bernas dan merampas perhatian. 
Bayangkan, 400 jam lebih materi yang terekam, tapi diperas dalam video 
berdurasi yang ”hanya” 86 menit!

Walau berfokus pada 4 tokoh utama sebagai korban, film ini tetap berusaha 
merangkai konteks sejarah agar kisah bisa dipahami oleh mereka yang buta akan 
peristiwa 1965. Usaha itu telihat dari caranya menyulam pecahan demi pecahan 
keping sejarah yang berserakan dengan meminjam mulut narasumber.

John Roosa, Geoffrey Robinson, dan Baskara T. Wardaya. Mereka adalah sejarawan 
yang aktif meneliti peristiwa 1965. Lewat mulut merekalah konteks sejarah 
diurai, kemudian direkatkan oleh Lemelson dengan amat pas.

Film yang digarap dalam kurun waktu 1997-2007 ini amat pas hadir di masa 
reformasi sekarang. Karya ini diharapkan bisa memicu masyarakat untuk keluar 
dari kebungkamannya terhadap sejarah. Rekonsiliasi dan rehabilitasi situasi 
sosial suatu masyarakat, dipercaya Lemelson, dapat terjadi ketika masyarakatnya 
memahami latar belakang sebuah peristiwa atau penyebab sakitnya suatu 
masyarakat.

Di Bali, kawanan bangau bertengger di pohon setiap sore dan selalu menghadap ke 
lokasi yang diyakini sebagai kuburan massal korban tragedi 1965. Mereka 
dipercaya oleh penduduk setempat sebagai roh para korban pembantaian. Adegan 
penutup film ini semakin menguatkan bahwa tragedi 1965 meninggalkan perasaan 
perih, luluh lantak, dan emosional tak terkira menyaksikan kebiadaban suatu 
rezim terhadap masyarakatnya sendiri.

Sekarang saya paham mengapa Hitler kalah jahat dibanding Soeharto. ”Karena yang 
Soeharto bunuh adalah bangsanya sendiri”, jawab guru sejarah saya tersebut atas 
pertanyaannya sendiri. Dan kelas kembali senyap.
Dimuat di Majalah Gong edisi September 2009 

--
Posted By  Roy Thaniago  to Saung Kata at  10/13/2009 07:38:00 PM


      Selalu bersama teman-teman di Yahoo! Messenger. Tambahkan mereka dari 
email atau jaringan sosial Anda sekarang! http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Kirim email ke