selamat datang di dunia kreatif.....

MENGUNDANG BAPAK IBU SAUDARA SETANAH AIR untuk datang pada Dies Natalis 25 ISI 
Yogyakarta dalam:

pameran seni visual EXPOSIGNS
pembukaan pukul 19.00 tanggal 25 November 2009

Jogja Expo Centre
Jl. Janti Yogyakarta
Indonesia

menampilkan 550 peserta dari perupa era 1950 hingga 2000, yang merupakan alumni 
dan civitas akademika Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

pameran berlangsung hingga 30 November 2009

link
http://desaingrafisindonesia.wordpress.com/2009/11/22/pameran-besar-seni-visual-indonesia-exposigns-600-artists-2000-artworks/

 MIKKE SUSANTO
Fakultas Seni Rupa ISI YOGYAKARTA 
Jl.Parangtritis Km. 6,5 Yogyakarta




________________________________
Dari: Anwar Holid <war...@yahoo.com>
Kepada: pegiatpendu...@yahoogroups.com
Terkirim: Rab, 18 November, 2009 02:42:50
Judul: [ac-i] Berbagi Ilmu Penulisan

  
Berbagi Ilmu Penulisan
---Anwar Holid

Writing is a journey to the unknown.
--Charlie Kaufman

Selama tiga bulan terakhir ini saya menjadi guru workshop penulisan di sebuah 
yayasan di Bandung. Workshop tersebut berlangsung tiap Sabtu, akan berakhir 
pada Sabtu, 20 November 2009 nanti, ditandai dengan acara nonton bareng film 
tentang penulis---kami masih menimbang apa akan nonton tentang Beatrix Potter 
atau Harvey Pekar. Sekitar dua bulan sebelumnya saya juga menjadi instruktur 
kelas serupa di visikata.com. Namun karena gagal berkomitmen, saya mengundurkan 
diri dua minggu sebelum program tersebut akan selesai.

Sebenarnya saya enggan menjadi guru, sebab kemampuan pedagogi saya boleh 
dibilang nol. Yang lebih membuat saya suka ialah pengalaman berbagi dengan para 
peserta. Momen itu sangat berharga, dari sanalah saya bisa menyerap ilmu dan 
pengetahuan milik orang lain. Lepas dari kekurangan sebagai instruktur menulis, 
entah kenapa saya bersemangat sekali ingin merenung setelah workshop itu 
selesai. Ada apa dengan kemampuan menulis? Ini bisa jadi sangat terkait dengan 
kebiasaan baca juga.

Agak mengherankan ada peserta yang ikut pada pertemuan pertama, tapi setelah 
itu tak pernah muncul kembali. Atau sebaliknya, awalnya tampak bersemangat, 
menunggu-nunggu, bahkan janji akan terus hadir selama masa workshop, tapi 
begitu dimulai tak sekali pun batang hidupnya tampak. Ada juga yang persis tahu 
workshop sedang berlangsung, tapi ternyata dia memilih aktivitas lain. Kejadian 
ini membuktikan ternyata tak semua niat kuat itu akhirnya terlaksana. Ini mirip 
dengan sesal sebagian orang yang gagal membaca tumpukan buku, meskipun dia 
semangat berniat menghabisinya, tapi waktunya ternyata habis buat kerja dan 
merokok, sementara sampul bukunya terus tertutup rapat. Bisa jadi kemampuan 
retorika saya buruk dan ilmu saya cetek, jadi gagal menjadi guru menulis dengan 
pesona seperti magnet dan mampu memikat banyak peserta. Tapi bagaimana lagi, 
justru dengan berbagi ilmu itulah saya pun mendapat pengetahuan baru. 

Kejutan lain ialah ternyata ada peserta yang benar-benar mengaku tidak bisa 
menulis apa-apa (blank), bingung cara memulainya, meskipun dia merasa ada 
sesuatu di dalam kepalanya yang ingin ia tumpahkan. Seseorang mengaku baru bisa 
menulis bila ada pendapat yang merangsang pengetahuannya, jadi tulisannya 
merupakan respons dan sumber polemik. Ada lagi peserta lain yang tampak mampu 
menulis, punya banyak pemikiran dan pendapat, berpengalaman membaca banyak 
literatur, namun merasa tidak punya waktu untuk menulis, dan Tuhan tampak belum 
menakdirkannya untuk menulis. Dia percaya sebagian penulis memang sengaja 
diberi waktu khusus untuk menulis, seperti Buya Hamka yang baru bisa menulis 
tafsir Al Quran ketika di penjara. Teman saya ini mengaku kehabisan waktu 
menulis karena kegiatannya tersita untuk mengurus warung. Dia agak yakin bahwa 
sebagian karya tulis itu seolah-olah lahir dari keadaan "terpaksa" kalau bukan 
memang sudah dirancang seperti itu. Dugaan ini
benar. Sejumlah buku atau karya tulis tampaknya tidak lahir dari tangan, tetapi 
dari mulut pengarangnya. Contoh terkemuka dari "menulis" model ini ialah ribuan 
puisi Jalaluddin Rumi, yang konon lahir begitu saja dari ucapan beliau ketika 
dalam keadaan ekstase spiritual. Para muridnya yang mendengar itu langsung 
"mengikat puisi itu" dengan mencatatnya. Di Bandung, keprolifikan Jalaluddin 
Rakhmat salah satunya berkat rutinitas ceramah mingguan di masjid samping 
rumahnya. Koleganya--- kalau bukan putranya sendiri---lantas mentranskripsi 
sekaligus mengedit hasil ceramah dan tanya jawab itu menjadi sejumlah buku 
dengan tema tertentu. The Autobiography of Malcolm X awalnya merupakan 
penuturan Malcolm X kepada penulis Alex Haley, dan akhirnya menjadi buku 
monumental. Jelaslah bahwa buku tidak mesti lahir dari tulisan atau ketikan, ia 
juga bisa lahir dari rekaman dan ucapan.

Belajar dari pengalaman, saya cukup percaya bahwa menulis berawal dari 
kebiasaan yang diteguhkan lewat disiplin. Kebiasaan bisa jadi bermula dari 
keberanian. Saya juga yakin bahwa menulis merupakan keahlian (kemampuan) yang 
bisa dipelajari. "Kamu hanya butuh alat, bukan aturan," demikian tegas Roy 
Peter Clark dalam bukunya Writing Tools. Alat menulis ialah bahasa dan seluruh 
unsurnya, alat untuk menyampaikan pesan dan luapan pesan sepenuh perasaan dan 
tepat seperti keinginan kita. Saya berpegang bahwa awal menulis bisa dipicu 
dengan adagium KEEP YOUR HAND MOVING dari Natalie Goldberg. Meski Alfathri 
Adlin, seorang teman saya, bilang yang lebih mendasar ialah KEEP YOUR MIND 
THINKING. Itu benar. Menulis maupun membaca merupakan keterampilan yang harus 
dipelajari manusia. Ia bukan bawaan orok. Dulu kita semua buta huruf dan buta 
menulis. Baru setelah belajar a-b-c, kita jadi bisa menyampaikan pesan lewat 
pernyataan. 

Jadi lebih dari sekadar bisa menulis dengan baik, orang ingin mewujudkan isi 
kepala jadi tulisan persis sesuai keinginannya. Mungkin itu sebabnya sebagian 
mahasiswa heran kenapa dia pernah bisa menulis paper atau skripsi, tapi bingung 
dengan isinya, atau tulisan itu betul-betul buruk sampai malu bila harus dibaca 
kembali. Ini persis kata Joe Elliot, vokalis Def Leppard, yang pernah 
berseloroh begini: "Saya harus mabuk dulu kalau mau mendengarkan album pertama 
kami." Orang bisa geleng-geleng kenapa dahulu dia bisa menulis secara 
ajaib---baik bagus ataupun buruk. Penulis hanya perlu mengakui bahwa itu memang 
karyanya. Setelah itu lupakan atau lanjutkan. Kehidupan jalan terus, pikiran 
lain mendesak, emosi perlu diluapkan. 

Selama workshop, saya menyadari bahwa mayoritas peserta sebenarnya sudah punya 
kebiasaan dan kemampuan menulis yang bagus, berani berekspresi dan 
bereksperimen, punya kebiasaan menulis yang hebat, bahkan sebagian dari mereka 
sudah berprestasi, misalnya memenangi sayembara penulisan. Sebagian orang punya 
blog yang rutin dia isi dan ternyata jadi favorit banyak orang. Bila dia 
menulis, tanggapan orang bersahut-sahutan. Peserta lain jadi redaktur buletin 
internal yayasan. Saya pikir itu tanda bahwa mereka telah jadi penulis. Di sisi 
lain ada juga teman yang masih ragu untuk berani mengirimkan tulisan ke media 
massa semata-mata dia merasa pemikirannya bertentangan dengan arus utama saat 
itu, meskipun argumennya kuat dan jelas. Fenomena ini muncul berbagai 
kesempatan workshop penulisan yang pernah saya hadiri. Jadi apa kekurangan 
mereka? Yang paling utama ialah mereka buta akan aturan umum (standar) menulis 
yang berlaku di media massa atau digunakan oleh
penerbit yang bagus. Ini lebih dari sekadar menguasai EYD (Ejaan Yang 
Disempurnakan) dengan baik, melainkan menulis secara efektif, hemat, fokus, 
tegas, langsung pada sasaran. Menguasai EYD tentu bisa membuat tulisan kita 
rapi, tapi belum menjamin tulisan kita "bernyawa" dan punya "suara" sendiri, 
yang kuat, mampu mempesona pembaca dari awal sampai akhir. 

Ini persis kriteria Hetih Rusli terhadap tokoh cerita yang kuat. "Yang 
terpenting ialah meniupkan nyawa ke dalam diri si tokoh. Tokoh tersebut harus 
hidup, bergerak, dan bernapas pada saat kita membacanya. Si tokoh harus hidup 
dalam bentuk tiga dimensi di benak pembaca, bukan cuma tertulis di atas 
kertas." Hal serupa berlaku pada tulisan nonfiksi. Feature profil orang dan 
biografi hebat pasti punya tokoh yang mengesankan..

Wajar kalau begitu banyak orang mampu menulis namun dia heran sendiri kenapa 
tulisannya diabaikan orang lain atau ditolak media massa. Perhatikan blog, 
zine, atau media tertentu lain. Mereka suka menulis suka-suka, sehendak hati, 
tak peduli apa orang lain kesulitan dengan cara berbahasanya. Ini membuktikan 
sebenarnya menulis sangat personal, khas, sesuai maksud masing-masing- 
--sementara industri, akal sehat, kesepakatan umum, dan keinginan menyetarakan 
cara berpikir memunculkan standardisasi. Sejumlah orang mampu menulis di luar 
standar dan ternyata baik-baik saja. Saya pernah bertemu mahasiswa yang 
menerbitkan zine tapi buta EYD. Bagi dia yang penting ekspresinya terlampiaskan 
dan pikirannya tersampaikan. 

Itu sebabnya saya berpendapat bahwa persoalan terbesar menulis ada pada proses 
editing (penyuntingan) . Saat itu penulis harus berjarak dari karyanya dan 
tulisan mulai hendak menyapa pembaca luas. Jernihkah maksudnya? Mau apa dia 
dengan tulisannya? Bisakah tulisan itu dibaca? Bagaimana bahasanya? Kepaduan 
paragrafnya? Apa persis sesuai keinginan penulis? Adakah emosi mengalir di 
sana? Ketika diedit, tulisan dinegosiasikan. Saya pernah menghabiskan empat 
kali pertemuan hanya untuk membahas editing satu karya sebelum penulisnya 
benar-benar siap mengirimnya ke media massa. Apalagi saya ternyata bukan tipe 
editor killer yang tega main babat kalimat kabur tanpa diskusi lebih dulu. Di 
fase inilah berkah lain muncul, yaitu saya jadi membuka-buka rujukan baru. 
Mizan mengirimi Quantum Writer (Bobbi DePorter), dari Herry Mardian saya 
memfoto kopi Writing Tools (Roy Peter Clark) dan On Writing Well (William 
Zinsser), Ignatius Haryanto mengirimi The Quotable Book
Lover (Ben Jacobs & Helena Hjalmarsson, eds.) dan Menuju Jurnalisme 
Berkualitas. Semua merupakan pustaka berharga.

Persoalan editing juga yang saya kemukakan kepada bang Mula Harahap waktu dia 
menelepon saya membicarakan sekolah tulis-menulis yang sedang dia rancang di 
kepalanya. "Iseng-iseng aku search tentang sekolah menulis, ternyata muncul 
nama kau," katanya. Wah, senangnya ditelepon senior ramah seperti dia. Sudah 
lama kami tak kontak. 

Setelah workshop penulisan selesai, saya harus segera meneruskan order yang 
terbengkalai karena berhari-hari berkutat menyiapkan materi. Rekan kerja saya 
sampai penasaran karena saya membiarkan respons editannya. "Apa pembicaraan 
kita mengenai teks itu sudah berhenti? Saya harap tak ada salah paham di antara 
kita." Ah, tidak, jawab saya. Saya hanya sebentar teralihkan ke subjek yang 
juga penting untuk dikaji dengan sungguh-sungguh. 

Entah kapan dan di mana lagi saya punya kesempatan berbagi ilmu penulisan.[]

Anwar Holid sehari-hari bekerja sebagai editor dan penulis, blogger @ 
http://halamanganji l.blogspot. com. 

KONTAK: war...@yahoo. com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama 
II No. 26 B Bandung 40141


 


      Pemanasan global? Apa sih itu? Temukan jawabannya di Yahoo! Answers! 
http://id.answers.yahoo.com

Kirim email ke