Takengon, saat ini adalah nama resmi untuk menyebut ibukota Kabupaten Aceh 
Tengah yang juga kota terbesar di dataran tinggi Gayo. Nama ini dipakai secara 
resmi entah itu di peta atau untuk menyebut setiap instansi yang ada di kota 
ini. 

Entah darimana asal muasalnya dan entah siapa yang memulai membuat teori ini, 
di Gayo sendiri banyak yang percaya kalau asal-usul nama Takengon adalah 
berasal dari kata bahasa Gayo "Beta ku engon" yang artinya begitu saya lihat.

Sekilas nama ini memang masuk akal, apalagi kalau asal-usul nama itu ditambah 
dengan cerita sejarah berbau spekulatif yang mengatakan kalau itu adalah 
ekspresi dari Genali (orang pertama yang dipercaya menemukan kota ini) saat 
pertama kali melihat danau yang menjadi ciri khgas lansekap kota ini dari salah 
satu bukit yang mengelilinginya.

Ketika berbicara dengan orang dari luar kota ini dan menanyakan asal, orang 
asal Kota ini memperkenalkan kota asalnya sebagai kota Takengon. Bahkan di 
kalangan suku-suku Aceh non-Gayo, nama Takengon secara de facto dipakai untuk 
menggantikan nama Gayo. Di Banda Aceh misalnya, oleh suku-suku Aceh lainnya 
darimana pun asalnya, "orang Gayo" lebih umum dipanggil sebagai "orang 
Takengon". Tidak peduli darimanapun asalnya, entah dari Tingkem, Ponok Baru, 
Ketol, Timang Gajah bahkan Isaq daN Lumut.

Berpedoman pada nama Takengon ini pula, di kalangan suku Aceh pesisir 
berkembang cerita tentang asal usul nama Kota ini, dengan sumber yang lebih 
tidak jelas lagi juntrungannya. Menurut beberapa orang Aceh pesisir, nama Kota 
Takengon itu berasal dari kata "Taki Ngon", kata-kata bahasa Aceh yang berarti 
"menipu teman". Lebih kacau lagi ada juga orang Aceh pesisir yang bilang nama 
Takengon berasal dari "Tak Ngon", artinya membacok teman. Keduanya sama sekali 
tidak berkonotasi positif.

Tapi anehnya meskipun cerita tentang asal usul nama Kota Takengon versi orang 
Gayo di atas cukup masuk akal. Tapi orang Gayo sendiri, jika sedang berbicara 
dalam bahasa Gayo, sama sekali tidak pernah menyebut nama ini dengan nama 
Takengon. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo orang gayo menyebut nama Kota ini 
dengan nama "Takengen" (huruf "e" pertama dibaca seperti "e" dalam kata "tempe" 
dan huruf e kedua dibaca seperti "e" dalam kata "sendu"). Pengucapan ini 
misalnya dapat kita dengar dalam lirik sebuah lagu Gayo legendaris karangan 
seniman besar almarhum AR Moese " Kin Takengen aku denem", bukan "Kin Takengon 
aku denem". 

Berdasarkan fakta inilah saya berpendapat bahwa nama asli kota kelahiran saya 
ini adalah TAKENGEN bukan TAKENGON. Nama Takengen sendiri saya yakin berasal 
dari kata dalam bahasa Gayo yang dibentuk dari kata dasar "Takeng" dan akhiran 
"en". Kemungkinan ini adalah bahasa Gayo lama yang  karena seperti banyak 
bahasa daerah lainnya bukanlah bahasa tertulis, kata-kata lama tersebut sudah 
banyak yang hilang digantikan kata-kata serapan baru dan tidak diketahui lagi 
artinya. Apalagi dalam berbahasa orang Gayo cepat sekali terpengaruh terhadap 
ungkapan-ungkapan baru. Baca : 
http://winwannur.blogspot.com/2008/12/takengen-setelah-10-tahun.html

Dalam bahasa Gayo akhiran "en" digunakan untuk menjelaskan tempat dilakukannya 
sebuah aktifitas. Misalnya "perempusen" yang berarti tempat berempus 
(berkebun), pelipenen yang berarti tempat berlipe (menyeberang sungai), 
peruweren yang berarti tempat beruwer (mengandangkan kerbau), Didisen yang 
tempat melakukan aktifitas Berdidis (menangkap ikan depik yang memijah di 
pinggir danau). Begitulah, dengan mengikuti pola yang sama seperti pembentukan 
kata-kata  di atas, maka Takengen maksudnya adalah tempat melakukan aktifitas 
"bertakeng" yang entah apa artinya.

Seperti yang sudah saya ungkapkan di atas bahwa di kota kelahiran atau di 
tempat lain di dataran tinggi Gayo, orang Gayo hanya menyebut nama Takengon 
ketika mereka sedang berbicara dalam bahasa melayu, baik itu ketika berbicara 
dengan suku-suku Non-Gayo atau sesama orang Gayo sendiri. 

Kebiasaan penyebutan nama Takengon ini bermula nama ini telah dilekatkan pada 
kota ini oleh pemerintah kolonial Belanda. Di samping itu saya pikir, 
penyebutan nama Takengon menjadi semakin kuat dan melekat dan dijadikan nama 
resmi kota ini oleh orang Gayo sendiri tidak lain karena masalah prestise. 
Dibanding nama Takengen (Nama kota ini ketika diucapkan dalam bahasa Gayo), di 
telinga orang Gayo nama Takengon (Nama Kota ini ketika diucapkan dalam bahasa 
Melayu) terdengar lebih keren. 

Terbentuknya pola prestise seperti ini dalam masyarakat Gayo tidak bisa 
dilepaskan dari peristiwa merebaknya euforia modernisme di kota kecil kelahiran 
saya ini pada masa awal kemerdekaan dulu. 

Pada masa itu, di negeri saya, modernisme kurang lebih dipahami sebagai segala 
sesuatu yang berbau 'luar'. Entah itu cara beragama, cara bersikap, bentuk 
rumah tinggal, cara berpakaian sampai penggunaan bahasa saat berbicara.

Praktek keagamaan misalnya, praktek lama yang banyak mengamodasi 
praktek-praktek religius lokal (kaum tue) diangap tidak modern dan kuno, 
karenanya praktek keagamaan ala "kaum tue" ini tidak begitu populer di kota 
ini. 

Sejak masa awal kemerdekaan para pemeluk Islam yang tinggal di kota kelahiran 
saya lebih banyak menganut faham yang dipengaruhi oleh pemikiran Jamaluddin Al 
Afghani dan Muhammad Abduh yang dibawa ke kota ini oleh anggota Muhammadiyah 
yang belajar di Minang dan orang Gayo yang belajar Islam di perguruan Al Irsyad 
Surabaya . Di banding "kaum tue", paham yang disebut "kaum mude" ini lebih 
tegas membatasi praktek-praktek keagamaan yang diadopsi dari kebiasaan pra 
Islam. Paham ini disebut 'Kaum Mude".

Untuk rumah tinggal, pada masa itu, semua "Umah pitu ruang" (rumah adat Gayo) 
di kota kelahiran saya ini dihancurkan untuk diganti dengan rumah-rumah kayu 
modern, berbentuk ruko yang bertingkat dua. Di beberapa tempat, seperti daerah 
pasar pagi dan Bebesen, "rumah-rumah modern" yang menggantikan "Umah pitu 
ruang" ini masih bisa kita saksikan sampai hari ini. 

Dalam hal berpakaian, demi modernitas, pakaian adat lama juga ditinggalkan dan 
diganti dengan pakaian modern, untuk mempertegas ditinggalkannya cara hidup 
lama itu,  di Blang Kejeren, para perempuan membakar pakaian adat gayo di depan 
umum (Bowen 1991: 112).

Perilaku berbahasa juga demikian, bahasa melayu yang menjadi bahasa nasional di 
negara ini pun naik kasta menjadi bahasa yang memiliki status lebih tinggi 
dibanding bahasa Gayo yang merupakan bahasa sehari-hari orang-orang yang 
tinggal di daerah ini.

Sebagaimana paham 'kaum mude", rumah berbentuk ruko dan pakaian ala barat. Oleh 
masyarakat yang tinggal di kota kelahiran saya ini, penguasaan bahasa Melayu 
dianggap sebagai cermin modernitas. Secara  umum masyarakat memandang status 
keluarga yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa Melayu lebih tinggi 
dibanding orang yang dalam keluarganya berbicara dalam bahasa Gayo. Dalam 
pandangan masyarakat kota ini, orang yang dalam keseharian berbicara dalam 
bahasa melayu terkesan lebih terpelajar.

Cara pandang seperti inilah yang membuat penyebutan nama Takengon terdengar 
lebih keren dibanding nama Takengen. 

Begitulah yang terjadi di Gayo pasca hengkangnya penjajah kolonial, tapi itu 
semua tidak menjawab asal usul nama Takengon. 

Tapi, asal-usul nama TAKENGON akan terlihat sangat jelas jika kita membaca "Het 
Gajoland en Zijne Bewoners" (Tanah Gayo dan penduduknya) sebuah karya 
antropologis dari Christian Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda dari 
Universitas Leiden yang menulis tesis tentang Haji yang memulai pendidikannya 
di bidang Teologi dan kemudian mengalihkan studinya kepada studi bahasa Arab 
dan Islam. 

C.Snouck Hurgronje sempat belajar di Mekkah selama 5 bulan, mengganti agamanya 
menjadi Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul al Ghaffar (Waardenburg 
1962:19). 

Tahun 1889 Hurgronje meninggalkan Belanda menuju Batavia dan 2 tahun kemudian 
dia diminta oleh pemerintah Belanda untuk menjadi penasehat politik dan militer 
Belanda di Aceh.

Atas nasehat Hurgronje inilah Gubernur Belanda J. Van Heutz, merekrut Ulee 
Balang (priyayi Aceh) untuk berkoalisi melawan Ulama yang oleh belanda dianggap 
sebagai pusat kekuatan perlawanan Aceh (van' t Veer 1980).

Pada tahun 1900 Hurgronje mulai mengumpulkan informasi tentang Gayo dari 
orang-orang Gayo yang dia temui di pantai barat Aceh. Hurgronje yang sampai 
akhir hayatnya tidak pernah menginjakkan kaki di Tanoh Gayo, mendapatkan 
kebanyakan informasinya tentang Gayo dari seorang pemuda cerdas asal Isaq 
bernama Njaq Putih yang saat itu sedang belajar agama di Aceh Barat dan pada 
tahun 1902, Hurgronje mendapat satu lagi nara sumber tentang Gayo yang bernama 
Aman Ratus yang berasal dari Gayo Lues. 

Pada tahun 1903, Hurgronje yang dianggap Penghianat Besar Islam oleh orang Aceh 
dan Orang Gayo tapi dianggap pahlawan oleh pemerintah Belanda ini menyelesaikan 
Het Gajoland en Zijne Bewoners. Dalam buku ini Hurgronje memaparkan 
permasalahan perpolitikan dan militer di Gayo, jalan-jalan yang mlintasi daerah 
Gayo, lokasi desa dan dusun serta kekuasaan yang dimiliki setiap pemimpin 
kelompok di Gayo. Dalam buku ini Hurgronje juga memaparkan banyak informasi 
tentanga nama -nama tempat, benda yang kita lihat sehari-hari, praktek 
keagamaan dan budaya sehari-hari orang Gayo.

Dalam menjelaskan nama-nama ini, sepertinya lidah eropa Hurgronje kesulitan 
menyebut nama-nama yang mengandung bunyi "e" seperti bunyi "e" dalam kata 
"sendu" . Dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners, semua kata yang mengandung 
bunyi "e" ini oleh Hurgronje diganti dengan "O". 

Mengenai ini bisa dilihat di buku Het Gajoland en Zijne Bewoners yang telah 
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Tanah Gayo dan Penduduknya 
yang diterbitkan oleh Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies 
(INIS) pada tahun 1996.

Dalam buku ini kita bisa membaca di halaman 66 misalnya, oleh Hurgronje, kata 
"reje" disebut Hurgronje "rojo", "edet" menjadi "odot", "Tue" menjadi "Tuo", 
"saudere" menjadi "saudoro", "bedel" menjadi "bodol", "imem" menjadi "imom" dan 
"kerje" menjadi "kerjo".

Demikian juga dengan nama tempat sebagaimana nama TAKENGEN. Dalam buku ini 
Hurgronje mengubah nama itu menjadi TAKENGON.

Bukan hanya TAKENGON, tapi semua nama tempat lain yang mengandung bunyi "e" 
seperti bunyi "e" dalam kata "sendu" juga bernasib sama. Sebut saja misalnya 
Bebesen yang oleh Hurgronje diubah menjadi Bobasan (hal 17), Serbejadi menjadi 
Serbojadi (hal 10), Gayo Lues menjadi Gayo Luos (hal 9), Arul Ramasen menjadi 
Arul Ramason (hal 13), Kute Glime menjadi Kuto Glimo (hal 17), Oneng Niken 
menjadi Oneng Nikon (hal 21), Peruweren Tulen menjadi Peruworon Tulon (hal 29), 
Linge menjadi Linggo (hal 29), Ise-ise menjadi Iso-iso (hal 34), Blang Gele 
menjadi Blang Golo (hal 132), Reje Buket menjadi Rojo Buket (hal 141), Teungku 
Uyem menjadi Teungku (Uyom 144), Tami Delem menjadi Tami Dolom (hal 144), Paya 
Reje menjadi Paya Rojo (hal 144), Serule menjadi Serulo (hal 144), Menye 
menjadi Monyo (hal 152), Tingkem menjadi Tingkom (hal 154) dan banyak lagi.

Begitulah, soal nama-nama tempat di Gayo yang dimodifikasi oleh Hurgronje ini.

Belakangan ini saya melihat banyak orang Gayo yang begitu gencar untuk 
menunjukkan kembali identitas diri dan menggali kembali akar asal-usulnya. 
Sampai-sampai ada ide untuk membuat provinsi sendiri segala. 

Tapi Ironisnya orang Gayo yang katanya sangat mencintai budayanya ini, yang 
katanya sangat Islami ini justru bangga memakai nama hasil modifikasi seorang 
pengkhianat besar Islam sebagai nama kota kebanggaannya. 

Sejauh ini, saya sama sekali tidak melihat tokoh-tokoh Gayo, baik yang muda 
apalagi yang tua yang merasa terganggu dengan asal-usul nama TAKENGON yang 
sampai hari ini melekat menjadi nama kota kebanggaan orang Gayo ini. Sepanjang 
yang saya tahu, SAMPAI HARI INI hanya sayalah satu-satunya orang Gayo yang 
merasa terganggu dengan nama yang 'dihadiahkan' oleh Hurgronje kepada Kota 
Kelahiran saya tersebut. 

Karena merasa terganggu, makanya dalam setiap tulisan saya yang menceritakan 
kota ini, saya selalu menyebut kota ini dengan nama TAKENGEN yang merupakan 
nama pemberian muyang datu saya, bukan TAKENGON yang merupakan 'hadiah' dari 
Hurgronje.

Wassalam

Win Wan Nur
Orang Gayo yang Lahir di TAKENGEN

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com


      

Reply via email to