Jihad

Dalam sebuah hadits, Rasululullah saw menyatakan, “Jihad yang paling utama 
adalah mengungkapkan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim.” Nabi pun 
mengungkapkan, “Orang yang diam dari kebenaran, sama dengan syetan yang bisu.”

Di dalam A-Qur’an, Allah swt berfirman: ”Dan hendaklah ada di antara kamu 
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan 
mencegah yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung,” (Ali Imraan: 104).

Dalam Surat Al-Muthaffifiin (1-6), Allah memberi peringatan: ”Kecelakaan 
besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila 
menerima takaran dari orang lain mereka meminta dipenuhi, dan apabila mereka 
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah 
orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suatu 
hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta 
alam?”   

Ketika ditanya tentang perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, 
Rasulullah menjawab: “Dua bagian dari tubuh manusia, yaitu lisan dan 
kemaluannya.” Lalu, perkara apakah yang paling banyak memasukkan manusia ke 
surga? “Takwa kepada Allah, dan akhlak yang mulia.”

Mengungkapkan kebenaran, samanya kata dan perbuatan, tidak berbuat curang, 
itulah akhlak yang mulia. Itulah kejujuran. Rasulullah menjelaskan: 
”Sesungguhnya, jujur itu memberikan petunjuk kepada kebajikan, dan kebajikan 
memberikan petunjuk kepada surga.” Tentang perilaku yang sebaliknya, Nabi 
mengatakan: ”Sesungguhnya dusta itu memberikan petunjuk kepada hal-hal maksiat, 
dan hal-hal maksiat memberikan petunjuk kepada neraka.”

Dan, ”Sesungguhnya seorang lelaki tidaklah berbuat jujur sehingga dicatat di 
sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya seorang hamba tidak berbuat 
dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.”

                                                *

Sehari setelah diangkat sebagai khalifah, Abubakar ditegur oleh Umar karena 
hendak berjualan kain ke pasar sebagaimana biasanya. “Jika engkau sibuk 
berdagang, siapakah yang akan melaksanakan tugas kekhalifahan?” tanya Umar. 
“Lalu, bagaimana aku haus membeayai keluargaku?” Abubakar balik bertanya.

Umar lalu mengajak Abubakar untuk menemui Abu Ubaidah – yang oleh Nabi dijuluki 
sebagai “penjaga amanah” – untuk meminta ketetapan tentang gajinya. Abu Ubaidah 
pun menetapkan jumlah tunjangan untuk khalifah, yang sama besarnya dengan 
tunjangan untuk seorang muhajirin lainnya, tidak kurang dan tidak lebih.

Suatu hari, istri Abubakar mengatakan, “Aku ingin makan sedikit manisan.” 
Abubakar menjawab, ”Aku tidak punya uang untuk membelinya.” Kata istrinya, 
”Jika engkau izinkan, akan kuhemat uang belanja sehari-hari agar dapat membeli 
manisan itu.” Sang suami setuju.

Beberapa waktu kemudian, setelah tabungannya mencukupi, sang istri menyerahkan 
uangnya kepada Abubakar untuk dibelikan manisan di pasar. Begitu menerima uang 
itu, Abubakar lantas berkata, ”Tampaknya, dari pegalaman ini, uang tunjangan 
kita dari Baitul Mal telah melebihi keperluan kita.” Abubakar lalu memutuskan 
untuk mengembalikan uang tabungan istrinya itu ke Baitul Mal. Dan sejak itu, 
tunjangan Abubakar dikurangi sejumlah uang yang dapat dihemat oleh istrinya itu.

                                                *

”Sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kalian adalah apabila orang yang 
terhormat di antara mereka mencuri, maka mereka melepaskannya. Tapi apabila 
orang lemah di antara mereka mencuri, maka mereka menegakkan hukuman baginya. 
Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong 
tangannya.”

ymassa...@yahoo.com




      

Kirim email ke